Tampilkan postingan dengan label mira. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label mira. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 April 2009

"Aku Tak mengerti Apa-Apa"

Hari itu kembali lagi
Amarah menggelegar bahana
Menyerakkan kepingan-kepingan patah
Dengan tunduk beribu diam
Hanya saja tak kentara meghiba
Jikalau aku tak mengeri apa apa
Aku tak mengerti sedikit juga
Karena hanya semu yang lewat sebentar

Coba ayun kembali kenangan lampau itu
Menyeruak benak tak sedikitpun lalai
Kadangkala hanya diam sejenak
Bernafas panjang berat dan terpekur

Entah apa yang kudapat dan kupunya
Setitik aneh tersirat selintas
Menebas keingintahuan syak wasangka

Karena aku tak mengerti apa-apa


(300409 - 02.33)


_Mira_

Rabu, 15 April 2009

Mass Narcism

Mass narcism yang dimaksud disini secara harfiah dapat diartikan sebagai narsisme massal. Bentuk pelacuran terselubung, yang parahnya menjangkiti orang-orang yang seharusnya menjadi panutan, atau lebih tepatnya akan menjadi panutan. Tanggal 9 April kemarin adalah hari besarnya masyarakat indonesia yang terjadi hanya 5 tahun sekali. Dengan adanya kebijakan baru dalam sistem pemilihan umum di indonesia, akhirnya setiap orang yang merasa mempunyai bakat, ide, kemampuan dan keinginan untuk menjadi wakil rakyat pun berlomba-lomba mencalonkan diri menjadi caleg a.k.a calon legislatif a.k.a calon wakil rakyat.

Pencalonan bebas dengan syarat tertentu pastinya menarik minat banyak orang dari segala golongan untuk ikut mencalonkan diri. Mulai dari kader partai tertentu hingga masyarakat umum seperti pengusaha, pegawai negeri, guru, abdi masyarakat hingga orang yang tergolong kepada masyarakat biasa. Dengan keberadaan orang-orang tersebut, maka mereka pun tentunya memerlukan wadah untuk mengapresiasikan diri sebagai jalan untuk memperkenalkan diri mereka kepada masyarakat. Karena jika tidak, siapa yang akan memilih mereka nantinya? Kalau tidak dikenal, sama saja bunuh diri namanya.

Dengan keadaan seperti itulah poster-poster, baliho, stiker dan kartu nama dilempar ke masyarakat. Foto para caleg dibuat sebagus mungkin, jika perlu diberi finishing touch editan teknologi mutakhir. Senyum manis dipasang, dan kalau perlu diberi embel-embel anak si anu dengan suami si anu yang merupakan keturunan langsung si anu. Ah,, capek bacanya.. bingung juga, sekolahan mana ya yang bisa memberikan gelar segitu panjang?! Sedangkan laki-laki Minang saja harus melalui proses yang panjang untuk dapat menikmati gelar Sutan Rajo Sati.

Memang keberadaan gambar-gambar para caleg ini terkadang memberi sedikit hiburan saat dilihat karena saking kreatifnya, walaupun senyuman yang keluar kadangkala posisinya jadi sedikit miring. Terlihat jelas siapa yang memang fotogenik, yang berfoto hanya untuk keperluan membuat KTP saja, dan siapa yang menyengajakan berfoto hanya untuk tujuan kampanye. Sisi narsis yang terlihat adalah pose, posisi incaran di pemerintahan, embel-embel nggak penting (anak si anu, istri pejabat anu, cucu tokoh masyarakat anu –red). Sementara visi dan misi mereka menjadi tidak penting karena hanya sekedar menjadi penghias pojokan poster,, yang baru akan jelas terlihat jika sudah dalam bentuk baliho berukuran sekian puluh meter.

