Senin, 08 Juni 2009
Anoreksia Kritik
Dalam ilmu kesehatan, anoreksia adalah kelainan psikis yang diderita seseorang berupa kekurangan nafsu makan meski sebenarnya lapar dan berselera terhadap makanan. Kalaupun mereka makan, maka mereka akan memuntahkan kembali makanan tersebut.
Pembahasan tentang anoreksia dalam kehidupan pernah dilaukan oleh Noah St John dalam bukunya Permitted To Succeed (Izin Untuk Sukses, Interaksara, 2005). Dalam buku tersebut Noah membahas tentang apa yang disebut dengan anoreksia sukses. Ia membahas tentang bagaimana seseorang tidak bisa sukses karena dia sendiri yang menghambat dirinya untuk mencapai kesuksesan dengan mengaktifkan impuls-impuls negatif sehubungan dengan penegasian self-esteem (menghargai ketidakterbatasan kemampuan diri sendiri).
Dalam tulisan ini, penulis mencoba berurai papar tentang anoreksia kritik yang menjangkiti keindonesiaan kita.
Kabar Buruk dari Surga
(Syair Cinta Rabiah Al-Adawiah)
Fatris Moh. Faiz*
Ia lahir dan hidup di Basrah Irak sekitar tahun 713 M ketika dinasti Umayyah berkausa di seluruh jazirah Arab, dan penjara di Basrah belum dijaga oleh tentara Amerika—tentu saja. Ia lahir dari keluarga yang sama sekali tidak mapan. Dan ketakmapanan itulah yang kemudian membuatnya jadi budak selama bertahun-tahun. Setelah bebas, ia menekuni musik dan jadilah ia pemusik yang mendendangkan lagu-lagu. Lalu, tak berapa lama ketika itu musik dianggap subhat oleh beberapa ulama. Ia, sebagaimana musik, dikecam. Karena merasa dunia sekelilingnya penuh dengan “kecaman”, ia pun mulai mencari cinta Tuhan. Tak hanya dalam musik musik, bahkan dalam “pertapaan”.
Ia Rabi’ah al-Adawiyah, perempuan yang kemudian dianggap sebagai figur dalam sastra sufistik dan kerap dipertentangkan. Bahkan hingga saat ini. Sajaknya, atau tepatnya syair, umumnya hanya diperuntukkan untuk sang Tuhan yang bagi Rabiah adalah kekasih. Bagi mereka yang menyembah Tuhan dengan penuh rasa takut (akan nereka yang penuh api) atau penuh pengharapan (akan surga yang di dalamnya terdapat bidadari jelita, sungai susu), jelas tak akan menerima apa yang dilontarkan Rabi’ah, perempuan yang memilih ‘suci’ seumur hidup itu. Ia, tentunya, memilih alur lain untuk menemukan Tuhan. Alur yang berbeda.
Al kisah, suatu hari ia membawa air di tangan kiri dan obor di tangan kanan. Seseorang bertanya: Kemana engkau akan pergi Rabi’ah?
Ia menjawab:
Saya mau ke langit untuk membakar surga
dan memadamkan api neraka
Agar semuanya tak menjadi sebab manusia
Menyembah-Nya
Sekiranya Allah tak menjadi pahala dan siksa
Masih adakah di antara mereka yang menyembah-Nya?
Membaca Rabiah, seakan menyentakkan kita bahwa Islam lahir dan hadir di muka bumi ini bukan karena kedua hal itu: surga ataukah neraka. Tetapi atas nama cinta, setidaknya begitu kata Rabi’ah.
Namun barangkali Rabi’ah keliru, orang tak (lagi) beribadah kepada sang Tuhan karena landasan cinta seperti apa yang umumnya dianjurkan para sufi. Manusia telah berperang dan saling bunuh untuk surga dan neraka itu. Untuk dua kata yang kekal itu, mereka mengutip Quran. Setidaknya begitu yang disebut Fitna, film yang dilarang peredarannya di Indonesia saat ini. Film itu membelalakkan mata kita, dan juga menyentuh kita dengan amarah. “Tidak semua orang Islam seperti itu, itu hanya sebagian kecil,” kata teman saya setelah menontonnya.
Rabiah memang tidak ada ketika Theo Van Gogh meregang nyawa di depan Muhammad Bouyeri. Sang seniman itu dibunuh karena dianggap telah melecehkan Islam di Belanda. Rabi’ah juga tak tak mengenal (atau mungkin dikenal) oleh Farag Fouda. Menurut catatan Tempo, kelompok yang menamakan diri Jamaah Islamiah yang pada tanggal 8 Juni 1992 telah membunuh Farag Fouda di Madinath al-Nasr, Kairo. Fouda dituduh murtad atas tulisannya al-Haqiah al-Ghaybah (Kebenaran yang Telah Hilang), dan karena itu ia layak dibunuh. Dan Rabiah juga tidak ada ketika bom Bali meledak, dan tempat maksiat itu hancur bersama turis yang berpakaian seronok tengah menikmati liburan.Tentu tidak.
