Tampilkan postingan dengan label sajak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sajak. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 30 Oktober 2010

It's over, Kaz

Oleh Riyani Vadilla
Sebelumnya dipublikasikan pada
16 October 2010, 08:38


aku pernah mengagumimu seperti kelereng

bulat, warnanya berpendar ditimpa sinar mentari
aku pernah menggilaimu seperti menggilai layangan
terbang meliuk-liuk genit di atas sana

Tapi itu dulu, Kaz
Kini kau seperti tembok yang ingin ku runtuhkan sejadi-jadinya Kaz
Kau beri aku harapan tipis yang tak lebih tipis dari lendir yang membaluri tubuh ikan mas
dingin dan menjijikkan

benar aku dulu mengagumimu, Kaz
tapi semua itu berubah menjadi kebencian yang teramat dalam dan pedih
Tapi lagi-lagi bukan masalahmu, Kaz
Aku yang keliru pernah hendak menitipkan hati, tanpa pernah menanyakan tanganmu kosong atau tidak

Minggu, 10 Oktober 2010

Selayang Pandang

Oleh Hangga Prasetya

sebelumnya dipublikasikan pada
07 October 2010 pukul 02:21

Imagi selayang pandang
Selayang pandang ku pandang-pandang
Wanita elok nan rupawan lenggak-lenggok di dalam kaca
Selayang pandang ku pandang-pandang,
Pria elok nan binaragarawan lenggak-lenggok di dalam kaca
Wanita itu putih, bersih, rambut lurus, badan langsing;
Tubuhnya atletis, enam lekukan di perutnya, rautan Eropa merona di wajahnya
Selayang pandang ku pandang pandang
Banyak wanita sedang melenggak lenggok pula di luar kaca
Berharap bisa melenggok pula di dalam kaca
Banyak pria mencoba mem-binaragarawankan badannya di luar kaca
Ingin seperti pria dalam kaca

Imaji selayang pandang
Hanya untuk dipandang-pandang
Hanya dipandang
Pencuri Api, 071010


Puisi ini telah mengalami proses editing oleh admin Cermin Community. Untuk melihat versi awal dari tulisan ini, silahkan kunjungi laman ini.



Catatan Editor
oleh T. S. Frima

Sosiologi Sastra (Sociology of Literature) adalah istilah luas yang memayungi semua teori yang menekankan pengaruh timbal-balik antara masyarakat dan karya sastra. Kritik sastra Marxis juga secara tradisional sering dikategorikan sebagai Sosiologi Sastra (sebagaimana termuat dalam Glossary of Literary Terms oleh M.H. Abrams). Namun, hal ini tidak sepenuhnya tepat.

Sejumlah kritikus sastra Marxis sendiri menyatakan penolakan pengkategorian tersebut. Mereka beranggapann bahwa Sosiologi Sastra cenderung bersifat deskriptif dan hanya terbatas pada upaya menggambarkan hubungan antara masayarakat dan sastra. Padahal, menurut mereka kritik sastra Marxis adalah sebuah bentuk perjuangan yang mengandung elemen kritis dan emansipatoris.

Sebagai contoh penerapan, mari kita telaah puisi berjudul Selayang Pandang karya Hangga Prasetya di atas.

Dari puisi tersebut, pembaca akan mendapati kalimat-kalimat verbal yang menggambarkan prilaku pria dan wanita sebagaimana diindra oleh aku-lirik. Puisi ini diawali dengan aku-lirik yang menyaksikan pria dan wanita berpenampilan menarik melenggok dalam sebuah acara televisi. Selanjutnya aku-lirik menyaksikan banyak pria dan wanita di luar kaca (yaitu di dunia nyata) yang berusaha meniru sosok pria dan wanita di dalam televisi tadi. Kemudian puisi diakhiri dengan bait berisi tiga baris yang mengulang kata ‘-pandang’ (‘selayang-pandang’, ‘dipandang-pandang’ dan ‘untuk dipandang’).


Bila mencoba menerapkan telaah Sosiologi Sastra, ada banyak pendekatan yang bisa dipakai. Misalnya dengan pendekatan tradisional Historis-Biografis (Historical-Biographical Approach), kita dapat menyoroti apakah muatan puisi ini ada hubungannya dengan pengalaman pribadi (biografi) penulis, atau apakah isi puisi ini berangkat dari keadaan nyata sesuai dengan yang sedang berlaku pada waktu puisi ini dibuat.

