Rabu, 21 Januari 2009

Sajak-sajak Mira

Ruang Kosong







Ada sesuatu yang retak disitu


Makin lebar dan menganga


Semakin lebar dan tak tertutup lagi


Retakan itu seperti sebuah lembah



Ada kesunyian disitu


Makin hening dan sepi


Lelah untuk bersuara


Bahkan hanya bisikan



Ada ganjalan disitu


Hendak menggeser tapi terjepit



Titus Andronicus : Parenting Analysis

Titus Andronicus : An Analysis



* Good Parents / Bad Parents





  1. Titus Andronicus


In this play, the story shows us that Titus is a kind of horrible parents because he could have a heart to murder his own children. We can see this in some parts. At the first time he murder Mutius because he helps Bassianus and Lavinia to escape from the emperor. Titus presents Lavinia for Saturninus the emperor when he asks Lavinia as his wife as soon as he declared as the emperor. But the emperor’s brother, Bassianus is falling in love with Lavinia and claiming that Lavinia just right for him, he took Lavinia away with him by helping of Marcus and Titus three sons. Mutius try to obsecure Titus to catch Lavinia but he got murdered by his own father. In this part, Titus could have a heart to murder his son because of pride, which stated in :


Nor thou, nor he, are any sons of mine

Minggu, 18 Januari 2009

Sajak-sajak F.M.Faiz

DONGENG CINTA


Cuma kau. Aku


Selebihnya kekalahan, selebihnya


Dongeng tentang sakit yang tak selesai


Yang terus kita ulang dari halaman berbeda


Dongeng tentang usia



Cuma kau. Aku


Dan kekosongan di antaranya


kita anggap sebagai cinta


Juga kebohongan-kebohongan kecil


Yang selalu kita duga-duga


Mengalir serupa sungai


:cinta kah muara?






JALAN TIK TAK JAM


Aku berjalan


Tiktak jam sembunyi dalam hujan, pada gigil hutan-hutan


Kali-kali simpan dingin pagi


Aku kehilangan mantel, juga catatan


Dan tak bisa lari dari angka-angka kalender



Kau tak akan datang di satu


pagi yang sibuk itu


dan cuaca yang manja dan aroma bunga plastik


Dari sisa cinta yang kau copot dari tiap celana


Anak anak, meja tulis, hutan tropis, spidol berbau amis



cinta dan bait-bait


sebentuk kesangsian akan berangkat




November 2008







SITUJUH


Bukan senja yang bikin kelam,


Kampungmu kian jauh dilamun kabut


Di jalan-jalan tumbuhi lumut



Aku tahu, kita tak akan menemukan telaga di atas sana


Di puncak batas


Kematian bergeming dalam rupa yang lain








1999


hujan menghempas di luar


angin patahkan cahaya jalan


lampu kehilangan gelap,


dan orang kembali ke rumah batu mencairkan dingin jadi keringat



aku tahu kapan harus berangkat,







SONET PENGHABISAN




I


Kita akan berpisah di ujung jalan itu, ella


Kau, aku telah melewati taman penuh bunga di tikungan yang sama


Pada kelok jalan yang belum penuh


Kau memilih simpang,


dan lorong cahaya yang panjang


adakah kesiur angin sampai ke sana?



Aku antara gelap gang


catatan keberangkatan, kalimat-kalimat kabur


:kesepian yang tak kunjung tuntas itu


Serupa batukmu yang tak berkesudahan digerogoti mimpi


tentang rumah kecil serupa sorga


di kaki bukit sana.



II


Bukankah bunga dan kupu-kupu telah hinggap


bersemayam di tubuhmu, ella


menjelma warna biru malam-malam lesap


kesunyian tergantikan mozard


diam-diam kita renangi musim


daun-daun gugur dari tangkai,


benang sari yang berlepasan,


serupa gugur hujan pengujung tahun yang terkubur kesunyian



Setelahnya kita sibuk dengan cerita tentang sorga


yang tak pernah dijaga tentara.



F.M.Faiz the lost prophet

Minggu, 11 Januari 2009

Sajak Pinyu

Menulis Benak



Berawal disebuah lorong yang remang waktu senja kala pertama ku melihatnya


Lorong dengan pilar bernoda titik darah disetiap penjurunya


Lorong yang kata mereka terdapat dunia dan perihal di halaman depannya



Analysis: Sonnet XLI

SONNET XLI

I, being bord a woman and distressed
By all the needs and notions of my kind
Am urged by your propinguity to fing
Your person fair, and feel a certain zest
To bear your body weight upon my breast
So subtly is the fume of life designed
To clarify the pulse and cloud the mind
And leave me once again undone, possessed
Think not for this, however, the poor treason
Of my stout blood against my staggering brain

Catatan Geger

Apa ini?????



Aku berlari dan terus berlari, aku tak tahu apa yang sedang ku kejar. Atau, mungkin saja sekarang aku sedang dikejar oleh sesuatu yang aku sendiri tidak tahu, lebih tepatnya tidak ingin tahu. Aku takut dengan apa yang kutakutkan. Akh, lebh baik tak kupikirkan.


Aku berlari, setidaknya mengikuti kata hatiku, kata hati yang selama ini tidak pernah menyesatkanku. Satu-satunya yang selama ini tidak pernah berkhianat dan aku yakin tidak akan mengkhianati aku sebagai tuannya. Akh, aku bimbang, aku ingin pergi jauh.