Saat sekarang, ketika iman seakan jadi ancaman di tengah kita untuk membuat garis batas antara beriman dan kafir, kita seakan dibutuhkan untuk membaca syair Rabi’ah.
Minggu, 03 Mei 2009
SASTRA(WAN) YANG MALAS, BAPAK GUBERNUR?
(Tanggapan atas penilaian Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi di harian Singgalang, Senin, 27 April 2009 halaman B-13 yang berjudul “Sastrawan Sumbar Malas Berkarya”)

Oleh: Fatris Mohammad Faiz
Yth. Bapak Gubernur,
Jika Bapak punya hari libur disela-sela jadwal Bapak yang padat mengurusi rakyat, datanglah ke toko-toko buku yang menjual buku-buku sastra, atau bacalah koran Minggu terbitan Jakarta (terutama halaman seni dan sastra), maka Bapak tentu akan memberi penilaian lain. Di antara sederetan buku sastra, Bapak akan menemui sederetan nama yang telah Bapak nilai sebagai sastrawan pemalas itu:
Pelatihan Kesusasteraan di Sastra Inggris Unand
Mereka yang berangkat ke alam terbuka bukan untuk berwisata, adalah mereka yang mencari tempat lain untuk belajar, berpikir dan berkarya. Sebuah tempat yang tak ditumbuhi gedung-gedung dingin, yang tak ada whiteboard, tak ada khutbah, tak ada nilai-nilai yang kaku.
Sesaat, tubuh-tubuh mereka mengeliat seperti ada yang memberontak dari dalam, dari sesuatu yang bukan tubuh. Wajah mereka berubah-ubah dari sedih hingga muram dan masam. Kemudian mereka menulis tentang sesuatu yang entah, sesuatu yang mungkin saja belum pernah ada, sesuatu yang barangkali belum terlihat oleh mata, sesuatu yang mungkin telah berulang kali dilakukan sehari-hari, atau sesuatu yang mungkin telah hilang dari dalam diri sendiri. Tapi bukan sesuatu yang nihil.
Literary Basic Training III yang diadakan Jurusan Sastra Inggris Universitas Andalas dari tanggal 24-26 April 2008 di Asam Pulau kecamatan 2X11 Kayutanam merupakan satu usaha untuk menanamkan nilai-nilai kesusasteraan, nilai-nilai yang mungkin beranjak dari kebebasan berpikir, kebebasan berpendapat yang menurut beberapa peserta, tidak didapat di gedung-gedung kuliah.
Di lapangan luas yang diapit sungai itu mereka mendirikan tenda-tenda dan belajar tentang dua hal: kepenulisan dan keaktoran. Dalam kepenulisan, mereka dibimbing untuk menulis imaginative, menulis kreatif, dan beberapa hal lainnya seperti pengenalan puisi dan drama, kemudian melakonkannya pada sebuah panggung tanah.
Menulis kreatif, menulis imaginative, dimasukkan dalam agenda pelatihan itu sebagai upaya untuk memudahkan peserta untuk menulis. Sebab di gedung kuliah dan kurikulum hanya mengajarkan bagaimana menulis esai dan menulis akademik. Sample Image Beberapa bulan lalu, Diana Frost, seorang dosen yang menetap di Indonesia sejak tahun 70-an berasal dari Scotland pernah terkejut mendengar tidak adanya mata kuliah kepenulisan kreatif di Sastra Inggris UNAND, “Saya merasa aneh dengan pendidikan kalian, apa sebenarnya yang kalian pelajari sebetulnya…” Betapa sebuah jurusan sastra yang belum bisa menghargai imajinasi.
Rabu, 29 April 2009
Negeri Kemunafikan
Ketika semua hampa tanpa ada sekat yang memisahkan gulungan-gulungan perkamen rahasia, kemudian bercampur dengan hiruk pikuk kebingaran serta keganasan waktu memakan hierarki kehidupan. Sisi-sisi itu kemudian di lepas menerawang jalan kelam tak bercahaya sampai pada batas dimana semuanya tak ada lagi sekat, semuanya sama…..
Berkaca sebelumnya, cermin lah tempat memantulkan kejujuran paras kenistaan, mata, telinga serta hidung. Ketika itu semua indra menjadi bisu kecuali satu… Perasaan, yang coba menipu semuanya dengan segala tindakan yang mencoba menafikkan ukuran kebenaran yang ada. Mata boleh saja tak melihat tapi bisa berbicara dalam keheningan. Telinga bisa saja tak mendengar, tapi mungkin saja melihat kenistaan. Hah...! hidung pun tahu ketika bau-bau dusta mulai merambat dari sisi terbawah menjulang keatas hingga semuanya berada di jurang-jurang kemunafikan.