Sudah jelas sekali para caleg ini merasa perlu menambahkan embel-embel keluarga kaena mereka merasa jika tidak dijelaskan seperti itu maka masyarakat tidak akan mengenal siapa mereka. Palingan tukang sayur langganan atau teman dan kolega saja. Lucunya, jika para caleg ini sudah menyaadri dari awal bahwa tidak semua masyarakat mengenal mereka, dari manakah datangnya keberanian sebegitu besar untuk maju dan mencalonkan diri. Atau sebegitu besarnya kah kepercayaan diri mereka hingga tidak ambil pusing masyarakat mengenal mereka atau tidak? Yang pasti promosi habis-habisan, pamer senyum manis dan berdoa semoga banyak yang memilih karena wajah dan nama mereka kadung lekat dalam ingatan masyarakat.

Belum lagi seorang caleg yang menurut saia sangat berani mati dalam pencalonan kali ini. Setelah sempat didakwa atas kasus korupsi beberapa tahun silam, tokoh ini kembali muncul kepermukaan dengan niatan pencalonan diri sebagai anggota perwakilan rakyat di Jakarta. Saia pikir, apakah calon ini menyangka masyarakat akan sebegitu bodohnya dengan kembali memilih orang yang pernah tersandung perkara korupsi? Memang pada akhir kasusnya, pencatutan dana daerah menjadi bentuk kompensasi pribadi yang besarnya mencapai puluhan juta rupiah perbulannya dianggap masuk akal! Mau belanja Prada dua hari sekali bu’? Walaupun ahirnya dibebaskan dari tuduhan karena alasan yang sangatlah masuk akal ini, saia yakin masyarakat akan mempertimbangkan lebih jauh untu memilih.

Lalu bagaimanakah dengan pentingnya visi dan misi para caleg? Toh, seberapapun besarnya ketulusan niat para caleg dalam berjanji, masyarakat tetap butuh iming-iming. Itu adalah persoalan yang sudah tidak bisa dipungkiri. Apakah masyarakat sudah terlanjur puas hanya dengan menatap senyum para caleg?

Persoalan lain yang tingkatnya lebih besar adalah pemilihan Presiden mendatang. Mulai dari saat ini entah sampai kapan, para tokoh penting negeri ini sudah merancang-rancang pencalonan diri sebagai presiden di pemilu mendatang. Bahkan dengan gagah berani menjatuhkan pihak yang dianggap lawan sekeras mungkin. Tanpa malu menjelek-jelekkan pihak lain dan mendewakan diri sendiri. Sementara pihak yang merasa sebagai korban pelecehan publik itu sendiri sebisa mungkin menangkis cercaan dan mempertahankan profil dengan memberikan pernyataan balasan sebisa mungkin.

Sebegitu menggiurkannya kah kursi presiden itu? Sampai-sampai sebuah tokoh partai berbendera merah hitam yang pada awalnya menentang keras sebuah kebijakan pemerintah yang kontak langsung dengan masyarakat kemudian berbalik arah mendukung kebijakan tersebut dan menjadikannya sebagai slogan dalam promosi partai setelah para kadernya turun sendiri ke lapangan dan melihat betapa masyarakat ternyata sangat menghargai dan menantikan hasil kebijakan tersebut karena bagi mereka terlihat lebih nyata dan terasa manfaatnya. Benar-benar suatu aksi bunuh diri politik dan sosial secara sadar yang mungkin bukannya menaikkan pamor mereka malah membuat masyarakat semakin jijik dan anti kepada mereka.

Seorang “tokoh” yang tidak mau disebut begitu pernah menyatakan bahwa “daripada berjanji, lebih baik berniat”. Diluar ketulusan niat itu sendiri, masyarakat memang membutuhkan sesuatu yang sifatnya tidak bertele-tele. Tapi kehidupan masyarakat yang masih morat marit menjadikan masyarakat seperti berlagak buta-tuli-bisu dan akhirnya menjatuhkan pilihan kepada calon yang dengan janji-janjinya dianggap dapat mencerahkan kehidupan kelak. Apakah sebentuk foto dan nama bertuan yang bergelimpangan dipinggir jalan dan diseantero wilayah kota benar-benar dapat memikat hati masyarakat?