Mula-mula, akan dilihat bahwa puisi ini dibuat pada tahun 2010 oleh seorang pemuda usia dua puluh tahunan. Lalu akan dilihat pula bahwa tayangan televisi di Indonesia dalam kurun 5-10 tahun ke belakang didominasi oleh berbagai reality show; mulai dari ajang pencarian pelawak, pencarian pasangan mama dan anak berbakat, pencarian pedangdut, idola pop, pesulap, model iklan deodorant, model sampul majalah remaja sampai ke pencarian orang ndeso yang mirip artis bahkan juga pencarian jodoh. Berbagai ajang tersebut pun selalu mengekspos penampilan dan fisik para pesertanya disamping mencari kemampuannya (kalau ada).

Lebih jauh lagi, akan dilihat pula bagaimana masyarakat awam yang selalu menjadikan televisi sebagai kiblat secara membabibuta meniru semua yang ditayangkan di layar kaca. Busana yang dipakai oleh orang di tayangan musik akan diborong, kata-kata dramatis yang diucapkan orang di sinetron akan dikutip, junk food yang dimakan orang di iklan akan diburu, lantas bentuk tubuh yang dipamerkan dalam tayangan televisi pun akan diidolakan.

Akhirnya, pendekatan ini akan menyimpulkan bahwa puisi Selayang Pandang memang benar berangkat dari kenyataan yang berlaku di masyarakat di mana penulisnya hidup; atau ringkasnya, sebuah potret dari fenomena sosial-budaya masa kini.


Namun dalam kritik sastra marxis, telaah tidak berhenti sampai di sana.

Misalnya, bila kita memakai kritik sastra marxis dengan modul Teori Refleksi (sebagaimana diperkenalkan Lukacks), teks harus dilihat sebagai refleksi realita sosial dalam sistem ekonomi tertentu. Dalam hal ini, puisi Selayang Pandang sekurangnya dapat disoroti dari aspek-aspek sebagai berikut:


1. Dominasi kelas dan ketidak-adilan
Baris ke-tiga berbunyi “wanita elok nan rupawan”, sedang baris ke-limanya berbunyi “pria elok yang binaragawan”. Kata-kata ini menunjukkan bagaimana nilai manusia ditentukan oleh wajah dan bentuk tubuh. Tidak lagi penting apakah anda rajin, soleh, ramah atau cerdas; pokoknya anda tidak akan dianggap elok jika wajah dan tubuh anda tidak menarik.

Selanjutnya baris ke-enam dan ke-tujuh yang berbunyi “Wanita itu putih, bersih, rambut lurus, badan langsing;/ Tubuhnya atletis, enam lekukan di perutnya, rautan Eropa merona di wajahnya/” memberi penegasan akan batasan penilaian akan elok-tidaknya seseorang. Kalau seorang wanita harus berkulit putih dan berambut lurus untuk dianggap elok, bagaimana dengan wanita kaum buruh dan tani yang kulitnya gelap sebab mesti berselimut debu tiap hari, bagaimana wanita yang tidak mampu ke salon untuk rebounding atau sekedar beli conditioner botolan? Kalau seorang pria harus berwajah mirip bule dan berbadan atletis untuk dianggap elok, bagaimana dengan kebanyakan rakyat Negara ini yang asli keturunan pribumi, yang makan dua kali sehari saja susah sehingga badannya tidak berotot?

Maka puisi ini adalah potret dominasi kaum kelas atas. Begitu berkuasanya mereka sampai-sampai standar nilai manusia pun mereka yang menentukan—yaitu yang sesuai dengan kehendak mereka. Dan bukankah diskriminasi berdasarkan ciri fisik itu sebuah bentuk ketidak-adilan.


2. Komodifikasi manusia
Tayangan televisi mengundang orang-orang untuk beramai-ramai berpartisipasi di dalamnya dengan iming-iming hadiah besar serta popularitas instant. Baris ke-sembilan dan ke-sepuluh yang berbunyi “Banyak wanita sedang melenggak lenggok pula di luar kaca,/ Berharap bisa melenggok pula di dalam kaca” menunjukkan bahwa masyarakat dengan mudahnya terpancing dan berlomba-lomba untuk dapat mengikuti acara tersebut, atau untuk sekedar tampil di layar kaca.