Hentikan saja semua ini, sebelum sebuah wadah tak mampu lagi menampung semuanya… yah, kemunafikan hadir dalam sebuah pemikiran. Ingat saja semua ada batasnya, sehingga kita tak perlu lagi menjilati semua peluh yang mulai bercucuran hingga peluh pun berganti darah.
Negeri angan-angan pun yang berasal dari buah bibir kemunafikan pasti sirna. Ingat… kita ini sudah sakit, seharusnya kita berada dalam ruang yang steril, yah setidaknya kita bisa berada jauh dari semua kebablasan ini. Jangan malah membuat semuanya seperti lukisan abstrak yang semuanya tergantung dari masing-masing interpretasi pikiran individual, yang hanya ingat ketika dirinya tertusuk duri, lalu membuang duri tersebut tanpa memperingatkan saudaranya keberadaan duri tersebut.
Ocehan ini tak mampu membuat sebuah dunia menjadi bulat, namun jika saja suara-suara terdengar lantang, maka tempatku berpijak pun tak akan ada jejak untuk kau ikuti.
-Tomi A-
Rabu, 15 April 2009
Mass Narcism
Pencalonan bebas dengan syarat tertentu pastinya menarik minat banyak orang dari segala golongan untuk ikut mencalonkan diri. Mulai dari kader partai tertentu hingga masyarakat umum seperti pengusaha, pegawai negeri, guru, abdi masyarakat hingga orang yang tergolong kepada masyarakat biasa. Dengan keberadaan orang-orang tersebut, maka mereka pun tentunya memerlukan wadah untuk mengapresiasikan diri sebagai jalan untuk memperkenalkan diri mereka kepada masyarakat. Karena jika tidak, siapa yang akan memilih mereka nantinya? Kalau tidak dikenal, sama saja bunuh diri namanya.
Dengan keadaan seperti itulah poster-poster, baliho, stiker dan kartu nama dilempar ke masyarakat. Foto para caleg dibuat sebagus mungkin, jika perlu diberi finishing touch editan teknologi mutakhir. Senyum manis dipasang, dan kalau perlu diberi embel-embel anak si anu dengan suami si anu yang merupakan keturunan langsung si anu. Ah,, capek bacanya.. bingung juga, sekolahan mana ya yang bisa memberikan gelar segitu panjang?! Sedangkan laki-laki Minang saja harus melalui proses yang panjang untuk dapat menikmati gelar Sutan Rajo Sati.
Memang keberadaan gambar-gambar para caleg ini terkadang memberi sedikit hiburan saat dilihat karena saking kreatifnya, walaupun senyuman yang keluar kadangkala posisinya jadi sedikit miring. Terlihat jelas siapa yang memang fotogenik, yang berfoto hanya untuk keperluan membuat KTP saja, dan siapa yang menyengajakan berfoto hanya untuk tujuan kampanye. Sisi narsis yang terlihat adalah pose, posisi incaran di pemerintahan, embel-embel nggak penting (anak si anu, istri pejabat anu, cucu tokoh masyarakat anu –red). Sementara visi dan misi mereka menjadi tidak penting karena hanya sekedar menjadi penghias pojokan poster,, yang baru akan jelas terlihat jika sudah dalam bentuk baliho berukuran sekian puluh meter.
Sudah jelas sekali para caleg ini merasa perlu menambahkan embel-embel keluarga kaena mereka merasa jika tidak dijelaskan seperti itu maka masyarakat tidak akan mengenal siapa mereka. Palingan tukang sayur langganan atau teman dan kolega saja. Lucunya, jika para caleg ini sudah menyaadri dari awal bahwa tidak semua masyarakat mengenal mereka, dari manakah datangnya keberanian sebegitu besar untuk maju dan mencalonkan diri. Atau sebegitu besarnya kah kepercayaan diri mereka hingga tidak ambil pusing masyarakat mengenal mereka atau tidak? Yang pasti promosi habis-habisan, pamer senyum manis dan berdoa semoga banyak yang memilih karena wajah dan nama mereka kadung lekat dalam ingatan masyarakat.
Belum lagi seorang caleg yang menurut saia sangat berani mati dalam pencalonan kali ini. Setelah sempat didakwa atas kasus korupsi beberapa tahun silam, tokoh ini kembali muncul kepermukaan dengan niatan pencalonan diri sebagai anggota perwakilan rakyat di Jakarta. Saia pikir, apakah calon ini menyangka masyarakat akan sebegitu bodohnya dengan kembali memilih orang yang pernah tersandung perkara korupsi? Memang pada akhir kasusnya, pencatutan dana daerah menjadi bentuk kompensasi pribadi yang besarnya mencapai puluhan juta rupiah perbulannya dianggap masuk akal! Mau belanja Prada dua hari sekali bu’? Walaupun ahirnya dibebaskan dari tuduhan karena alasan yang sangatlah masuk akal ini, saia yakin masyarakat akan mempertimbangkan lebih jauh untu memilih.