_Mira_

Rabu, 01 April 2009

"Kakak Menangis"

ayah dimana….?
Ibu,, mengapa diam saja…
Kak…. Jangan terus menangis!
Bau apa ini?
Amis sekali kak…
Aku ingin muntah
Tapi jijik sekali….
Tak ada air untuk membasuh mulut

Mengapa panas dan pengap sekali?
Lalu, kehebohan apa diluar sana?
Apakah khaleed lagi-lagi mengganggu azizah?
Kak,, jangan terus menangis….
Bikin aku juga sedih
Mari bangunkan ibu untuk masakkan kita makan malam….


_Mira_

"When We Stand Alone"

anak itu hancur lebur, tanpa nama
sang ibu termangu memangku tangan dan kaki
seraya menutupi robekan burqa hitamnya
sehitam langit siang itu
diantara suara-suara saling balas
ditengah debu siang hari

anak itu merengek gelisah
dalam pelukan lemah dan gemetar
kemudian menghilang perlahan terkulai
terjepit diantara tembok kamar dan dapur
dan ayah yang bersimbah darah mereka

dia berlari gagah berani
menantang apapun yang mengancam
menggenggam erat pecahan gunung sinai diantara jemari
seraya menyerukan lafal luar kepala
lantunan doa dan syukur
mengharap setitik lagi keberanian
sebelum dia kembali

inilah iman, saudara
inilah taruhan terbesar
inilah yang kau sebut keindahan terhebat
menuju satu yang utama
dalam wangi dan lantunan merdu
saat raga menyentuh tanah
jiwa mencapai langit tertinggi

tidak ada kata menyerah
kecanggihan bukanlah tandingan tradisi
batumu adalah surgamu
tongkatmu adalah malaikatmu
saat waktu itu tiba
menjemput dalam arif dan damai
hanya Dia satu yang menyambut
saat kau kembali pulang
sendiri.......



_Mira_

"Catatan Pagi Ini"

selalu tiba-tiba
saat lelap membuai
ketika panik menyapu
saat kalap menyerta
menorehkan guratan tajam tipis
melelehkan gundah dan hampa
meratapi kepingan-kepingan hati tersisa
berat namun nyata
sekejap selintas menerpa
menghanguskan jiwa raga terlantar
memunguti pecahan-pecahan otot, urat, tulang
tidak tahu setelah ini seperti apa

dingin, kelabu, lengang
pagi ini masih seperti kemarin


_Mira_

"Little Mahmoud"

panas membara..
rasanya tak ada hari esok
pedih menusuk kaki mungilku
mengusap lelehan merah lengket
terjatuh dan kambali berdiri
selalu begitu

hitamnya langit tak sehitam rupaku
keringat dan air mata tak terbayangkan
hanya saja aku masih berdiri
melongok kejauhan..
ummi... abi...
tersesat dijalan kecilku
aku terus melongok kejauhan

mengapa semua berisik sekali
aku bingung akan kehebohan ini
apa yang mereka pertengkarkan?
lalu mengapa atap rumahku harus mereka rusak?
dan teman-temanku?
dan tetanggaku?
dan pahlawan-pahlawanku?
zahra,, faisal,, azis...
umm abeeba,, yasmeen, khalid,, hossein....

aku masih bisa berdiri....


