Jumat, 25 Desember 2009

"NO MORE ROOM"



No more room

For the fragile one

Cruel is the key of life

To expose an innocence gate

Sit among the pretender*

Lay down in the heart of room

To taste sweet and bitter struggle

No more room

To rest an arrogant mind

Even to organize a set of talent

Then stare at the vanisher’s life spot room

All room are rented by secular

Just a narrow space in the attic

That only belong to the Lord

And left no more room to my soul

Name : WOEEL MAYA

Reg. No : 0810732049

Poetry Class

Sabtu, 19 Desember 2009

"Untuk Na"



-->
Na yang baik,

Apa kabar?

Maaf karena aku terlalu lama mengambil jeda.

Aku hanya sedang menyiapkan bekal.

Setelah ini aku mau pergi jauh.

Dan kukira kamu sendiri juga akan harus pergi.



Na yang baik,

Pertama-tama maafkan aku karena menobatkanmu sebagai malaikat.

Rasanya begitu dingin sendirian, maka itu aku butuh malaikat di duniaku;

Malaikat yang bersayap hangat, bertubuh hangat.

Maafkan aku karena tidak sempat meminta ijin terlebih dahulu.



Na yang baik,

Kamu juga pasti tahu, ada monster begitu besar di kepalaku.

Hanya menunggu hari menjelang Kotak Pandora ini pecah,

Jadi sebelum aku terkulai, aku ingin memastikan aku akan memenangkan perang.

Tuliskanlah luka-luka ini di catatanmu,

Agar namaku bertahan lebih lama dari keberadaan monster-ku.

Dan dengan begitu aku menang.

Tuliskanlah sampai genap, sebelum wadah ini lenyap.



Na yang baik,

Terus terang, aku tak perduli lagi

Pada langit, pada dinding, pada eksistensi orang-orang.

Jangan heran.

Kalau sedang di ujung gunung, kita cuma ingin membayangkan dua hal: melebihi puncak tertinggi, atau jatuh menghempas bumi.

Menurutmu, bisakah aku terbang sepertimu? Atau aku akan jatuh?



Na yang baik,

Aku penasaran

Sebenarnya kamu naif atau munafik?

Tak perlu jawab. Toh kamu bukan objek observasiku.

Kamu tahu, aku ingin mengobservasi seisi dunia, kecuali kamu.

Kamu kan, bukan makhluk dunia ini.



Na yang baik,

Jangan tersinggung, tapi menurutku kamu konyol:

Tentang lelaki itu; tentang argumen yang kamu karang dengan cerdasnya untuk membenarkan keraguan, kepengecutan, dan kelalaianmu.

Tak apa. Itu alami, kok.

Itu kecenderungan umum yang sangat manusiawi dan normal.

Meski agak aneh kalau yang melakukannya kamu; sebab bagaimana pun, kamu bukan manusia.



Na yang baik,

Hati-hatilah.

Aku memang tak mungkin menjamah (kamu yang mewujud) malaikat. Tapi selalu ada kegaiban yang ‘kan mengusik harmoni alam-mu.

Bukan mereka, bukan laki-laki itu.

Tapi kegaiban yang lahir dari ujung bulu sayapmu.



Na yang baik,

Terimakasih. Kerelaanmu atau Keterpaksaanmu, tak beda bagi wajah-wajah ini.

Tidak perlu khawatir akan ada yang menuntutmu untuk mengikhlaskannya.

Keikhlasan itu adalah otoritas Tuhan; bukan aku.

Aku hanya tahu, kamu membalas pesan-pesan yang kukirim sejak dulu.

Aku hanya tahu kamu membuatku hangat.

Entah nyata, entah maya.



Na yang baik,

Aku sudah tidak pernah menangis lagi sejak aku berjanji untuk kuat, untuk menang.

Aku ingin kamu tahu, meski aku tak menangis, aku sangat sedih harus pergi.

Apa kamu sempat bersedih, ketika kamu terbang dan merenggut semua hangat itu?

Ah. Apalah pentignya.



Na yang baik,

“selamat tinggal"

Tak ada kata yang lebih pantas kutuliskan di sini, sebagai penutup sebuah surat.

Ah, bukan.

Bukan surat, tapi sajak kecil yang berlebihan.

Selalu saja, cuma sajak-sajak yang berlebihan.


(26 desember 2007--hari ini)

Selasa, 01 Desember 2009

(semacam) review: Antologi Cerpen Pengantin Subuh


*oleh TS. Frima

Ini sebuah buku yang melenakan.Secara umum, antologi Pengantin Subuh bercerita tentang tradisi merantau. Tradisi yang menjadi ciri masyarakat Minangkabau ini ternyata kerap membawa kegalauan bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya; baik itu bagi orang yang ingin merantau, bagi orang yang sedang berada di perantauan, maupun bagi orang yang ditinggalkan di kampung.


Dalam pikiran beberapa tokohnya, rantau dibayangkan sebagai negeri impian, negeri harapan, negeri yang menjanjikan kesuksesaan dan kebahagiaan; sedangkan kampung dirasa sebagai negeri yang sepi, membosankan, negeri dengan segala batasan yang mengekang dan mengandaskan cita-cita (lihat Menjelang Subuh dan Jalan Mati). Apa yang tidak bisa didapatkan di kampung, bisa dinikmati sepuasnya di rantau (lihat Pengantin Subuh). Itulah sebab, orang muda menjadi begitu risau diam di kampung dan menjadi begitu ngotot ingin merantau (lihat Menjelang Subuh, Ibu Hujan).