Padahal dalam tayangan itu, para peserta dieksploitasi sedemikian rupa untuk menaikan rating. Masih kita ingat bagaimana acara pencarian pasangan mama dan anak berbakat yang mengalokasiakan 15 menit untuk membodoh-bodohi mamanya; atau bagaimana para kontestan dalam ajang pencarian idola pop yang tinggal serumah selalu disoroti saat-saat mereka bertengkar dan menangis, sesi komentar (biarpun komentar itu ngawur dan mengundang cemooh penonton) pada saat penampilan pun biasanya lebih lama daripada sesi unjuk kebolehannya. Semua itu agar kemudian pihak penyelenggara bisa meraup untung sebesar-besarnya dari pemasang iklan. Dengan kata lain, manusia telah dijadikan komoditas ekonomi dalam bisnis pertelevisian dan dunia hiburan. Bagitu satu musim selesai, nilai jual manusia itupun habis dan ia segera dilupakan. Lalu ribuan manusia lain antri untuk dijual di musim berikutnya lewat layar kaca.


3. Efek negative dari sistem yang berlaku
System yang berlaku adalah system yang dibuat oleh kelas dominan; yaitu kapitalisme. System ini memposisikan kaum lemah sebagai objek belaka, untuk dieksploitasi dan dimanipulasi sedemikian rupa demi memberi keuntungan yang sebesar-besarnya bagi kaum dominan.

Demi mempertahankan system ini, masyarkat diperbodoh dan dibutakan dari kenyataan. Misalnya melaui sinetron yang selalu menawarkan happy ending dan ajang pencarian bakat yang mengumbar mimpi. Ini disediakan sebagai pelarian bagi kelas lemah sekaligus sebagai media pendoktrin untuk menamkan sifat konsumerisme. Puisi ini menyiratkan betapa tayangan televisi membuat masyarakat berpikir bahwa wanita harus putih untuk menjadi cantik, maka belilah lotion pemutih berbagai merek; bahwa lelaki harus atletis untuk menjadi keren, maka pergilah ke gym dan minum susu tinggi protein dan kalsium; bahwa seseorang harus populer untuk bahagia, maka halalkanlah segala cara demi popularitas.

Baris ke-dua dari akhir puisi ini yang menekankan pada kata “hanya untuk dipandang” menyiratkan bahwa semua yang ditawarkan oleh televisi sebagai media doktrin kapitalis adalah kesemuan semata. Kebahagian dan kepuasan yang ditawarkan hanyalah sebatas imaji(nasi). Dapat pula kita tangkap nuansa keterasingan yang dirasakan aku-lirik dari kata “hanya dipandang” sebagai penutup puisi ini. Keterasingan yang lahir saat melihat orang-orang disekitar kita berubah, membuang kepribadian dan harga dirinya demi menjadi seperti tokoh pujaan di layar kaca.


Sebagaimana disebutkan di atas, yang menjadi fitur utama dari Kritik Sastra Marxis adalah elemen kritisnya terhadap hegemoni yang berlangsung dalam masyarakat; terhadap system kapitalisme kompetitif yang memicu pertikaian, melahirkan individualisme, alienasi dan keburukan lainnya (terutama buruk dari sudut pandang kaum yang lemah). Tidak kalah penting juga, elemen emansipatorisnya yang menuntut kesetaraan perlakuan serta kesamaan hak dan derajat antara kaum dominan dan kaum lemah. Pada akhirnya, Kritik Sastra Marxis akan menyimpulkan bahwa puisi Selayang Pandang ini sebagai karya progresif, karya yang menentang kapitalisme yang hanya menawarkan kebahagiaan imajiner, semu dan sesaat.


Referensi: Handout for LC II class by Pak Gindho Rizano

Selasa, 28 September 2010

Untuk Mimpi Reni

Oleh T. S.Frima

Sebelumnya dipublikasikan pada

19 September 2010



Kamu berdiri di sana,

Di belakang kilauan maya yang datang entah dari mana.

Tak hirau pada ranting-ranting yang merangas,

Kulihat kamu memandangi tangan sendiri, bertanya:

Bisakah Ia, kemilau itu, digenggam?