_Mira_

Rabu, 25 Februari 2009

Kreatifitas Yang Salah Tempat

Iklan adalah sebuah keistimewaan. Sebuah kata benda yang sangat berharga. Melalui iklan, apapun bisa dijual. Benda, jasa bahkan manusia. Dalam tanda kutip, menjual profil seseorang untuk tujuan dan maksud tertentu. Iklan terbagi dalam iklan cetak, iklan radio dan iklan televisi. Saat sekarang ini, iklan yang paling mudah menarik konsumen adalah iklan televisi. Tanpa mengesampingkan iklan cetak maupun iklan radio, iklan televisi lebih tepat sasaran dan efektif. Semua itu karena keunggulan audio visual yang dimiliki oleh televisi. Berbeda dengan iklan cetak yang hanya mengandalkan visual, dalam arti kata gambar dan tulisan, dan iklan radio yang hanya mengandalkan stimulus audio, iklan televisi mengedepankan keuntungan adanya stimulus visual yang diperkuat oleh stimulus audio.

Iklan-iklan televisi saat ini semakin semarak dengan munculnya ide-ide baru yang segar dan fresh. Tidak hanya berkutat dalam permainan gambar ataupun bintang iklan yang cantik dan ganteng, tetapi juga menggunakan pilihan dan susunan kata yang terkadang menggelitik dan memancing keingintahuan penonton sehingga mereka terkadang menyengajakan menunggu iklan tersebut hanya untuk menikmati kreatifitas si pembuat iklan.

Banyak sekali iklan televisi yang sekarang tidak hanya sekedar memajang wajah-wajah cantik dan ganteng. Terkadang sebuah iklan yang menarik hanyalah terdiri dari beberapa kalimat narasi dan gambar background, tetapi rasanya sayang sekali untuk dilewatkan setiap kali penayangannya karena memang tampilannya menarik. Beberapa kategori iklan yang menarik seringnya muncul di iklan rokok, minuman, kartu seluler atau iklan produk bayi. Terutama pada iklan rokok, terlihat sekali bahwa pihak produsen dan distributor rokok benar-benar habis-habisan untuk menarik minat konsumen dengan mengedepankan stimulus konsumtif melalui iklan yang menarik dengan ide-ide yang tidak hanya segar, bahkan gila. Hal tersebut sangat potensial menarik penonton untuk mengikuti jalan cerita yang ditawarkan dan bukan tidak mungkin menjadi konsumen produk rokok bersangkutan setelah menonton iklan tersebut.

Merek rokok yang diakui cemerlang dalam menampilkan ide iklan yang gila dan fresh diantaranya A Mild, Sampoerna Hijau dan LA Lights. Ada-ada saja ide baru yang ditampilkan disetiap iklan yang ditampilkan, dan tidak hanya monoton dengan satu iklan saja, melainkan hingga dibuat beberapa tema dan jenis iklan yang berbeda dengan tujuan sama. Tidak bisa dibantah bahwa iklan-iklan tadi benar-benar menarik keingintahuan penonton untuk mengikuti jalan ceritanya. Dengan paduan kata-kata unik yang dibalut unsur komedi, susah rasanya untuk mengganti channel sebelum iklan tersebut habis. Sebut saja iklan Sampoerna Hijau dalam berbagai versi. Versi bedug, versi lebaran, dll. Kekonyolan yang ditampilkan mematahkan definisi awam iklan, yaitu memindahkan channel siaran televisi ketika tayangan sudah berganti ke iklan.

Satu hal yang sangat saya sayangkan hanyalah proporsi eksplorasi ide-ide tadi. Mengapa ide-ide gila tadi lepas ke bentuk iklan produk yang seharusnya tidak terekspos sebesar itu. Rokok adalah racun. Tidak hanya membunuh konsumennya, bahkan dua kali lebih berbahaya bagi non konsumen. Sehingga teman saya pernah melontarkan joke ketika saya memprotes dia saat merokok; “kalo kamu memang nggak mau mati cepat gara-gara asap rokok saya, sekalian aja kamu ngerokok. Toh perokok pasif justru dua kali lebih besar resikonya terkena kanker.” Weleh, mau marah tapi yang dia bilang itu masuk akal sekali. Saya malah jadi ketawa nggak jelas.