Bagi perantau, negeri orang yang mereka datangi kerap membawa dilema. Tidak jarang pengarang menyatakan, baik secara tersurat maupun tersirat, bahwa rantau mampu menelan dan menghanyutkan orang-orang. Contohnya dalam Perempuan Bau Asap pada paragraph penutupnya, dalam Induak Tubo (halaman 42), atau dalam Ketan Durian. Dalam Pengantin Subuh, dikisahkan dilema seorang perempuan yang memilih hidup di rantau dengan lelaki yang meminangnya. Di hari tua, pilihan ini menerbitkan sesal yang tak bisa ditanggungnya, sehingga ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri dengan sebilah pisau. Lain lagi kisah Siti, seorang gadis yang dibesarkan di rantau, dalam cerpen Saudara Sesusuan. Ia harus menerima kenyataan bahwa pemuda yang ingin dinikahinya ternyata adalah saudara sesusuannya.


Akan halnya kerisauan orang yang ditinggalkan di kampung, bisa kita telusuri dalam beberapa cerpen. Misalnya dalam Ibu Bau Asap, cerita tentang ibu yang mesti berpisah dari anak bungsunya yang pergi ke kota untuk menjadi bintang televisi, serupa dengan cerita seorang ibu buta yang mesti melepas anak semata wayangnya pergi ke luar negri untuk bekerja dan berkuliah dalam cerpen Ibu Hujan. Ada juga kisah Odang Niro dalam cerpen Induak Tubo, yang tidak mempunyai anak perempuan sehingga ia mati kesepian ditinggal semua anak lelakinya yang merantau, dan kisah seorang perempuan yang resah menunggu kepulangan anak-anaknya dari rantau menjelang lebaran dalam cerpen Baju Berkancing Peniti. Kemudian ada cerpen Yang Terbungkuk-Bungkuk Di Halaman mengisahkan seorang tua yang mendapat firasat tak enak tentang anak-anaknya di rantau. Keadaan kampung yang ditinggalkan dapat pula kita telusuri dalam Jalan Mati yang mengisahkan keadaan alam yang menyulitkan, dan Imam Sunyi yang mengisahkan mushala yang sepi ditinggal jamaah seperti juga sawah yang sepi ditinggal petani sebagai akibat arus urbanisasi dan modernisasi.



Bagi saya, kekuatan utama antologi cerpen Zelfeni Wimra ini terletak pada kekentalan budaya Minangnya. Pengarang mampu merekam berbagai hal—mulai dari sejarah, persoalan sosial, sampai pada kebiasaan masyarakat agraris Minang termasuk unsur klenik yang mewarnainya—dan kemudian menampilkannya kembali dengan apik dalam cerpen-cerpennya. Kekuatan ini pulalah yang memberi daya pada tiap cerpen untuk membuat pembacanya terlena.


Lihatlah cerpen Bunga Dari Peking yang menggambarkan sejarah komunisme di daerah atau kisah mistis Orang Kampung Hilang yang dikaitkan dengan penjajahan Belanda. Persoalan sistem matrilineal yang dipakai masyrakat Minang pun dimunculkan dalam Rumah Batu Bersendi Kayu. Masalah bias gender dalam tradisi merantau di mana anak perempuan tidak dibebaskan meninggalkan kampung seperti anak lelaki juga disinggung dalam Menjelang Subuh, Madah Anak Laut, dan Ibu Hujan. Persoalan sensitif semacam streotip negatif terhadap institusi pendidikan islam diangkat dalam Madrasah Lumut, dan persoalan chauvinisme (membanggakan dan mengagungkan negri/bangsa sendiri secara berlebihan) dimunculkan dalam Negeri Air. Sementara itu cerpen Wan Tulin tentang lelaki gila yang dipasung hingga lumpuh, dan cerpen Sepeda Malik Tumbang tentang perampok yang menyumbangkan banyak uang untuk mesjid mengajak kita bertanya pada diri sendiri, sudah benarkah virtue dan norma yang kita anut selama ini.



Dalam aspek penggunaan bahasa, nampak pengarang berusaha untuk memadukan kejelasan menyampaikan isi dan kelembutan bernarasi, sekaligus berusaha memberikan citarasa Minangkabau yang kental, melalui pemilihan kata yang lugas dan puitis. Ditengah serbuan karya sastra populer (pop literature) yang bertabur kosa kata Betawi dan Inggris, juga novel islami yang penuh kosa kata Arab, cerita-cerita Zalfeni yang semarak oleh kosa kata Minang seperti memberi kesegaran tersendiri. Meski penggunaan diksi tertentu yang berulang dari satu cerpen ke cerpen berikutnya beresiko memberi kesan monoton pada isi keseluruhan buku, namun hal itu tidaklah terlalu kentara karena tiap cerpen memiliki latar yang khas dan karakter yang kuat.


Terlepas dari segala tinjauan di atas, buku ini sungguh menarik untuk dijadikan alternatif bacaan. Cerita-ceritanya tak hanya sebatas melenakan, tetapi juga mengajak pembaca untuk lebih mengenal adat dan masyarakat Minagkabau, sekaligus menyediakan hikmah untuk digali. Semoga kita bisa menemukan pencerahan daripadanya.