Lalu bagaimanakah dengan pentingnya visi dan misi para caleg? Toh, seberapapun besarnya ketulusan niat para caleg dalam berjanji, masyarakat tetap butuh iming-iming. Itu adalah persoalan yang sudah tidak bisa dipungkiri. Apakah masyarakat sudah terlanjur puas hanya dengan menatap senyum para caleg?
Persoalan lain yang tingkatnya lebih besar adalah pemilihan Presiden mendatang. Mulai dari saat ini entah sampai kapan, para tokoh penting negeri ini sudah merancang-rancang pencalonan diri sebagai presiden di pemilu mendatang. Bahkan dengan gagah berani menjatuhkan pihak yang dianggap lawan sekeras mungkin. Tanpa malu menjelek-jelekkan pihak lain dan mendewakan diri sendiri. Sementara pihak yang merasa sebagai korban pelecehan publik itu sendiri sebisa mungkin menangkis cercaan dan mempertahankan profil dengan memberikan pernyataan balasan sebisa mungkin.
Sebegitu menggiurkannya kah kursi presiden itu? Sampai-sampai sebuah tokoh partai berbendera merah hitam yang pada awalnya menentang keras sebuah kebijakan pemerintah yang kontak langsung dengan masyarakat kemudian berbalik arah mendukung kebijakan tersebut dan menjadikannya sebagai slogan dalam promosi partai setelah para kadernya turun sendiri ke lapangan dan melihat betapa masyarakat ternyata sangat menghargai dan menantikan hasil kebijakan tersebut karena bagi mereka terlihat lebih nyata dan terasa manfaatnya. Benar-benar suatu aksi bunuh diri politik dan sosial secara sadar yang mungkin bukannya menaikkan pamor mereka malah membuat masyarakat semakin jijik dan anti kepada mereka.
Seorang “tokoh” yang tidak mau disebut begitu pernah menyatakan bahwa “daripada berjanji, lebih baik berniat”. Diluar ketulusan niat itu sendiri, masyarakat memang membutuhkan sesuatu yang sifatnya tidak bertele-tele. Tapi kehidupan masyarakat yang masih morat marit menjadikan masyarakat seperti berlagak buta-tuli-bisu dan akhirnya menjatuhkan pilihan kepada calon yang dengan janji-janjinya dianggap dapat mencerahkan kehidupan kelak. Apakah sebentuk foto dan nama bertuan yang bergelimpangan dipinggir jalan dan diseantero wilayah kota benar-benar dapat memikat hati masyarakat?
_Mira_
Sabtu, 21 Maret 2009
Frankenstein Dan Secangkir Kopi
Karakter monster dalam drama ini diperankan oleh seorang wanita dengan dua wajah. Dalam momen diskusi pasca pementasan, terungkap sebuah kritikan terhadap masalah sosial masyarakat, dimana wanita dianggap sebagai penyebab permasalahan dalam rumah tangga. Hal ini lebih jauh mengisyaratkan bahwa hadirnya kajian dan gerakan feminisme adalah ‘virus’ yang merubah wanita menjadi ‘monster’. Diskusi semakin manarik dengan munculnya sebuah diskursus ‘setelah munculnya feminisme, wanita menjadi enggan untuk membikin secangkir kopi untuk suaminya’. Implikasi logis dari diskursus ini adalah wanita tidak mau lagi mengurusi seluk beluk urusan domestik rumah tangga akibat pengaruh kajian feminisme. Inilah metadiskursus patriarkhi dibalik drama Frankenstein kemarin. Saya memahami permasalahan rumah tangga antara suami dan istri adalah suatu ranah kajian yang cukup rumit, dan adalah tidak adil jika secara langsung mendakwa perempuan sebagai ‘biang kerok’ perpecahan rumah tangga. Seharusnya permasalahan ini dilihat dari banyak sisi, tidak dari satu sudut pandang saja. Saya yakin jika suami telah memenuhi kewajiban dan fungsinya secara baik dan benar (lahir dan bathin), maka tidak akan ada lagi perempuan yang enggan memenuhi peranannya dalam rumah tangga secara baik dan benar juga.