sumber gambar

Kemunculan iklan-iklan rokok yang kreatif memang membawa perubahan besar dalam penjualan produk. Grafik selling meningkat dan iklan-iklan pun semakin kreatif, membawa keuntungan yang semakin besar pula bagi produsen. Saya sangat menyadari sekali besarnya perubahan yang ditimbulkan oleh kegilaan dan kekonyolan yang ditampilkan. Beberapa teman saya yang “jadi korban” pun berpindah hati dengan mencoba mengkonsumsi merek rokok yang ide iklannya kreatif. Sedemikian besarnya pengaruh iklan yang menarik terhadap masyarakat. Pertanyaannya adalah, mengapa justru ide-ide kreatif tersebut tidak ada sumbangsihnya terhadap sesuatu yang jauh lebih berguna bagi perkembangan masyarakat? Contoh : iklan layanan masyarakat.

Iklan layanan masyarakat yang saya kenal dan lihat selama ini jauh dari kesan kreatif dan menarik. Bahkan membosankan, katro dan membikin tangan gatal untuk segera meraih remote dan memindahkan channel. Padahal iklan layanan masyarakatlah yang seharusnya diikuti. Karena iklan ini menyampaikan pesan moral yang besar sekaligus pesan-pesan pemerintah yang seharusnya diketahui oleh masyarakat. Tetapi justru pesan tersebut tidak sampai karena masyarakat tidak tertarik untuk mengikuti jalan cerita iklan tersebut. Bagaimana bisa menangkap sebuah maksud tersembunyi jika pesan terbuka saja tidak terdeteksi?

Kembali lagi ke masalah krusial dunia sejak filosofis Marksisme ada. Hal pokok yang ditentang habis-habisan oleh Karl Marx. Kapitalisme. Satu kata sederhana yang racunnya menjalar kesetiap saluran nadi kehidupan. Permasalahan penempatan kreatifitas yang tidak pada tempatnya inipun kembali lagi ke masalah klasik, kapitalisme. Apapun dihargai dengan uang, bahkan harga diri seseorang. Jika akhirnya ide-ide segar tadi mengalir ke bentuk yang tidak seharusnya dipromosikan jor-joran, tidak lain tidak bukan disebabkan oleh faktor ekonomi. Buat apa produsen atau pencetak ide menelurkan ide brillian yang bisa dihargai puluhan hingga ratusan juta rupiah untuk sebuah iklan penanggulangan masalah DBD yang sifatnya sukarela? Akan baik sekali jika pihak televisi menayangkan iklan “Bukan Basa Basi” yang kontraknya mencapai miliaran rupiah, daripada menayangkan iklan “3 M; Menguras, Membakar dan Menimbun”. Faktor produksi dan keuntungan sangat bermain disini. Produsen tidak ingin merugi bukan?

Jadi sangat masuk akal sekali jika masyarakat Indonesia masih saja “bodoh” dan gampang dibodohi. Karena sikap kritis yang dimiliki oleh generasi muda sekarang ini sudah banyak yang salah kaprah dan salah tempat. Sungguh akan sangat pintar sekali generasi masa depan jika penempatan kreatifitas, apapun bentuknya, diletakkan secara tepat dan berimbang. Tidak hanya untuk kebutuhan konsumtif, tetapi juga untuk peningkatan kecerdasan dan awareness masyarakat Indonesia terhadap berbagai isu dan pesan yang yang disampaikan oleh pemerintah.

*Mira Utami

Rabu, 04 Februari 2009

Memangnya Kenapa Kalau Aku Pakai Jilbab?