Identitas Buku

Judul: Pengantin Subuh

Penulis: Zelfemi Wimra

Penerbit: Lingkar Pena Publishing House

2009

Minggu, 08 November 2009

"Renaisance"

Menyibak rambut,
menemu ranting masiak;
kerinyut. Cantik.

7 nov 2009, 01:42,
kasur, wisma.

Senin, 26 Oktober 2009

Trial: The Judgement Archer

*by: T.S. Frima

"Enjoy the city", we said
before we left her in the city gate.

She came this morning
with the firm blow of Eden's wind.
She brought no tale of fame and fortune,
thus we only gave her an empty glass
and a bottle of red wine.

By night,
she attended the party we held.
She met us one by one.
A beautiful painting, she demanded,
but none of us had such thing.
Hence, she went away;
The party went on.

By dawn,
the crowd was about to disperse when she appeared.
She poured down the wine to the solid ground.
In a blink, emptiness struck.

....

There was only silence.
And the sky split open.
We ran.
We ran for shelter, we ran for our lives.
Thousands of words fell from the rising sun:
a rain of cursed anthem.
Under a concrete roof we stood,
bare witness the collapse of our benign woods.

By now, it's all gone.
No more sky scrapers, no more luxurious hall.
Houses had turned into ashes.
Shining arrows are every where.
....
Some how, we feel no sadness nor sorrow.
We're not terrified, not hurt.
It is just
empty.

We stare at her,
the lady we ignored.
She stands still, with her empty glass.
She kisses the glass, turns her back on us,
and leaves.

"Are we the ones who invited her?"
we ask our selves, before the remaining of the city gate,
before a
beautiful painting.


(Jum'at, 16 Oct 2009, mesjid Nurul Ilmi, Padang)

picture source: personal collection

Jumat, 23 Oktober 2009

"No More Wish"


*by: T.S. Frima

There's a chance that you've forgoten
what you've said,
what you've sent to me on those windy nights.
No matter what, you wrote, we will always be this way.


There's a chance that you've just made them up,
and i was only a clown
with syrupy-sweet jokes.
Who ever you'll become, you wrote, i will always hold your hands.


There's a chance that those tears were all fake.
And no such a thing as a trurst-worthy line,
nor any explaination.
Yet, i believe in you, because
we will meet in our secret place, you wrote, and the stream of time will answer our questions.


The rain is fading away.
The sky is mocking.
The moving clouds are singing joyfully.
The clock is ticking, laughing.
Down here, i'm thinking,
am i a fool?
....
No more wistle,
nor wish
upon a stop-beating heart.

(27 dec 2007, kos, Padang gerah)


picture source

Kamis, 22 Oktober 2009

"To The Rodin's Gate"


*by: T. S. Frima

Arrested by the nocturnal silence,
my bare feet are frozen.
Lost in a vast desert of broken glasses, i am too far
away from your reach.
Yet it feels like i can keep
the warmth of your glossy lips.

These sore eyes are blinded;
and your sea-scented footsteps are my only clues.
But none will make us apart, i believe.
None has such a might!

It takes no path,
just breathe.
For your azure blaze, i march.
For the sapphire schyte, i march.
For the drenched moon, i march.

And here i come,
to be with you
in peace.




Rodin's Gate, atau yang lebih dikenal sebagai "The Gates of Hell" adalah sebuah karya seni ukir monumental dari seniman Prancis ternama, Aguste Rodin. Ukiran berbahan perunggu dengan dimensi 6m (tinggi) X 4m (lebar) X 1m (tebal) ini memuat 180 ukiran sosok manusia dalam berbagai pose. Ukiran ini berangkat dari salah satu adegan (scene) "The Inferno", bagian pertama dari "Devine Comedy" karya Dante Alighier. Pengerjaan ukiran ini memakan waktu 37 tahun (1880-1917).
Pertama kali nemu kata 'Rodin's Gate' sewaktu baca manga Shaman King (lupa vol berapa). Awalnya saya kira itu pintu surga, habis gambarnya bagus banget. Eh ternyata malah pintu neraka... =_=

picture source
description source: wikipedia

Sabtu, 08 Agustus 2009

"Serambi Rumahku"

Sinar pagi menyapa dedaunan
Rerumputan menjalar merangkak
Tersandung di kerasnya pembatas
Dibalik pasir menggunung

Angin merambat, menyentuh setiap daun pada batang
Senada nyanyian alam yang berkicau menyahut matahari
Sehabis bulan menampakan diri
Ditengah dingin menyelimuti padang

Serambi rumahku kembali menyapa
Penat sesak hilang
Bersatu bersama harmoni alam
Membangunkan setiap asa.



_Tomi_

"Kamar Penyendiri"

Terbatas di dinginnya dinding
Menguning disetiap sisi
Laba-laba mengikat sarangnya
Rayap mengikis
Seperti labirin, terjebak

Kesendirian mengunci
Memapah sayap-sayap sunyi
Bersandar
Diselimuti debu-debu usang
Mengenal batas langkah
Rebah pasrah memperkosa akal



_Tomi_

"Debu"

Aku berasal dari kumpulan-kumpulan debu mengendap
Mengambang diantara hitamnya pekat
Lepas ditiup kebohongan
Menjelma,

Pernah terperangkap api
Membara menyelimuti hati
Gubuk reot bertahan diri
Rubuh bersama hari

Sampaikan salam ku kepada matahari
Debu ini beranjak pergi.