Dalam tertegun-mu, waktu berlalu

Dan dengan angkuhnya kamu percaya, bahwa kamu bisa selamanya ada di sana:

Terus bertanya-tanya.


Apakah hujan, ataukah salju,

Kemurnian alam yang dingin menerjangmu

Mengantarmu pada hidup yang rapih:

Lingkaran sempurna yang menghampar,

Yang sama sekali tak bisa kujejaki.


Dan di langitmu selengkung senyum memancar;

Sekali lagi kamu bertanya: bisakah Ia kamu petik?

Sedang bagiku semuanya adalah anomali.

Malam menjelang, kelip menggugus.

Tak bisa kubedakan, mereka gemintang atau pendar lampu jalan.

Namun pada gugusan yang sejernih cermin itu

Terpantul wajah yang pernah kita kenal.

Hanya saja bagimu, saat ini semuanya asing;

Seluruh malam telah disusupi aura yang aneh,

Semacam kabut samar-tipis, menyelip diantara laut dan langit.

Cahaya dan Kegelapan telah memudar bersamaan.


Kamu masih berdiri di sana,

Di dermaga tua yang melapuk—melepas nyawa.

Tumpuannya telah runtuh di kaki fajar, meninggalkan lembar-lembar papan hanyut;

Sisa-sisa impianmu pun tenggelam;

Dan surya mengakhiri semuanya.

Semuanya, Ren.



Catatan:

Tulisan ini telah mengalami proses editing oleh admin Cermin Community, dengan persetujuan penulis aslinya.

Rabu, 21 April 2010

Waktu ke sepuluh

Oleh Ramadhani

Detik-detik bergulir
hingga merambat pada hitungan masa
dalam masa itu bergelut hujan, terik dan ribuan kerikil
tempaannya melebutkan segala sesuatunya
tetapi tidak dengan cinta diantaranya itu
cinta yang menjadi belenggu indah
mengikat kepalan harapan ditangan kita
tangan-tangan yang akan memainkan melodi yang harmoni
yang tak akan berhenti berbunyi
walau terik membakar
yang bunyinya akan mengalah suara hujan
serta merta guntur dan petir yang dibawanya
melodi yang sama yang akan melewati masa
melodi yang lahir dari tangan kita

Bukittinggi 1april O9

Selasa, 20 April 2010

Abu Kemaren

Ramadhani

Mata-mata dimana mata beradu
Beradu dalam keraguan yang makin tak menentu
Menatap sayup mata-mata yang membelenggu
Memasung jiwa, merantai asa ,disekap dalam tatapan semu
Dikala kehangatan hati tak mampu mencairkan otak yang beku
Atau hati yang telah beku saat otak mulai meragu
Mata-mata dimata mata beradu
Mempertanyakan perihal masa lalu
Perihal dosa-dosa yang tergurat diwajah lesumu
Dan tangan jadahmu yang tak terbelenggu
Mengais-ngais tumpukan nista dimana mata-mata beradu
Walaupun ujung kukumu menjerit pilu

Minggu, 18 April 2010

*Tak Berjudul

.........
oleh Ramadhani


Teriakan Nurani
Dia berteriak lantang di pagi hari
Hanya saja yang mendengar
Cuma hatinya sendiri
Teriakan yang menggetarkan cakrawala
Dunia-dunia pagi yang masih terlelap
Habis dibuai malam
Terdapat suara pilu nan miris
Bila kau dengar dengan hati-hati
Kalau kau bisa pakai hatimu
Tapi sayangnya kau apalagi aku,,,
Tak bisa apa-apa kecuali diam
Karna ya,,, Cuma hanya hatinya saja
Kiranya sudah tahunan teriakan itu
Keluar menggelegar dari pita hati
Hendak memberitahu dunia-dunia pagi
Apalagi tentara siang yang membangkang
Yang kerap mengira dia sudah gentar
Kau dan aku mungkin saja salah tentang ini
Tapi, Hanya saja dia masih berdiri tegap
Dengan kaki-kaki yang sama
Dan genggaman yang kokoh
Mengguncang pagi nan tenang
Membuat murka tentara siang
Lalu kemudian bersembunyi tidak jauh
Selonjoran di selangkangan malam
Berlipat daun telinga dibawah kepala
Mananti untuk berteriak lagi

Sabtu, 19 Desember 2009

"Untuk Na"



-->
Na yang baik,

Apa kabar?