cover-novel1
"Does My Head Look Big In This?" Oleh Randa Abdel-Fattah


Well,, mungkin saya terkadang emang suka berlebihan. Tapi diluar konteks novel Teenlit yang ribuan orang bilang adalah novel picisan gak layak baca, novel ini sangat layak baca. Bahkan saya bikin rating A Must Read. Sebelum saya me-review novel ini, ada sedikit masalah mengenai novel Teenlit yang sering sekali jadi perdebatan,, bahwa Teenlit adalah novel kacangan gak layak baca,, tetapi tetap saja dibaca ribuan orang. Nah bagi saya pribadi, konteksnya adalah memilah bacaan sesuai dengan pribadi masing-masing pembaca. Karena pembaca itu ada tingkatannya. Ada yang membaca berlandaskan pengetahuannya di bidang kesusastraan. Ada yang membaca berdasarkan kebutuhan,, apakah sebagai pemuas hobi, menghilangkan suntuk, mencari info terbaru, memperluas jenis bacaan, mencoba untuk membaca jenis buku yang tidak masuk kategori favorit, bahkan membaca untuk mengikuti perkembangan penulis favorit. Jadi sebenarnya tidak ada gunanya bagi orang yang memahami dunia kesusasteraan untuk menekan orang2 yang membaca bacaan picisan hanya karena dianggap telah melecehkan sastra. Namanya orang gak ngerti sastra mau diejek2 se-apapun juga bakalan tetap menikmati bacaan mereka karena toh pemahaman mereka mengenai karya sastra cuma sebatas untuk memenuhi imajinasi mereka atau sekedar mendapatkan hiburan dari doktrin-doktrin kapitalis. Intinya,, bullshit lah orang yang suka mengkotak-kotakkan segala sesuatunya… let’s say,, Bukannya terjebak menjadi orang yang gak punya idealisme,, tetapi menjadikan idealisme sebagai satu hal khusus yang dijadikan kepribadian untuk dinikmati dan dijalani sendiri atau bersama orang-orang yang bervisi sama.

Kembali ke novel. Buku ini merupakan novel menarik yang gak saya lepas setelah lewat Bab 1. Saya gak bakalan menceritakan ulang isi novel ini kecuali beberapa poin penting yang saia pikir penting untuk dicatat.

Novel ini dikemas dengan bahasa khas novel Teenlit saduran yang memang berbeda dari novel teenlit Indonesia. Tapi hasil akhirnya agak aneh, mungkin karena saduran dari bahasa Inggris Australia yang memang sedikit aneh. Diluar kekurangan tersebut, bahasanya masih bisa dimengerti dengan baik tanpa membelokkan maksudnya. Randa Abdel-Fattah sukses menempatkan poin-pon ceritanya sehingga disatu waktu, saya bisa ketawa pada sebuah halaman setelah merasa sangat terharu bahkan sampai nangis di halaman sebelumnya. Istilahnya, sesak nafas terharu pun belum habis ketika gelombang sesak nafas berikutnya yang berbeda konteks menghantam saya. Saya bisa tertawa terkekeh ketika mata masih berkaca-kaca..

Novel ini juga sukses membawa saya menempatkan diri menjadi tokoh utamanya; Amal. Terasa sekali bagaimana kehidupan muslim di Australia yang ternyata tidak semudah kelihatannya. Entah mungkin karena tokohnya yang mewakili ras Arab yang memang dipandang sebelah mata dan dianggap teroris oleh masyarakat dunia. Saya juga menyadari bahwa ternyata Indonesia sudah menjadi sebuah negara full sekuler, diakui atau tidak, setelah saya membaca bagaimana Amal menghadapi polemik hidupnya sebagai seorang remaja yang juga mengalami yang namanya jatuh cinta. Saya sangat terharu membaca bagian dimana dia mempertahankan identitas ke-islamannya yang tidak mempercayai masalah pacaran dan larangan kontak fisik dengan lawan jenis yang bukan muhrim hingga akhirnya dia hampir saja kehilangan sahabat (sekaligus taksiran)-nya. Diceritakan bahwa Amal menghindar ketika Adam berusaha untuk menciumnya. Wuah,, kalo kita lihat anak muda Indonesia sekarang ini, terkadang legalitas pacaran juga sudah menjadi legalitas kehalalan untuk melakukan hal-hal yang terlarang. Jangankan ciuman, kalo sama-sama suka apa aja boleh… miris aja jadinya,, bahkan di negara seperti Australia yang budayanya bebas -dimana ciuman itu bahkan udah dianggap sebagai sapaan sehari-hari seperti halnya jabat tangan atau ucapan Assalamu’alaikum- masih ada Amal yang dianggap "menekan diri sendiri" karena mempercayai bahwa dia hanya menginginkan hubungan yang sifatnya intim hanya dengan satu orang saja selama hidupnya, bukan dengan "beberapa orang". Bangsa Arab (dalam kasus Amal dia adalah bangsa Palestina) yang hidup dalam kebudayaan bebas di Australia bahkan masih bisa memilah dan mempercayai apa yang harus dia percaya, bukan orang percayai. Dan kita yang mengaku sebagai negara islam sudah sangat jauh melenceng dari apa yang kita anggap kita percayai…