_ToMi_

Rabu, 08 Juli 2009

Emily Jane Bronte: "Mild The Mist Upon The Hill"

Mild The Mist Upon The Hill

Mild the mist upon the hill
telling not of storms tomorrow;
no, the day has wept its fill,
spent its store of silent sorrow.

O, I’m gone back to the days of youth,
I am a child once more,
and neath my father’sheltering roof
and near the old hall door

I watch this cloudy evening fall
After a day of raining;
blue mists, sweet mists of summer pall
the horizon’s mountain chain.

The damp stands on the long green grass
as thick as morning’s tears,
and dreamy scents of fragrance pass
that breathe of other years.

***

Embun Di Atas Bukit

Embun di atas bukit
kabarkan esok badai tak datang;
namun, hari telah tangisi segalanya,
cucurkan kepedihan yang bungkam

o, aku kembali beranjak muda,
kembali jadi kanak lagi,
dan berteduh di bawah tegap dagu ayah
dekat sebuah pintu tua

ku saksikan awan petang bersingsut turun
setelah rimbun hujan;
embun biru, embun yang indah pada musim panas yang pucat
di cakrawala rentetan gunung-gunung

kabut selubungi hamparan hijau rerumputan
sepekat air mata sang pagi,
dan seharum wewangian alam mimpi
nafas tahun-tahun yang lain.


-Pinyu-

"Ujung Untuk Tanya"

Hempasan demi hempasan mendera
Tanpa ada satu kata ampun menyertai
Pasrah untuk memahami semua keadaan
Terlalu banyak deraan yang menghimpit
Perjalanan yang tak mungkin untuk dihentikan
Namun rintangan tak pernah hilang
Suara-suara dari barat-pun terus memanggil
Namun telinga tidak pernah ingin mendengar
Hanya hati yang berusaha keras berjuang
Langkah gontai tetap jadi andalan
Terkadang hanya jiwa yang terus bersikeras
Karna raga sudah tak mampu digerakkan
Para pemuja-pemuja harta ikut mendorong
Menjatuhkan kedalam jurang yang paling dalam
Jalan hidup yang tak pernah bisa tertebak
Membiarkan diri terpenjara Tanya
Ujung yang masih terasa semu
Yang selalu ingin di temukan
Meski Tanya selalu menggerogoti



-IjonK-

"Kesatria Berkuda Hitam"

Sebuah kata untuk kesatria berkuda hitam
Kata yang tidak hanya satu saja
Namun akan terus terangkai menjadi indah
Terimalah persembahan dari dasar hati ini
Yang tersanjung akan pesonamu
Membuat jiwa melambung tinggi diangkasa
Tanpa sayap yang membawa terbang
Semua akan selalu menjadi indah
Sampai akhir dari semua cerita hidup
Tak peduli ini hanya pengharapan semata
Semua akan terus terangkai indah
Percayalah akan kata yang terucap
Semua takkan menjadi dusta semata
Bumi dan langit telah memahaminya
Cobalah untuk mengerti rasa yang ada
Larutkan hati dalam kisah yang telah terukir
Kisah untuk masa depan yang gemilang
Di bawah sinar bulan pada malam hari
Atau dibawah teriknya matahari siang
Demi keagungan cinta didasar hati
Telah mempersembahkan pada hidup
Akan arti dari yang pernah terjadi
Ingat akan ketulusan yang mendasari
Bukan kemunafikan yang dianut
Angkasa yang tak berujung sama sekali
Menyadarkan semua ketulusan ini
Mungkin bibir bisa berucap dusta
Tapi ketahuilah hati yang susah diingkari
Misteri telah menyelimuti semuanya
Dan masalah telah tercipta menusuk sanubari
Namun kata yang terangkai akan terus terangkai
Menjadikan rangkaian itu bermakna dalam
Yang akan dipahami jika bisa untuk tulus
Dan memahami setiap rangkaian kata
Seperti bumi dan langit yang telah memahaminya.


-IjonK-

Kamis, 25 Juni 2009

Plagiarism in University: Will You?


Written assignment in form of essay is one common type of assignments in university. Essay can be used for coursework or examination purposes (Smith, 2000, p. 13-16). Through making an essay, students are guided to develop their analysis ability and witting skill. It also helps students to be independent, because it emphasizes students to gather the information, to elaborate ideas, and to compose the whole things together on their own. More over, making essay leads students to train themselves in making intellectual and academic products, as well as prepare them to deal with their research paper that will be required for their graduation. Thus, essay assignment is actually covers all aspects that university students need to learn about (Meyers, 2005, p. 9).

Day by day, as the rise of SCL method—in which students are forced to be actively involved in teaching-learning process, essay assignment becomes more frequently used in university. Unfortunately, all the advantages that an essay may bring are often lost, slip out of the students’ hands, simply because they are not willing to undergo the long-exhausting-process of making it. Many students tend to plagiarize rather than to make their own. Many students prefer to copy others’ works or borrow someone else’s original ideas and pretend as if they are theirs.

The word ‘to plagiarize’, according to the Merriam Webster Online Dictionary, can be translated as: “to steal and pass off (the ideas or words of another) as one's own; to use (another's production) without crediting the source; to commit literary theft; to present as new and original an idea or product derived from an existing source” (Merriam-Webster, 2009 ). Or simply put, as written in plagiarism.org, “plagiarism is an act of fraud. It involves both stealing someone else’s work and lying about it afterward” (What is Plagiarism?, (n.d.))