Sajak Paulus Eko P.P

Aku dan Impianku


 




Tak ada hal seindah bermimpi


Berdiri di depan khalayak ramai


Inginnya rasanya menyampaikan isi hatiku


Lewat dawai – dawai ini




Suara riuh mengelu – elu


Hanya satu kata yang terdengar


Namaku…




Tapi...


Ketika aku tersadar


Yang ada hanya keheningan


Aku haya memainkan dawai ini untuk diriku sendiri




Tapi


Apa bedanya???


Yang jelas antara aku dan impianku memiliki pendapat yang sama


“Musik adalah hidupku”





 


Cermin Community

Sabtu, 10 Januari 2009

Sajak-sajak Famar Trizon

Membaca delapan sajak Famar Trizon, adalah seumpama menonton percakapan dua remaja yang tengah melihat rekaman persalinan seorang bayi yang dilahirkan dari perut ibunya. Ada tali pusar yang belum diputus, juga lendir-lendir yang masih berleleran. Dan, kedua remaja itu mereka-reka apa yang akan mereka lakukan nanti seandainya telah jadi ibu, hamil dan melahirkan. Tapi setidaknya ada yang akan mereka sampaikan walau dalam bahasa ‘reka-reka’.



Pada sajak “di balik Ilalang” kalimat Asa yang selama ini menemani


Telah muak dan pergi tinggalkan semua


Air mata akhirnya jatuh membasahi bumi


Seperti darang menghentak setelah beberapa bait sebelumnya masih ingin tegar.



Kecenderungan puisi yang lahir dari lingkungan akademisi seperti merong-rong akta-kata ke dalam perangkap gelap metafora. Kecenderungan itu lahir tidak semata dari intuisi yang dibangun oleh pemuisi, tapi lebih dari sesuatu yang belum padu dan pemaksaan hegemoni kata-kata.



Membaca puisi (sebut saja: sajak) Famar Trizon bagai merelakan diri kita terombang ambing pada riak-riak kecil emosi yang sesungguhnya dianggap sebagai gelombang.



Selamat membaca!



F.M.F







di balik Ilalang




Berada dalam ketidak pastian



Ternyata Tua Tidak Selalu Baik

Hari ini pertempuran – entah yang keberapa kali aku alami – terjadi. Pagi-pagi aku dibangunkan oleh suara menyebalkan ibuku yang berteriak tentang aku yang tidak mau berajak dari tempat tidur dan masih bergulug dalam balutan selimut. Ia memaksaku untuk membangun dan membantunya menyuci piring. Yah..hanya untuk menyuci piring ia membangunkan seluruh orang yang sedang terlelap di sekitar perumahanku. Orang tuaku, meyakinkan aku kalau tua itu bukanlah sebuah ukuran untuk tidak melakukan kesalahan.



Kemaren, aku bertemu dengan seorang perempuan yang lebih tua dariku beberapa tahun. Aku tidak begitu mengenalinya, tapi aku yakini ia adalah teman dari seorang temanku yang cukup baik aku kenal. Dari atas bus aku tersenyum padanya melalui jendela yang terbuka cukup. Ia sedang berbicara pada temannya dan tiba-tiba tersentak karena mendapati aku tersenyum padanya. Ia tidak ingat padaku dan membalas senyumanku dengan tatapan aneh, karena ada seseorang yang tersenyum padanya. Perempuan itu, memantapkan hatiku bahwa menjadi dewasa kita tidak selalu bisa menghargai perbuatan seseorang.



Dahulu, saat aku masih menyukai Barbie, aku menganggap bahwa saat aku beranjak dewasa nanti aku akan menjadi lebih baik dari saat aku kecil. Aku tidak akan takut lagi pada gelap, aku tidak takut lagi saat harus berada dirumah, saat dewasa nanti aku pasti akan bisa mengerjakan apa saja. Tapi, setelah aku memiliki KTP, aku bertemu dengan teman-teman sebayaku yang masih takut pada gelap, takut saat berada sendirian di ruangan kosong, dan tidak mampu mengerjakan apa-pa yang sepatutnya dapat mereka kerjakan. Teman-temanku membuat aku percaya bahwa orang yang sudah tidak kecil lagi memiliki kelemahan dan kebodohan yang lebih parah.



Waktu aku yang berusia tujuh tahun, iri melihat abangku yang berusia sepuluh tahun. Saat aku mengenakan seragam TK Cendrawasih, aku iri melihat saudara laki-lakiku mengenakan serangam yang berbawahan merah berlambang Katika Candrakirana. Ketika adik sepupu dari ayahku sesekali berkunjung ke rumah, aku iri karena ia bercerita bahwa ia baru bisa mampir ke rumahku karena selama ini ia sibuk dengan kuliahnya. Saat itu aku ingin seperti mereka, berusia lebih tua. Setelah aku berada diujung usia belasan aku ingin kembali mengulang usiaku sebelum sepuluh tahun, mengenakan pakaian berbawahan merah tidak lagi aku inginkan, kesibukan kuliah dengan sangat ingin aku hindari. Sekarang aku merasa bahwa menjadi tua itu tidak selalu baik untuk diriku.(Audrey)