Jadi ternyata permasalahannya tidak semata-mata terletak di bahu perempuan. Ada semacam usaha-usaha taktis dan ideologis untuk mempersempit objek terdakwa menjadi satu kelas gender saja, yaitu perempuan. Saya mencoba membongkar trace dan aporia dari permasalahan ini, saya menemukan bahwa seorang suami sebagai salah satu pelaku sosial dan bagian elemen masyarakat, akan menemui kesulitan dalam memenuhi tanggung jawabnya ketika masyarakat tersebut telah menjadi objek eksploitasi ‘gurita kapitalisme’. Dalam konteks ini, kapitalisme telah berkolaborasi dengan kekuasaan sosial patriarkhi untuk membentuk identitas masyarakat. Seorang kepala perusahaan misalnya, kapitalisme membentuk identitasnya menjadi kelas pekerja baru, semua kebutuhan material keluarganya terpenuhi, akan tetapi, sebagai konsekuensi, ia harus mencurahkan mayoritas waktunya untuk kepentingan kapitalisme, sehingga perhatiannya kepada keluarga sangat minim, upaya pemenuhan kebutuhan bathin untuk istri nyaris hilang. Akibatnya, sang istri enggan untuk menjalankan perananannya dengan baik dan benar. Demikian juga dengan objek eksploitasi kelas bawah kapitalisme, kuli bangunan misalnya, kesulitan memenuhi kebutuhan material keluarga akibat upah yang sangat minim, hal ini membuat sang istri kembali enggan untuk memenuhi fungsinya.
Kolaborasi patriarkhi dan kapitalisme membangun dimensi ideologis pria sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab penuh terhadap pemenuhan kebutuhan material, akan tetapi buta terhadap pemenuhan kebutuhan bathin seperti kasih sayang dan perhatian. Strategi kapitalis dan patriarkhi disini adalah membangun identitas pria sebagai pelaku sosial dominan dalam keluarga, dan mengekploitasi mereka dengan cara membentuk dimensi ideologis yang terpusat pada pemenuhan kebutuhan material keluarga, kemudian meng-eliminasi pemenuhan kebutuhan bathin. Dengan terpusatnya identitas dan ideologi kaum pria untuk memenuhi kebutuhan material keluarga, maka kapitalisme akan semakin diuntungkan, karena hal ini akan meningkatkan efektifitas sistem produksi dan laba.
Kapitalisme dan patriarkhi adalah dua kekuasaan organik sosial, disebut juga bio-power, bekerja langsung pada tataran ideologis masyarakat, menciptakan sistem kontrol dengan membentuk identitas masyarakat sesuai dengan kepentingan-kepentingan strategis kedua kekuasaan tersebut. Kedua power ini merasuki segenap praktek-praktek sosial masyarakat baik yang dikursif maupun non-diskursif. Salah satu instrumen taktis kedua kekuasaan itu adalah diskursus, dan dalam pementasan drama Frankenstein kemaren telah terdeteksi eksistensinya. Drama ini telah menjadi ajang distribusi diskursus patriarkhi, akan tetapi hal tersebut tidak menurunkan kualitas dramanya, karena justru dengan keberadaan diskursus patriarkhi itulah maka drama Frankenstein menjadi sangat menarik untuk menjadi ‘ajang pembelajaran’ bagi kita semua.
Saya mengharapkan komunitas cermin tetap produktif, serta aktif dalam mengkritisi beragam masalah sosial secara adil dan tajam. Keberadaan komunitas cermin penting untuk membangun masyarakat yang berbudaya. Kepada segenap anggota komunitas, terus budayakanlah berpikir kritis, tidak hanya terhadap masalah sosial, tetapi juga terhadap peran yang akan dimainkan.
Oleh : Novra Hadi
Jumat, 13 Maret 2009
Teater STSI di Rang Kayo Basa
Adegan awal yang ditampilkan oleh kelompok teater yang dimainkan oleh tiga orang pria dan satu wanita ini menempatkan ketiga aktor pria kedalam kerangkeng kayu, sedangkan aktor wanitanya berada di luar kerangkeng. Gerakan-gerakan yang dimainkan oleh para aktor didalam kerangkeng mereka masing-masing adalah gerakan tari yang menyerupai gerakan silat khas Minangkabau. Hal ini menurut saya adalah gambaran yang jelas mengenai keadaan yang kini terjadi di ranah Minangkabau. Gerakan-gerakan silat tersebut menyimbolkan budaya, adat, dan nilai-nilai yang ada di Minangkabau. Namun hal tersebut diatas kini telah terkungkung dalam kerangkeng-kerangkeng perubahan. Bagaimana tidak, nilai-nilai, adat serta budaya yang seharusnya menjadi ciri atau karakter yang kuat bagi masyarakat Minangkabau kini telah terbungkam secara langsung atau tidak. Bila kita tilik kehidupan masyarakata Minangkabau saat ini, maka akan muncul banyak ketidakseimbangan di berbagai lini-lini sosial. Bila kita bicara tentang Minangkabau, maka kita tidak akan terlepas dari kehidupan berserikat dan bermusyawarah. Sebuah pepatah berbunyi, bulek aia dek pambuluh, bulek kato dek mufakat. Pepatah ini merupakan karakter kuat masyarakat Minang tentang kehidupan sosial. Namun kini, pepatah tinggallah pepatah. Pepatah kini dianggap sesuatu yang tua. Sesuatu yang hanya dijalankan oleh orang-orang tua. Dan sesuatu yang tua itu sudah mulai ditinggalkan, dimakan waktu dan perubahan. Kita bisa ambil contoh surau. Surau dulu, merupakan simbol kuat masyarakat Minangkabau. Tidak hanya tempat shalat dan tempat mengaji. Surau mengambil peran penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Surau merupakan lembaga musyawarah mengenai hal-hal yang berkenaan dengan adat dan budaya.