Plagiarism is surely a huge issue in nowadays education. Adam Beam wrote in his article, “a survey conducted by a Rutgers University professor found that 38 percent of college students have participated in the cut-and-paste style of online plagiarism during the past year [2002]”. He also wrote, “Forty percent of students surveyed also said they had plagiarized from written sources, and 25 percent of the 2,175 graduate students surveyed admitted to [commit] some form of Internet or written plagiarism” (Beam, 2003). These are only small observable phenomena in western countries. What about those cases which are not observed? What about those in other countries, especially developing countries? Maybe the percentage is higher since the copyright laws there are less strict. For short, relying on these facts, it is make sense to say that plagiarism has become a habit for university’s students.

Generally, there are two kinds of plagiarism: the unintentional plagiarism; and the intentional one.
Unintentional plagiarism happens due to students’ unawareness of it. Some students still do not know that taking someone else’s work and idea without giving proper credit is actually a crime against the law of copyright and academic ethics. In other extend, unintentional plagiarism occurs because of citing confusion. For example, students are often confused about which fact needs to be cited, which fact needs not; how to paraphrase an idea; or does paraphrased sentence still has to be cited or not. Another example is, some students with bad note-taking skill often sloppily mix up their own notes with notes that hey copy from other sources into their essays.
Intentional plagiarism means that students deliberately plagiarize someone else’s work for a particular purpose. They know that their doings are wrong, but they keep carry on with that. The problem is, why do students plagiarize intentionally?

Many reasons may be pointed as the causes of intentional plagiarism. One of them is deadline problem. For most of the times, students are given a lot of assignments at the same time, while the deadlines are coming quicker than they expect. Then, for students, plagiarizing is a short cut to handle such situation. They can easily copy other’s works; submit it on the due date, and save more time for other activities.
Another common reason is lack of self-confidence. Some students think that their own ideas in their own words will not seem as good as those which have been published as articles or books. Then, taking the already done works of others will be better, they think. Grade issue is also commonly become the reason to plagiarize. Some students are willing to do anything in order to achieve high grade for their assignments, including cheating and plagiarizing, though they know it is a wrong deed.


Within the last decades, plagiarism seems to be growing worse. More and more students take plagiarism as a common act. In some situations, students even consciously let their peer to plagiarize their works. As written in plagiarism.org, “The State of Americans: This Generation and the Next (Free Press, July 1996) states that 58.3% of high school students let someone else copy their work in 1969, and 97.5% did so in 1989” (Facts about plagiarism, (n.d.)). Of course, there are aspects that enable plagiarism-growth to take place.

The first aspect is the growth of internet. An unlimited amount of information is now available on the internet. Some students may see this as a change to make their job easier. “A national survey published in Education Week found that 54% students admitted to plagiarizing from the internet”, says plagiarism.org (Facts about plagiarism, (n.d.)). From online sources, students can take any article from popular sites or from the most unknown sites, edit it a little, then claim it as theirs. The second aspect is lecturers’ ignorance toward the issue. “Another survey published in Education Week found that 47% of students believe their teachers some times choose to ignore students who are cheating. A study conducted by Donald L. McCabe in 2003 found that 55% of faculty “would not be willing to devote any real effort to documenting suspected incidents of student cheating”” (facts about plagiarism, (n.d.)). If lecturers/teachers are ignoring plagiarism committed by students, then who will stop the students from doing so?

The last aspect that allows plagiarism grows is the feeling of ‘every one else is doing it’. This one happens to both students and lecturers. Students tend to judge plagiarism by seeing that it is fine when their peer does it, then it will be just fine for them as well to do the same. While for lecturers, they justify by seeing that other lecturers are ignoring the issue, then why should they sweat over looking for websites and articles trying to figure out if a paper is plagiarized or not? (Plagiarism FAQs, (n.d.))

Plagiarism is a thread for education. Academic standard of intellectual honesty is an absolute requirement to be fulfilled in education. If students are accustomed to plagiarize, how can they surpass the standard? In addition, plagiarism habit will psychologically make students lazy and unproductive. If we let this going on and on, it will gradually decrease the quality of university’s graduates. Then, what can we expect from our graduates?


After all, we have to fight this habit. To prevent and overcome plagiarism may seem to be a hard work, but it is not a mission-impossible. The most important steps to do are: become aware of reasons that causes plagiarism occurs, then help students to deal with them by supporting and encouraging them; identify different forms of plagiarism, then apply a proper reward-and-punishment mechanism to disciplinize the students; and integrating plagiarism prevention techniques into the courses. The biggest responsibility to do all of these is certainly lies on the lecturers’ shoulders, because it is their job to hold a well-managed education. And in the end, all it takes is only willingness.

So, will you fight plagiarism?