Randa Abdel-Fattah juga menampilkan sosok muslim yang seharusnya. Bahwa umat islam itu bukanlah orang2 naif yang tidak melihat perbedaan. Amal berteman baik dengan orang Yahudi (bukan Zionis) dan tetap menghormati pamannya yang seperti kacang lupa kulit (mengganti namanya menjadi Joe dan bersikap seperti layaknya orang Australia sepenuhnya). Dia tidak memperpanjang permusuhannya dengan tetangganya orang Yunani Kristen pemarah karena dia melihat bahwa sebenarnya Mrs. Vaselli hanyalah seorang ibu kesepian yang membutuhkan orang untuk diajak bicara dan anaknya yang sudah tidak dia anggap padahal dia sendiri masih suka merindukan putranya itu.

Amal juga tidak mendebat lebih jauh kekolotan ibu Leila -temannya- yang menganggap Leila yang berumur 16 tahun dan sangat cerdas harus mengikuti budayanya sebagai seorang perempuan berdarah Turki yang menjadi korban sistim patriakal, sehingga harus segera menikah dan melupakan mimpinya untuk bersekolah lebih tinggi. Leila dikekang dan ditawan hak-haknya sementara kakak laki-lakinya bebas untuk melakukan apapun yang dia suka. Disitu Amal berperan sebagai penentang, tetapi tetap dalam porsinya sebagai seorang anak muda yang menghormati peran orang tua, sadar atau tidak.

Banyak sekali yang saya pelajari disini. Tentang indahnya kehidupan multiagama dan multikultural tanpa adanya pemaksaan idealisme, budaya dan kepentingan. Tidak hanya mengenai kewajiban seorang perempuan dalam mengenakan hijab, tetapi kebanggaan dan penghargaan dibaliknya. Sesuatu yang tidak setiap perempuan berhijab miliki. Saya mungkin, atau anda. Tidak juga merupakan doktrin apapun....



Best quotation :

"Tak seorang pun bisa bersikap seperti Tuhan atas takdir orang lain" (hal. 262)

"Kenapa saat aku percaya pada sesuatu yang berbeda akulah yang ternyata meghakimimu? Bagaimana dengan kau menghakimiku? Kenapa kenyataan bahwa ada orang-orang diluar sana yang tidak melakukan seks sebelum menikah itu begitu menghina?" (hal 241)

"Tapi apa gunanya mematuhi agamamu diluar kalau kau tidak mengubah apa yang ada didalam, yaitu hal yang sesungguhnya benar-benar berarti? Aku sudah menipu diriku sendiri. Memakai jilbab bukanlah akhir perjalanan. Itu hanya awalnya" (hal. 323)









_Mira_

Rabu, 21 Januari 2009

Sajak-sajak Mira

Ruang Kosong







Ada sesuatu yang retak disitu


Makin lebar dan menganga


Semakin lebar dan tak tertutup lagi


Retakan itu seperti sebuah lembah



Ada kesunyian disitu


Makin hening dan sepi


Lelah untuk bersuara


Bahkan hanya bisikan



Ada ganjalan disitu


Hendak menggeser tapi terjepit