Dulu, surau merupakan lembaga pembelajaran berbagai macam ilmu. Di surau semua orang sama-sama belajar mengenai agama, nilai-nilai kehidupan dan bahkan belajar beladiri. Surau merupakan tempat dimana para anggota belajar menjalankan peran sosial mereka masing-masing sebagai anggota masyarakat. Kini, surau hanyalah sebuah bangunan. Tempat dimana orang-orang tua shalat dan mengaji. Sedangkan yang muda-muda sibuk dengan hal-hal yang dibawa waktu dan perubahan. Mereka lebih senang berurusan dengan sesuatu yang berbau teknologi dan segala perihal yang katanya modern. Mereka lebih senang menghabiskan waktu berjam-jam untuk hanya sekedar bermain game atau menonton acara televisi. Hal ini jelas akan membunuh kreativitas. Diterima atau tidak itulah polemik yang tengah terjadi pada generasi muda minangkabau. Saya rasa inilah salah satu masalah yang ingin diangkat oleh kawan-kawan dari STSI Padang Panjang agar kita semua tidak menutup mata akan hal ini. Satu hal lagi yang menarik. Bila kita perhatikan tokoh wanita pada pertujukan ini, kita akan menemukan masalah lainnya. Tokoh ini berperan sebagai perempuan Minangkabau yang memakai baju adat. Baju adat perempuan minang yang seharusnya memiliki bagian runcing yang menyerupai tanduk kerbau pada bagian penutup kepalanya (tingkuluak). Tetapi tokoh ini tidak memakai hal yang demikian. Hemat saya, hal ini merefleksikan permasalan mengenai perempuan dan fungsinya di Minangkabau. Perempuan Minang memiliki peran dan fungsinya tersendiri. Perempuan menempati kedudukan tertinggi dalam tatanan sosial masyarakat. Namun pada kenyataannya kini, perempuan tidak lagi menjalankan fungsi dan peran sebagaimana mestinya. Waktu dan perubahan membawa perempuan-perempuan Minang kepada suatu lubang hitam yang kita kenal dengan feminisme. Suatu pola pemikiran yang katanya mengangkat nilai-nilai perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Suatu paham yang diartikan pengagung-agungan terhadap perempuan. Percaya atau tidak paham-paham ini telah telah berkembang di tengah-tengah masyarakat Minangkabau. Perempuan yang ditempatkan pada posisi yang istimewa justru menuntut hak-hak yang tidak pada tempatnya. Bagaimana tidak istimewa, perempuan memegang peranan yang sentral, perempuan yang memiliki harta warisan di minangkabau dan laki-laki hanya sebagai pengelola saja. Masalahnya lagi, sebenarnya pemikiran ini muncul di negara-negara yang memang menindas dan mengungkung hak perempuan sejadi-jadinya. Kenapa paham seperti ini bisa berkembang di tanah tempat harkat perempuan dijunjung tinggi? Padahal yang menjadi titik tujunya adalah kebebasan. Perempuan menuntut kebebasan-kebebasan yang sama dengan laki-laki. Perempuan ingin menempatkan diri layaknya kaum laki-laki. Padahal, kita semua telah memiliki peran dan fungsi masing-nasing di dalam kehiduoan sosial. Dalam tatanan sosial Minangkabau hal ini akan menjadi masalah. Masalah ini menjadi lebih rumit saat para perempuan itu tidak berkenan lagi menyediakan secangkir kopi atau menyetrika baju sang suami. Lebih buruknya lagi, beberapa perempuan diantaranya memilih untuk tidak menikah, atau menolak menyusui bayinya sendiri. Padahal, inilah yang membuat seorang perempuan itu begitu istimewa. Sekali lagi nilai-nilai telah berubah dan akan terus berubah. Hal ini berdampak buruk pada kehidupan bermasyarakat. Satu lagi dampak dari paham-paham dan pemikiran feminisme yang diangkat oleh kawan-kawan dari STSI adalah hilangnya jati diri seorang Minang. Sayup-sayup terdengar aktor laki-laki berkata, ‘ siapa aku, dimana ibuku, dimana rumahku?’. Ini merupakan dampak yang sangat jelas jika seorang ibu tidak lagi memainkan perannya sebagaimana mestinya. Maka yang ada hanyalah kebutaan terhadap asal usul. Satu lagi indikasi yang bisa kita tanggap dari dialog yang sayup-sayup itu adalah kenapa sang anak hanya menanyakan perihal ibu dan rumahnya? Ya kerena di ranah Minang ini, sekali lagi, perempuan begitu istimewa. Ranah bundo, ranah para ibu, tempat dimana perempuan sangat dijunjung. Rumah adalah haknya perempuan. Tempat para suaminya menumpang. Kenyataannya persoalan yang diangkat kawan-kawan dari STSI ini bukanlah sesuatu yang baru. Tema seperti ini telah diangkat kepermukaan walaupun dengan bentuk-bentuk berbeda. Sangatlah jelas bila kita tarik satu simpul bahwa polemik ini masih dan akan terus berkembang. Setidaknya ada orang-orang yang resah yang ingin menyampaikan bahwa ada sesuatu yang salah dengan kita. Sesuatu yang salah dari dalam. Dan akan merusak dari dalam.