Reference List

Beam, Adam. (2003). Survey shows plagiarism is up. Retrieved June 17, 2009, from http://media.www.dailygamecock.com/media/storage/paper247/news/2003/09/17/News/Survey.Shows.Plagiarism.Is.Up-467467.shtml
Facts about plagiarism (n.d.) Retrieved June 3, 2009, from http://www.plagiarism.org/plag_article_facts_about_plagiarism.html
Meyers, A. (2005). Gateways to academic writing: effective sentences, paragraphs and essay. Ney York: Peasson Education, Inc.
Plagiarism FAQs (n.d.) Retrieved June 3, 2009, from http://www.plagiarism.org/plag_article_plagiarism_faqs.html
Plagiarize, v. (2009). Merriam-Webster.com. retrieved June 22, 2009, from http://www.merriam-webster.com/dictionary/plagiarize
Smith, P. (2000). Writing an assignment: reflective ways to improve your research and presentation skills (4th ed). Plymouth: How to Books
What is Plagiarism? (n.d) Retrieved June 3, 2009, from http://www.plagiarism.org/plag_article_what_is_plagiarism.html

Senin, 08 Juni 2009

Anoreksia Kritik

Oleh: Condra Antoni*

Dalam ilmu kesehatan, anoreksia adalah kelainan psikis yang diderita seseorang berupa kekurangan nafsu makan meski sebenarnya lapar dan berselera terhadap makanan. Kalaupun mereka makan, maka mereka akan memuntahkan kembali makanan tersebut.

Pembahasan tentang anoreksia dalam kehidupan pernah dilaukan oleh Noah St John dalam bukunya Permitted To Succeed (Izin Untuk Sukses, Interaksara, 2005). Dalam buku tersebut Noah membahas tentang apa yang disebut dengan anoreksia sukses. Ia membahas tentang bagaimana seseorang tidak bisa sukses karena dia sendiri yang menghambat dirinya untuk mencapai kesuksesan dengan mengaktifkan impuls-impuls negatif sehubungan dengan penegasian self-esteem (menghargai ketidakterbatasan kemampuan diri sendiri).

Dalam tulisan ini, penulis mencoba berurai papar tentang anoreksia kritik yang menjangkiti keindonesiaan kita.

"Berkunjung ke Negeri Menhir"

¬Fatris Mohammad Faiz

Negeri itu terletak lebih dari 40 kilometer dari Plasa Payakumbuh yang ramai. 40 kilometer, tidaklah jarak tempuh yang mudah untuk sampai ke negeri yang dililit gunung itu. Setelah anda sampai di Pasar Limbanang, berbeloklah ke kanan: tanjakan-tanjakan terjal menanti, penurunan rumit, tikungan patah siku yang dibarengi aspal pecah sepanjang puluhan kilometer. “Kalau belum pernah ke Maek, sedapat mungkin berhati-hati sekali. Sopir luar kota pun belum berarti di sini,” seorang mengingatkan ketika

Kabar Buruk dari Surga


(Syair Cinta Rabiah Al-Adawiah)


Fatris Moh. Faiz*

Ia lahir dan hidup di Basrah Irak sekitar tahun 713 M ketika dinasti Umayyah berkausa di seluruh jazirah Arab, dan penjara di Basrah belum dijaga oleh tentara Amerika—tentu saja. Ia lahir dari keluarga yang sama sekali tidak mapan. Dan ketakmapanan itulah yang kemudian membuatnya jadi budak selama bertahun-tahun. Setelah bebas, ia menekuni musik dan jadilah ia pemusik yang mendendangkan lagu-lagu. Lalu, tak berapa lama ketika itu musik dianggap subhat oleh beberapa ulama. Ia, sebagaimana musik, dikecam. Karena merasa dunia sekelilingnya penuh dengan “kecaman”, ia pun mulai mencari cinta Tuhan. Tak hanya dalam musik musik, bahkan dalam “pertapaan”.

Ia Rabi’ah al-Adawiyah, perempuan yang kemudian dianggap sebagai figur dalam sastra sufistik dan kerap dipertentangkan. Bahkan hingga saat ini. Sajaknya, atau tepatnya syair, umumnya hanya diperuntukkan untuk sang Tuhan yang bagi Rabiah adalah kekasih. Bagi mereka yang menyembah Tuhan dengan penuh rasa takut (akan nereka yang penuh api) atau penuh pengharapan (akan surga yang di dalamnya terdapat bidadari jelita, sungai susu), jelas tak akan menerima apa yang dilontarkan Rabi’ah, perempuan yang memilih ‘suci’ seumur hidup itu. Ia, tentunya, memilih alur lain untuk menemukan Tuhan. Alur yang berbeda.

Al kisah, suatu hari ia membawa air di tangan kiri dan obor di tangan kanan. Seseorang bertanya: Kemana engkau akan pergi Rabi’ah?

Ia menjawab:
Saya mau ke langit untuk membakar surga
dan memadamkan api neraka
Agar semuanya tak menjadi sebab manusia
Menyembah-Nya
Sekiranya Allah tak menjadi pahala dan siksa
Masih adakah di antara mereka yang menyembah-Nya?

Membaca Rabiah, seakan menyentakkan kita bahwa Islam lahir dan hadir di muka bumi ini bukan karena kedua hal itu: surga ataukah neraka. Tetapi atas nama cinta, setidaknya begitu kata Rabi’ah.

Namun barangkali Rabi’ah keliru, orang tak (lagi) beribadah kepada sang Tuhan karena landasan cinta seperti apa yang umumnya dianjurkan para sufi. Manusia telah berperang dan saling bunuh untuk surga dan neraka itu. Untuk dua kata yang kekal itu, mereka mengutip Quran. Setidaknya begitu yang disebut Fitna, film yang dilarang peredarannya di Indonesia saat ini. Film itu membelalakkan mata kita, dan juga menyentuh kita dengan amarah. “Tidak semua orang Islam seperti itu, itu hanya sebagian kecil,” kata teman saya setelah menontonnya.

