"Does My Head Look Big In This?" Oleh Randa Abdel-Fattah
Well,, mungkin saya terkadang emang suka berlebihan. Tapi diluar konteks novel Teenlit yang ribuan orang bilang adalah novel picisan gak layak baca, novel ini sangat layak baca. Bahkan saya bikin rating A Must Read. Sebelum saya me-review novel ini, ada sedikit masalah mengenai novel Teenlit yang sering sekali jadi perdebatan,, bahwa Teenlit adalah novel kacangan gak layak baca,, tetapi tetap saja dibaca ribuan orang. Nah bagi saya pribadi, konteksnya adalah memilah bacaan sesuai dengan pribadi masing-masing pembaca. Karena pembaca itu ada tingkatannya. Ada yang membaca berlandaskan pengetahuannya di bidang kesusastraan. Ada yang membaca berdasarkan kebutuhan,, apakah sebagai pemuas hobi, menghilangkan suntuk, mencari info terbaru, memperluas jenis bacaan, mencoba untuk membaca jenis buku yang tidak masuk kategori favorit, bahkan membaca untuk mengikuti perkembangan penulis favorit. Jadi sebenarnya tidak ada gunanya bagi orang yang memahami dunia kesusasteraan untuk menekan orang2 yang membaca bacaan picisan hanya karena dianggap telah melecehkan sastra. Namanya orang gak ngerti sastra mau diejek2 se-apapun juga bakalan tetap menikmati bacaan mereka karena toh pemahaman mereka mengenai karya sastra cuma sebatas untuk memenuhi imajinasi mereka atau sekedar mendapatkan hiburan dari doktrin-doktrin kapitalis. Intinya,, bullshit lah orang yang suka mengkotak-kotakkan segala sesuatunya… let’s say,, Bukannya terjebak menjadi orang yang gak punya idealisme,, tetapi menjadikan idealisme sebagai satu hal khusus yang dijadikan kepribadian untuk dinikmati dan dijalani sendiri atau bersama orang-orang yang bervisi sama.
Kembali ke novel. Buku ini merupakan novel menarik yang gak saya lepas setelah lewat Bab 1. Saya gak bakalan menceritakan ulang isi novel ini kecuali beberapa poin penting yang saia pikir penting untuk dicatat.
Novel ini dikemas dengan bahasa khas novel Teenlit saduran yang memang berbeda dari novel teenlit Indonesia. Tapi hasil akhirnya agak aneh, mungkin karena saduran dari bahasa Inggris Australia yang memang sedikit aneh. Diluar kekurangan tersebut, bahasanya masih bisa dimengerti dengan baik tanpa membelokkan maksudnya. Randa Abdel-Fattah sukses menempatkan poin-pon ceritanya sehingga disatu waktu, saya bisa ketawa pada sebuah halaman setelah merasa sangat terharu bahkan sampai nangis di halaman sebelumnya. Istilahnya, sesak nafas terharu pun belum habis ketika gelombang sesak nafas berikutnya yang berbeda konteks menghantam saya. Saya bisa tertawa terkekeh ketika mata masih berkaca-kaca..