Bila kita berbicara isi pertunjukan ini, maka kita tidak akan luput dari properti. Ketika para aktor menyusun kerangkeng kayu yang tadinya adalah penjara menjadi bentuk-bentuk tingkatan. Ketika tingkatan tersebut terbentuk dan para aktor telah berada diluar kerangkeng, lalu tokoh perempuan berbalik terperangkap dalam kerangkeng tersebut. Dalam hal ini saya tidak menangkap jelas pesan yang ingin disampaikan. Terlepas dari hal itu, penggunaan properti yang tepat sangat menunjang suatu pertunjukan, ditambah lagi penampilan para aktornya yang total. Gerakan-gerakan yang total dan suara yang lantang membuat pertunjukan ini menjadi begitu menarik. Menarik memang bagi orang yang menganggap bahwa pertunjukan ini memiliki sesuatu yang menarik. Menarik bagi orang-orang yang asyik menikmati sendiri pertunjukan yang berlangsung walaupun mereka tidak mengerti. Memang tidak perlu pengertian dalam menikmati. Orang-orang yang mencari tempat terdepan dalam begitu banyak kerumunan. Tidak menarik bagi orang-orang yang berada dalam gedung yang sama tapi entah dengan tujuan apa. Orang-orang yang gaduh yang membuat resah orang lainnya. Orang-orang yang tidak peduli pada nilai-nilai juga oreang yang tidak peduli pada pesan-pesan. Entah tidak mau tahu atau memang tidak tau apa-apa. Mungkin hal ini juga menjadi sebab mengapa tema yang sama ini masih terus diangkat. Karena masih saja ada orang-orang yang tidak peduli. Sekalipun pesan-pesan itu dibungkus dalam wujud pertunjukan, bukan dalam bahasa yang verbal. Kkita ini kan bukan orang-orang bodoh yang hanya mengerti jika sudah dibahasakan langsung. Katanya kita orang-orang yang berpendidikan. Atau memang kita seperti itu? Untuk mengerti kita perlu bahasa yang verbal, lalu spanduk-spanduk dan poster-poster jadi alat komunikasi kita. Seni, khususnya teater di sini telah menagmbil perannya dalam tatanan sosial masyarakat. Teater tampil sebagai lembaga atau wadah penyampaian uneg-uneg. Hanya saja masih banyak yang tidak begitu peduli.
-Pinyu-
Rabu, 25 Februari 2009
Kreatifitas Yang Salah Tempat
Iklan-iklan televisi saat ini semakin semarak dengan munculnya ide-ide baru yang segar dan fresh. Tidak hanya berkutat dalam permainan gambar ataupun bintang iklan yang cantik dan ganteng, tetapi juga menggunakan pilihan dan susunan kata yang terkadang menggelitik dan memancing keingintahuan penonton sehingga mereka terkadang menyengajakan menunggu iklan tersebut hanya untuk menikmati kreatifitas si pembuat iklan.
Banyak sekali iklan televisi yang sekarang tidak hanya sekedar memajang wajah-wajah cantik dan ganteng. Terkadang sebuah iklan yang menarik hanyalah terdiri dari beberapa kalimat narasi dan gambar background, tetapi rasanya sayang sekali untuk dilewatkan setiap kali penayangannya karena memang tampilannya menarik. Beberapa kategori iklan yang menarik seringnya muncul di iklan rokok, minuman, kartu seluler atau iklan produk bayi. Terutama pada iklan rokok, terlihat sekali bahwa pihak produsen dan distributor rokok benar-benar habis-habisan untuk menarik minat konsumen dengan mengedepankan stimulus konsumtif melalui iklan yang menarik dengan ide-ide yang tidak hanya segar, bahkan gila. Hal tersebut sangat potensial menarik penonton untuk mengikuti jalan cerita yang ditawarkan dan bukan tidak mungkin menjadi konsumen produk rokok bersangkutan setelah menonton iklan tersebut.