Maaf karena aku terlalu lama mengambil jeda.

Aku hanya sedang menyiapkan bekal.

Setelah ini aku mau pergi jauh.

Dan kukira kamu sendiri juga akan harus pergi.



Na yang baik,

Pertama-tama maafkan aku karena menobatkanmu sebagai malaikat.

Rasanya begitu dingin sendirian, maka itu aku butuh malaikat di duniaku;

Malaikat yang bersayap hangat, bertubuh hangat.

Maafkan aku karena tidak sempat meminta ijin terlebih dahulu.



Na yang baik,

Kamu juga pasti tahu, ada monster begitu besar di kepalaku.

Hanya menunggu hari menjelang Kotak Pandora ini pecah,

Jadi sebelum aku terkulai, aku ingin memastikan aku akan memenangkan perang.

Tuliskanlah luka-luka ini di catatanmu,

Agar namaku bertahan lebih lama dari keberadaan monster-ku.

Dan dengan begitu aku menang.

Tuliskanlah sampai genap, sebelum wadah ini lenyap.



Na yang baik,

Terus terang, aku tak perduli lagi

Pada langit, pada dinding, pada eksistensi orang-orang.

Jangan heran.

Kalau sedang di ujung gunung, kita cuma ingin membayangkan dua hal: melebihi puncak tertinggi, atau jatuh menghempas bumi.

Menurutmu, bisakah aku terbang sepertimu? Atau aku akan jatuh?



Na yang baik,

Aku penasaran

Sebenarnya kamu naif atau munafik?

Tak perlu jawab. Toh kamu bukan objek observasiku.

Kamu tahu, aku ingin mengobservasi seisi dunia, kecuali kamu.

Kamu kan, bukan makhluk dunia ini.



Na yang baik,

Jangan tersinggung, tapi menurutku kamu konyol:

Tentang lelaki itu; tentang argumen yang kamu karang dengan cerdasnya untuk membenarkan keraguan, kepengecutan, dan kelalaianmu.

Tak apa. Itu alami, kok.

Itu kecenderungan umum yang sangat manusiawi dan normal.

Meski agak aneh kalau yang melakukannya kamu; sebab bagaimana pun, kamu bukan manusia.



Na yang baik,

Hati-hatilah.

Aku memang tak mungkin menjamah (kamu yang mewujud) malaikat. Tapi selalu ada kegaiban yang ‘kan mengusik harmoni alam-mu.

Bukan mereka, bukan laki-laki itu.

Tapi kegaiban yang lahir dari ujung bulu sayapmu.



Na yang baik,

Terimakasih. Kerelaanmu atau Keterpaksaanmu, tak beda bagi wajah-wajah ini.

Tidak perlu khawatir akan ada yang menuntutmu untuk mengikhlaskannya.

Keikhlasan itu adalah otoritas Tuhan; bukan aku.

Aku hanya tahu, kamu membalas pesan-pesan yang kukirim sejak dulu.

Aku hanya tahu kamu membuatku hangat.

Entah nyata, entah maya.



Na yang baik,

Aku sudah tidak pernah menangis lagi sejak aku berjanji untuk kuat, untuk menang.

Aku ingin kamu tahu, meski aku tak menangis, aku sangat sedih harus pergi.

Apa kamu sempat bersedih, ketika kamu terbang dan merenggut semua hangat itu?

Ah. Apalah pentignya.



Na yang baik,

“selamat tinggal"

Tak ada kata yang lebih pantas kutuliskan di sini, sebagai penutup sebuah surat.

Ah, bukan.

Bukan surat, tapi sajak kecil yang berlebihan.

Selalu saja, cuma sajak-sajak yang berlebihan.


(26 desember 2007--hari ini)

Minggu, 08 November 2009

"Renaisance"

Menyibak rambut,
menemu ranting masiak;
kerinyut. Cantik.

7 nov 2009, 01:42,
kasur, wisma.

Sabtu, 08 Agustus 2009

"Serambi Rumahku"

Sinar pagi menyapa dedaunan
Rerumputan menjalar merangkak
Tersandung di kerasnya pembatas
Dibalik pasir menggunung

Angin merambat, menyentuh setiap daun pada batang
Senada nyanyian alam yang berkicau menyahut matahari
Sehabis bulan menampakan diri
Ditengah dingin menyelimuti padang

Serambi rumahku kembali menyapa
Penat sesak hilang
Bersatu bersama harmoni alam
Membangunkan setiap asa.