Rabiah memang tidak ada ketika Theo Van Gogh meregang nyawa di depan Muhammad Bouyeri. Sang seniman itu dibunuh karena dianggap telah melecehkan Islam di Belanda. Rabi’ah juga tak tak mengenal (atau mungkin dikenal) oleh Farag Fouda. Menurut catatan Tempo, kelompok yang menamakan diri Jamaah Islamiah yang pada tanggal 8 Juni 1992 telah membunuh Farag Fouda di Madinath al-Nasr, Kairo. Fouda dituduh murtad atas tulisannya al-Haqiah al-Ghaybah (Kebenaran yang Telah Hilang), dan karena itu ia layak dibunuh. Dan Rabiah juga tidak ada ketika bom Bali meledak, dan tempat maksiat itu hancur bersama turis yang berpakaian seronok tengah menikmati liburan.Tentu tidak.

Saat sekarang, ketika iman seakan jadi ancaman di tengah kita untuk membuat garis batas antara beriman dan kafir, kita seakan dibutuhkan untuk membaca syair Rabi’ah.

Sabtu, 30 Mei 2009

"Rajawali"

Rajawali, terbang di dalam ruhku,
Bercerita tentang,
Burung-burung,
Yang ia pimpin,
Dengan 7 para jenderal,
Dan burung pipit,
Mencicit,
Sendiri, sepi,


LPK, 25 april 2009


-Nia-

"Bahasa"

Diruang ini, kita mengemas kata demi kata,
Melayarkan kenangan,
Di hangatnya senja,
Menaburkan gemerincing,
Senar gitar,
Dalam nuansa,
Tak terterka,
Padahal, kita rasa duka,
Menyapa, diriuhnya,
Gelak tawa,

Bukittinggi, 24 april 2009


-Nia-

"Pergolakan"

Pergolakan

Kalau kamu terka,
Apa yang kami lakukan?,
Kau seperti menerka pasir,
Tak berdebu,
Kalau kau rasa,
Kami berseberangan,
Dalam alur pikiranmu,
Dicecah oleh mulutmu

Gedung E, 22 april 2009


Pergolakan II

Disini, diruang sidang,
Semua wajah menatap,
Dengan seribu tanda dikeningmu,
Merangkai sajak,
Untuk kau sirami,
Ada petinggi, menyidang para mentri,
Remuk jiwa, gelak tawa,
Berderai,
Dalam ruang,
Dan setelah itu,
Kami terpaku,
Mengulum senyum sipu,

Gedung E, 23 april 2009-05-25


-Nia-

"Sayonara"

Aku menghitung detak jantungmu,
Dan kibasan angin sore,
Di perjamuan,
Kutelan air mataku,
Dalam dinginnya,
Ruang,
Kau tasbihkan pengakuanmu,
Keberadaan,
Sahabat,
Saudara,
Hingga, lantunan adzan,
Akhiri, tangismu,

BEM KM, 21 april 2009


-Nia-

"Di Akhir Kebersamaan"

saat ini, kita telah berada dipembatas waktu,
diantara alur yang berliku,
diwarnai oleh pelangi dipelupuk mataku,
mengalir, menganak sungai,
berkecipak angsa-angsa, dalam satu telaga,
bersaksi senja pada malam
dalam rentetan peristiwa yang tak terlupa,
kata "diakhir pertemuan"mesti terucap,
sahabat, biar,
pertemuan dijadikan sari gula yang,
kucecap diujung lidah, dalam batang tebu,
dan, biarkan nasib menyisir waktu,
mengenang kisah,
dalam seperempat kotak peristiwa,
dalam harap,
dan, disaat akar menyusup menagih janji,
berjaga, akan murai-murai liar, diluar sana,
dan, biarkan mentari menuju haluan,
esok, yang tak kita mengerti



di akhir kebersamaan
(sahabat)
:BEM

_Nia_

Rabu, 13 Mei 2009

"Cerita Sebuah Pergerakan"

Dalam kamus politik, undang-undang,
Susduk, student state,
Berkaca, bagai negarawan sejati,
Berjuang, berteriak,
Menguncang bumi,
Menembus, cakrawala keangkuhan,
Katamu, hari itu adalah hari bersejarah,
Untuk dirimu dan bangsamu,
Kau berlari, sambil berteriak
“hati-hati provokasi”
“waspada kawan, teman disampingmu”
Teriakanmu, membuat khalayak tertegun,
Kadang tersenyum simpul,
Atau hanya semacam makian,
Namun, kau tetap,
Berteriak,
“satu tujuan”
Demi kejayaan bangsa.

Memorian, 2008-2009

_elSya_

"Aku dan Engkau"

Engkau yang berada dalam diri “aku”,
Kenapa tak berkata sepatah kata?,
Tentang “aku” yang sedang menahan kalbu,
Dikesunyian hati, ditempa oleh ilusi duniawi,
Engkau yang berada dalam diri “aku”
Mengapa muram?,
Tak lagi kulihat senyum manismu,
Yang penuh keikhlasan,
Tersenyumlah sejenak,
Agar hati “aku”
Lebih jinak,
Tak seperti kabut,
Mengekang “aku” dalam penjara prasangka,
Engkau yang berada dalam diri “aku”
Tataplah wajahku?,
Ada kabut hitam,
Dan mata hati yang luka,
Engkau yang berada dalam diri “aku”
Istiqomahlah,
Dengan jalanmu,
Jangan bermuram,
Dalam kabut hitam,
Lepaskanlah,
“aku” kepada “engkau”
Bergandengan tangan,
Temukan,
Rabb,
Dan tersenyumlah pada kehidupan.