Merek rokok yang diakui cemerlang dalam menampilkan ide iklan yang gila dan fresh diantaranya A Mild, Sampoerna Hijau dan LA Lights. Ada-ada saja ide baru yang ditampilkan disetiap iklan yang ditampilkan, dan tidak hanya monoton dengan satu iklan saja, melainkan hingga dibuat beberapa tema dan jenis iklan yang berbeda dengan tujuan sama. Tidak bisa dibantah bahwa iklan-iklan tadi benar-benar menarik keingintahuan penonton untuk mengikuti jalan ceritanya. Dengan paduan kata-kata unik yang dibalut unsur komedi, susah rasanya untuk mengganti channel sebelum iklan tersebut habis. Sebut saja iklan Sampoerna Hijau dalam berbagai versi. Versi bedug, versi lebaran, dll. Kekonyolan yang ditampilkan mematahkan definisi awam iklan, yaitu memindahkan channel siaran televisi ketika tayangan sudah berganti ke iklan.
Satu hal yang sangat saya sayangkan hanyalah proporsi eksplorasi ide-ide tadi. Mengapa ide-ide gila tadi lepas ke bentuk iklan produk yang seharusnya tidak terekspos sebesar itu. Rokok adalah racun. Tidak hanya membunuh konsumennya, bahkan dua kali lebih berbahaya bagi non konsumen. Sehingga teman saya pernah melontarkan joke ketika saya memprotes dia saat merokok; “kalo kamu memang nggak mau mati cepat gara-gara asap rokok saya, sekalian aja kamu ngerokok. Toh perokok pasif justru dua kali lebih besar resikonya terkena kanker.” Weleh, mau marah tapi yang dia bilang itu masuk akal sekali. Saya malah jadi ketawa nggak jelas.

sumber gambar
Kemunculan iklan-iklan rokok yang kreatif memang membawa perubahan besar dalam penjualan produk. Grafik selling meningkat dan iklan-iklan pun semakin kreatif, membawa keuntungan yang semakin besar pula bagi produsen. Saya sangat menyadari sekali besarnya perubahan yang ditimbulkan oleh kegilaan dan kekonyolan yang ditampilkan. Beberapa teman saya yang “jadi korban” pun berpindah hati dengan mencoba mengkonsumsi merek rokok yang ide iklannya kreatif. Sedemikian besarnya pengaruh iklan yang menarik terhadap masyarakat. Pertanyaannya adalah, mengapa justru ide-ide kreatif tersebut tidak ada sumbangsihnya terhadap sesuatu yang jauh lebih berguna bagi perkembangan masyarakat? Contoh : iklan layanan masyarakat.
Iklan layanan masyarakat yang saya kenal dan lihat selama ini jauh dari kesan kreatif dan menarik. Bahkan membosankan, katro dan membikin tangan gatal untuk segera meraih remote dan memindahkan channel. Padahal iklan layanan masyarakatlah yang seharusnya diikuti. Karena iklan ini menyampaikan pesan moral yang besar sekaligus pesan-pesan pemerintah yang seharusnya diketahui oleh masyarakat. Tetapi justru pesan tersebut tidak sampai karena masyarakat tidak tertarik untuk mengikuti jalan cerita iklan tersebut. Bagaimana bisa menangkap sebuah maksud tersembunyi jika pesan terbuka saja tidak terdeteksi?
Kembali lagi ke masalah krusial dunia sejak filosofis Marksisme ada. Hal pokok yang ditentang habis-habisan oleh Karl Marx. Kapitalisme. Satu kata sederhana yang racunnya menjalar kesetiap saluran nadi kehidupan. Permasalahan penempatan kreatifitas yang tidak pada tempatnya inipun kembali lagi ke masalah klasik, kapitalisme. Apapun dihargai dengan uang, bahkan harga diri seseorang. Jika akhirnya ide-ide segar tadi mengalir ke bentuk yang tidak seharusnya dipromosikan jor-joran, tidak lain tidak bukan disebabkan oleh faktor ekonomi. Buat apa produsen atau pencetak ide menelurkan ide brillian yang bisa dihargai puluhan hingga ratusan juta rupiah untuk sebuah iklan penanggulangan masalah DBD yang sifatnya sukarela? Akan baik sekali jika pihak televisi menayangkan iklan “Bukan Basa Basi” yang kontraknya mencapai miliaran rupiah, daripada menayangkan iklan “3 M; Menguras, Membakar dan Menimbun”. Faktor produksi dan keuntungan sangat bermain disini. Produsen tidak ingin merugi bukan?
Jadi sangat masuk akal sekali jika masyarakat Indonesia masih saja “bodoh” dan gampang dibodohi. Karena sikap kritis yang dimiliki oleh generasi muda sekarang ini sudah banyak yang salah kaprah dan salah tempat. Sungguh akan sangat pintar sekali generasi masa depan jika penempatan kreatifitas, apapun bentuknya, diletakkan secara tepat dan berimbang. Tidak hanya untuk kebutuhan konsumtif, tetapi juga untuk peningkatan kecerdasan dan awareness masyarakat Indonesia terhadap berbagai isu dan pesan yang yang disampaikan oleh pemerintah.
*Mira Utami