_Tomi_

"Kamar Penyendiri"

Terbatas di dinginnya dinding
Menguning disetiap sisi
Laba-laba mengikat sarangnya
Rayap mengikis
Seperti labirin, terjebak

Kesendirian mengunci
Memapah sayap-sayap sunyi
Bersandar
Diselimuti debu-debu usang
Mengenal batas langkah
Rebah pasrah memperkosa akal



_Tomi_

"Debu"

Aku berasal dari kumpulan-kumpulan debu mengendap
Mengambang diantara hitamnya pekat
Lepas ditiup kebohongan
Menjelma,

Pernah terperangkap api
Membara menyelimuti hati
Gubuk reot bertahan diri
Rubuh bersama hari

Sampaikan salam ku kepada matahari
Debu ini beranjak pergi.



_ToMi_

Rabu, 08 Juli 2009

Emily Jane Bronte: "Mild The Mist Upon The Hill"

Mild The Mist Upon The Hill

Mild the mist upon the hill
telling not of storms tomorrow;
no, the day has wept its fill,
spent its store of silent sorrow.

O, I’m gone back to the days of youth,
I am a child once more,
and neath my father’sheltering roof
and near the old hall door

I watch this cloudy evening fall
After a day of raining;
blue mists, sweet mists of summer pall
the horizon’s mountain chain.

The damp stands on the long green grass
as thick as morning’s tears,
and dreamy scents of fragrance pass
that breathe of other years.

***

Embun Di Atas Bukit

Embun di atas bukit
kabarkan esok badai tak datang;
namun, hari telah tangisi segalanya,
cucurkan kepedihan yang bungkam

o, aku kembali beranjak muda,
kembali jadi kanak lagi,
dan berteduh di bawah tegap dagu ayah
dekat sebuah pintu tua

ku saksikan awan petang bersingsut turun
setelah rimbun hujan;
embun biru, embun yang indah pada musim panas yang pucat
di cakrawala rentetan gunung-gunung

kabut selubungi hamparan hijau rerumputan
sepekat air mata sang pagi,
dan seharum wewangian alam mimpi
nafas tahun-tahun yang lain.


-Pinyu-

"Ujung Untuk Tanya"

Hempasan demi hempasan mendera
Tanpa ada satu kata ampun menyertai
Pasrah untuk memahami semua keadaan
Terlalu banyak deraan yang menghimpit
Perjalanan yang tak mungkin untuk dihentikan
Namun rintangan tak pernah hilang
Suara-suara dari barat-pun terus memanggil
Namun telinga tidak pernah ingin mendengar
Hanya hati yang berusaha keras berjuang
Langkah gontai tetap jadi andalan
Terkadang hanya jiwa yang terus bersikeras
Karna raga sudah tak mampu digerakkan
Para pemuja-pemuja harta ikut mendorong
Menjatuhkan kedalam jurang yang paling dalam
Jalan hidup yang tak pernah bisa tertebak
Membiarkan diri terpenjara Tanya
Ujung yang masih terasa semu
Yang selalu ingin di temukan
Meski Tanya selalu menggerogoti



-IjonK-

"Kesatria Berkuda Hitam"

Sebuah kata untuk kesatria berkuda hitam
Kata yang tidak hanya satu saja
Namun akan terus terangkai menjadi indah
Terimalah persembahan dari dasar hati ini
Yang tersanjung akan pesonamu
Membuat jiwa melambung tinggi diangkasa
Tanpa sayap yang membawa terbang
Semua akan selalu menjadi indah
Sampai akhir dari semua cerita hidup
Tak peduli ini hanya pengharapan semata
Semua akan terus terangkai indah
Percayalah akan kata yang terucap
Semua takkan menjadi dusta semata
Bumi dan langit telah memahaminya
Cobalah untuk mengerti rasa yang ada
Larutkan hati dalam kisah yang telah terukir
Kisah untuk masa depan yang gemilang
Di bawah sinar bulan pada malam hari
Atau dibawah teriknya matahari siang
Demi keagungan cinta didasar hati
Telah mempersembahkan pada hidup
Akan arti dari yang pernah terjadi
Ingat akan ketulusan yang mendasari
Bukan kemunafikan yang dianut
Angkasa yang tak berujung sama sekali
Menyadarkan semua ketulusan ini
Mungkin bibir bisa berucap dusta
Tapi ketahuilah hati yang susah diingkari
Misteri telah menyelimuti semuanya
Dan masalah telah tercipta menusuk sanubari
Namun kata yang terangkai akan terus terangkai
Menjadikan rangkaian itu bermakna dalam
Yang akan dipahami jika bisa untuk tulus
Dan memahami setiap rangkaian kata
Seperti bumi dan langit yang telah memahaminya.