Sastra, 8 April 2009

_Elsya_

Rabu, 06 Mei 2009

"Perawan"

Gadis perawan berbaju merah
Surga kau bawa di kakimu
Langit diatas berawan putih
Melihat rasa dalam hatimu

Rumah kau adalah surga
Menapaki titian dunia
Berat aral di depan mata
Namun hati adalah raja

Sore menitipkan senjanya
Dibawah awan merah
Cukupkan mata untuk merasa
Kita tak lagi bersama

Lupa akan janji
Gadis perawan berbaju merah
Merah merona hilang sekejap
Ganti akal merasuki jiwa
Tak akan ada yang tertinggal

-Tomi-

"Subuh"

Luapan emosi pagi mencerahkan hati
Ku asingkan diri di kelam redup subuh
Tersandar dalam bara merah warna
Hunuskan pedang berdarah hati

Hingga saat jumpa
Lelap ku pejamkan rasa
Awan berarak menjauhi masa
Lupa akan langit yang berbintang
Diiring sepoi asa berhembus

Coba kau resapi makna hidup
Jauh dari akal dan sadar
Cukupkan hati
Tersadar akan langit yang mulai gelap

Tumpuan putaran tak lagi kuat
Hilang kendali alam
Jujur aku mengatakan
Bahwa ini adalah waktu yang telah berhenti

Kupas dalam waktu yang berlalu
Irisi kulit tipis menyayat
Jejak itu akan terlihat
Hilang hati hilanglah bumi.

-Tomi-

Minggu, 03 Mei 2009

SASTRA(WAN) YANG MALAS, BAPAK GUBERNUR?


(Tanggapan atas penilaian Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi di harian Singgalang, Senin, 27 April 2009 halaman B-13 yang berjudul “Sastrawan Sumbar Malas Berkarya”)

1
Oleh: Fatris Mohammad Faiz

Yth. Bapak Gubernur,

Jika Bapak punya hari libur disela-sela jadwal Bapak yang padat mengurusi rakyat, datanglah ke toko-toko buku yang menjual buku-buku sastra, atau bacalah koran Minggu terbitan Jakarta (terutama halaman seni dan sastra), maka Bapak tentu akan memberi penilaian lain. Di antara sederetan buku sastra, Bapak akan menemui sederetan nama yang telah Bapak nilai sebagai sastrawan pemalas itu:

Pelatihan Kesusasteraan di Sastra Inggris Unand

03_05_09_hl4
Mereka yang berangkat ke alam terbuka bukan untuk berwisata, adalah mereka yang mencari tempat lain untuk belajar, berpikir dan berkarya. Sebuah tempat yang tak ditumbuhi gedung-gedung dingin, yang tak ada whiteboard, tak ada khutbah, tak ada nilai-nilai yang kaku.


Sesaat, tubuh-tubuh mereka mengeliat seperti ada yang memberontak dari dalam, dari sesuatu yang bukan tubuh. Wajah mereka berubah-ubah dari sedih hingga muram dan masam. Kemudian mereka menulis tentang sesuatu yang entah, sesuatu yang mungkin saja belum pernah ada, sesuatu yang barangkali belum terlihat oleh mata, sesuatu yang mungkin telah berulang kali dilakukan sehari-hari, atau sesuatu yang mungkin telah hilang dari dalam diri sendiri. Tapi bukan sesuatu yang nihil.


Literary Basic Training III yang diadakan Jurusan Sastra Inggris Universitas Andalas dari tanggal 24-26 April 2008 di Asam Pulau kecamatan 2X11 Kayutanam merupakan satu usaha untuk menanamkan nilai-nilai kesusasteraan, nilai-nilai yang mungkin beranjak dari kebebasan berpikir, kebebasan berpendapat yang menurut beberapa peserta, tidak didapat di gedung-gedung kuliah.


Di lapangan luas yang diapit sungai itu mereka mendirikan tenda-tenda dan belajar tentang dua hal: kepenulisan dan keaktoran. Dalam kepenulisan, mereka dibimbing untuk menulis imaginative, menulis kreatif, dan beberapa hal lainnya seperti pengenalan puisi dan drama, kemudian melakonkannya pada sebuah panggung tanah.


Menulis kreatif, menulis imaginative, dimasukkan dalam agenda pelatihan itu sebagai upaya untuk memudahkan peserta untuk menulis. Sebab di gedung kuliah dan kurikulum hanya mengajarkan bagaimana menulis esai dan menulis akademik. Sample Image Beberapa bulan lalu, Diana Frost, seorang dosen yang menetap di Indonesia sejak tahun 70-an berasal dari Scotland pernah terkejut mendengar tidak adanya mata kuliah kepenulisan kreatif di Sastra Inggris UNAND, “Saya merasa aneh dengan pendidikan kalian, apa sebenarnya yang kalian pelajari sebetulnya…” Betapa sebuah jurusan sastra yang belum bisa menghargai imajinasi.