Rabu, 29 April 2009

Sajak Nia

Pisau

Perjalananku bak sayatan pisau
Terukur tak terukur
Terkungkung mengungkung
Aku tidak bisa berpegang,
Lalu harus terjerat kelubang yang sama
Letih, lelahku….
Letoy lunglai aku, dihembus angin sepoi-sepoi
Tuhan.
Aku tak bisa berenang?
Meski badai, banjir bandang menjerat kedua kakiku,
Aku haus…..
Aku rindu…
Aku sesal….
Hutangku belum jua lunas
Haruskah aku berhutang?
Tuhan…
Sambutlah aku….
Dengan tatapan cinta-Mu




Cerita Mangkuk

Kutorehkan tinta hitam
Dihati…
Kukikis dalam-dalam
Biar bening menyerupai permata….
Aku masih diasah, dibakar, dan diinjak-injak.
Kulitku meradang menahan sakit,
Aku terus dibakar api menyala,
Menganga hingga kesela-sela
Kulit dan tulangku
Lalu, aku diwarnai oleh berbagai warna
Sekarang, jadilah aku bakul cantik
Tertata diruang tengah

RumahCermin, 16 April 2009




Pigura

Dia terpahat didinding rapi,
Bisu tanpa isyarat kata,
Dia masih merasakan udara segar,
Nun jauh disana,
Tapi, apakah dia bahagia?
Ia membisu,
Tersapu badai,
Menangisi takdir yang tak kunjung selesai,
Hingga waktu itu datang,
Ia tak jua menyadari kehadiran waktu
Demi waktu, waktu yang terhenti
Oleh dentingan lonceng,
Tapi…..
Ia tetap berhenti….
Dikesunyian…..





Saat Kau Renungi Masa

Kau dilahirkan dengan dua mata,
Bukan untuk melihat kebelakang,
Semestinya kau menatap kedepan,
Biarkan masa lalu itu tertanam hingga ke akar,
Menancap di permukaan bumi,
Jadilah sebatang pohon,
Dengan dahan, daun, dan batang,
Agar kelak,
Menaungi setiap pengembara
yang haus, dan kelaparan
Jadilah, engkau lebah madu,
Yang memberikan kesejukan dan kebahagiaan,
Saat kau jadi bintang,
Terangilah malam, d
Dengan keindahan sinar,
Walau hanya seberkas temaram,
Namun, berilah keindahan,
Saat kau menjadi awan,
Naungi dengan kelembutan,
Walau setetes hujan,
Ikut memberikan secuil harapan





Nasibku dalam pusaran waktu

Hilang, lenyap tanpa jejak,
Diantara gemerincing otak-otak,
Mengolah satu persatu,
Ku pugar dinding-dinding kesalahan,
Kutata otakku dengan metoda dan ceramah,
Meski hanya ada isak tangis dan gegap gempita,
Haluanku belum jua terarah,
Disaat angin puyuh membawaku,
Aku ikut pula terbang melayang,
Di ufuk utara menatap,
Arah mata angin,
Ternyata....
Masih dalam pusaran,
Aku ingin keluar dari gelombang ini,

Sastra, 16 April 2009





Dongeng

Saat kanak-kanak, ia gemar menatap dirinya dalam torehan tinta
Di kamar itu “ia berceritera” tentang angin puyuh yang hinggap dalam jiwa
Terperangkap seekor burung, hendak lepas dari sangkar,
Ibu menyapaku dengan lembut “itulah kamu”. Burung dengan pupil sayu, paruhnya berwarna jingga
Kini ia telah remaja, kertas putih itu tetap menemaninya
Bagai teman setia, kertas itu pengganti cermin,
Yang menjadi bagian dalam dirinya,
Sehingga hatinya pengukur kedewasaan,
Bukan lidahnya yang berbicara
Hanya sebongkah kertas, bila itu tiada, ia kesepian dan menderita
Kini ia mencari kertas-kertas lain yang tak berwarna,
Agar ia kembali berceritera tentang bulan, bintang, dan galaksi,
Dijagad raya.

Batusangkar, 2009





Suatu Masa

Sebatang pohon, berdiri tegak diantara rerimbunan pohon,
Diantara padang rumput savana,
Akarnya menikam kebumi, daun dan batangnya menjadi penopang,
Bagi burung pipit yang bersarang,
Dahannya menjulang hingga ke langit,
Menghirup segarnya mentari,
Suatu masa, ia datangi serombongan pipit,
Saling bercengkrama, dan di saat dekat penghujung masa,
Ia tetap berdiri, diam, tanpa hembusan angin,
Yang menyejukkan jiwa, kini ia berdiri terpaku,
Tanpa nyanyian pipit senja,

BEM KM, 2009 (For Bemers Friendship)

5 komentar:

dian mengatakan...

pusinya bagus yach...dibnding sama yang laen, neh baru menarik aku masuk ke dalam puisi ni...salam kenal dunk...

cermincommunity mengatakan...

Dengan sangat menyesal, officer blog Komunitas Cermin akan menghapus komentar-komentar yang bersifat memecah belah, sarkastik apatis dan komentar-komentar repetisi.
Demi membangun suasana kondusif dan nyaman bagi pengunjung blog ini nantinya


Salam

Pinyu mengatakan...

Kalau dengan menghapus itu menjadikan kita lebih baik, kenapa tidak. Hanya saja di lain pihak, ketika suatu kritik itu disampaikan secara gamblang atau mungkin 'telanjang' justru itu yang lebih mengena bagi perkembangan si penulis. Lain halnya jika suatu kritik disampaikan lewat bahasa yang 'berat'. Dengan istilah yang hanya dimengerti oleh orang yang berkecimpung di bidang ini saja. Mengertinya saja susah. Bagaimana si penulis bisa berkembang. Sebagai tambahan jug, pembaca juga bisa belajar dan termotivasi dengan komentar-komentar yang ada. Salam ha.ha.

Elsya Crownia mengatakan...

saya mengharapkan kawan memberi kritik dan saran bagi penulis. agar penulis bisa lebih matang dalam berkarya. sekian terima kasih.

Elsya Crownia mengatakan...

saya berharap,kawan2 cermin juga memberikan kritik dan saran thd karya ini. agar saya lebih bersemangat dalam menulis dan memperbaiki dalam menulis baik essai maupun puisi.
sekian terima kasih.

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Bila anda ingin menanggapi posting ini, silahkan tuliskan komentar anda di sini.

Bagi rekan-rekan mahasiswa fakultas sastra Unand yang berminat mempublikasikan tulisannya di Blog Cermin Comunity, silahkan kirimkan naskah rekan-rekan ke cermincommunity@plasa.com
atau cermin_community@yahoo.com

Salam Hangat.