-IjonK-

Sabtu, 30 Mei 2009

"Rajawali"

Rajawali, terbang di dalam ruhku,
Bercerita tentang,
Burung-burung,
Yang ia pimpin,
Dengan 7 para jenderal,
Dan burung pipit,
Mencicit,
Sendiri, sepi,


LPK, 25 april 2009


-Nia-

"Bahasa"

Diruang ini, kita mengemas kata demi kata,
Melayarkan kenangan,
Di hangatnya senja,
Menaburkan gemerincing,
Senar gitar,
Dalam nuansa,
Tak terterka,
Padahal, kita rasa duka,
Menyapa, diriuhnya,
Gelak tawa,

Bukittinggi, 24 april 2009


-Nia-

"Pergolakan"

Pergolakan

Kalau kamu terka,
Apa yang kami lakukan?,
Kau seperti menerka pasir,
Tak berdebu,
Kalau kau rasa,
Kami berseberangan,
Dalam alur pikiranmu,
Dicecah oleh mulutmu

Gedung E, 22 april 2009


Pergolakan II

Disini, diruang sidang,
Semua wajah menatap,
Dengan seribu tanda dikeningmu,
Merangkai sajak,
Untuk kau sirami,
Ada petinggi, menyidang para mentri,
Remuk jiwa, gelak tawa,
Berderai,
Dalam ruang,
Dan setelah itu,
Kami terpaku,
Mengulum senyum sipu,

Gedung E, 23 april 2009-05-25


-Nia-

"Sayonara"

Aku menghitung detak jantungmu,
Dan kibasan angin sore,
Di perjamuan,
Kutelan air mataku,
Dalam dinginnya,
Ruang,
Kau tasbihkan pengakuanmu,
Keberadaan,
Sahabat,
Saudara,
Hingga, lantunan adzan,
Akhiri, tangismu,

BEM KM, 21 april 2009


-Nia-

"Di Akhir Kebersamaan"

saat ini, kita telah berada dipembatas waktu,
diantara alur yang berliku,
diwarnai oleh pelangi dipelupuk mataku,
mengalir, menganak sungai,
berkecipak angsa-angsa, dalam satu telaga,
bersaksi senja pada malam
dalam rentetan peristiwa yang tak terlupa,
kata "diakhir pertemuan"mesti terucap,
sahabat, biar,
pertemuan dijadikan sari gula yang,
kucecap diujung lidah, dalam batang tebu,
dan, biarkan nasib menyisir waktu,
mengenang kisah,
dalam seperempat kotak peristiwa,
dalam harap,
dan, disaat akar menyusup menagih janji,
berjaga, akan murai-murai liar, diluar sana,
dan, biarkan mentari menuju haluan,
esok, yang tak kita mengerti



di akhir kebersamaan
(sahabat)
:BEM

_Nia_

Rabu, 13 Mei 2009

"Cerita Sebuah Pergerakan"

Dalam kamus politik, undang-undang,
Susduk, student state,
Berkaca, bagai negarawan sejati,
Berjuang, berteriak,
Menguncang bumi,
Menembus, cakrawala keangkuhan,
Katamu, hari itu adalah hari bersejarah,
Untuk dirimu dan bangsamu,
Kau berlari, sambil berteriak
“hati-hati provokasi”
“waspada kawan, teman disampingmu”
Teriakanmu, membuat khalayak tertegun,
Kadang tersenyum simpul,
Atau hanya semacam makian,
Namun, kau tetap,
Berteriak,
“satu tujuan”
Demi kejayaan bangsa.

Memorian, 2008-2009

_elSya_