Novel ini juga sukses membawa saya menempatkan diri menjadi tokoh utamanya; Amal. Terasa sekali bagaimana kehidupan muslim di Australia yang ternyata tidak semudah kelihatannya. Entah mungkin karena tokohnya yang mewakili ras Arab yang memang dipandang sebelah mata dan dianggap teroris oleh masyarakat dunia. Saya juga menyadari bahwa ternyata Indonesia sudah menjadi sebuah negara full sekuler, diakui atau tidak, setelah saya membaca bagaimana Amal menghadapi polemik hidupnya sebagai seorang remaja yang juga mengalami yang namanya jatuh cinta. Saya sangat terharu membaca bagian dimana dia mempertahankan identitas ke-islamannya yang tidak mempercayai masalah pacaran dan larangan kontak fisik dengan lawan jenis yang bukan muhrim hingga akhirnya dia hampir saja kehilangan sahabat (sekaligus taksiran)-nya. Diceritakan bahwa Amal menghindar ketika Adam berusaha untuk menciumnya. Wuah,, kalo kita lihat anak muda Indonesia sekarang ini, terkadang legalitas pacaran juga sudah menjadi legalitas kehalalan untuk melakukan hal-hal yang terlarang. Jangankan ciuman, kalo sama-sama suka apa aja boleh… miris aja jadinya,, bahkan di negara seperti Australia yang budayanya bebas -dimana ciuman itu bahkan udah dianggap sebagai sapaan sehari-hari seperti halnya jabat tangan atau ucapan Assalamu’alaikum- masih ada Amal yang dianggap "menekan diri sendiri" karena mempercayai bahwa dia hanya menginginkan hubungan yang sifatnya intim hanya dengan satu orang saja selama hidupnya, bukan dengan "beberapa orang". Bangsa Arab (dalam kasus Amal dia adalah bangsa Palestina) yang hidup dalam kebudayaan bebas di Australia bahkan masih bisa memilah dan mempercayai apa yang harus dia percaya, bukan orang percayai. Dan kita yang mengaku sebagai negara islam sudah sangat jauh melenceng dari apa yang kita anggap kita percayai…
Randa Abdel-Fattah juga menampilkan sosok muslim yang seharusnya. Bahwa umat islam itu bukanlah orang2 naif yang tidak melihat perbedaan. Amal berteman baik dengan orang Yahudi (bukan Zionis) dan tetap menghormati pamannya yang seperti kacang lupa kulit (mengganti namanya menjadi Joe dan bersikap seperti layaknya orang Australia sepenuhnya). Dia tidak memperpanjang permusuhannya dengan tetangganya orang Yunani Kristen pemarah karena dia melihat bahwa sebenarnya Mrs. Vaselli hanyalah seorang ibu kesepian yang membutuhkan orang untuk diajak bicara dan anaknya yang sudah tidak dia anggap padahal dia sendiri masih suka merindukan putranya itu.
Amal juga tidak mendebat lebih jauh kekolotan ibu Leila -temannya- yang menganggap Leila yang berumur 16 tahun dan sangat cerdas harus mengikuti budayanya sebagai seorang perempuan berdarah Turki yang menjadi korban sistim patriakal, sehingga harus segera menikah dan melupakan mimpinya untuk bersekolah lebih tinggi. Leila dikekang dan ditawan hak-haknya sementara kakak laki-lakinya bebas untuk melakukan apapun yang dia suka. Disitu Amal berperan sebagai penentang, tetapi tetap dalam porsinya sebagai seorang anak muda yang menghormati peran orang tua, sadar atau tidak.
Banyak sekali yang saya pelajari disini. Tentang indahnya kehidupan multiagama dan multikultural tanpa adanya pemaksaan idealisme, budaya dan kepentingan. Tidak hanya mengenai kewajiban seorang perempuan dalam mengenakan hijab, tetapi kebanggaan dan penghargaan dibaliknya. Sesuatu yang tidak setiap perempuan berhijab miliki. Saya mungkin, atau anda. Tidak juga merupakan doktrin apapun....
Best quotation :
"Tak seorang pun bisa bersikap seperti Tuhan atas takdir orang lain" (hal. 262)
"Kenapa saat aku percaya pada sesuatu yang berbeda akulah yang ternyata meghakimimu? Bagaimana dengan kau menghakimiku? Kenapa kenyataan bahwa ada orang-orang diluar sana yang tidak melakukan seks sebelum menikah itu begitu menghina?" (hal 241)
"Tapi apa gunanya mematuhi agamamu diluar kalau kau tidak mengubah apa yang ada didalam, yaitu hal yang sesungguhnya benar-benar berarti? Aku sudah menipu diriku sendiri. Memakai jilbab bukanlah akhir perjalanan. Itu hanya awalnya" (hal. 323)
_Mira_
2 komentar:
pada dasarnya tidak ada satu tulisan-pun yang tidak layak baca. apalagi itu sebuah karya sastra, baik prosa, puisi ataupun drama, yang pada dasarnya diciptakan untuk dinikmati... hanya saja manusia diciptakan sempurna beserta semua indra yang hakekatnya berfungsi untuk menilai... sejauh mana nilai-nilai yang ada pada sebuah karya, itu pulalah yang menjadi ranah penilaian, yang nanti akan menghasilkan bentuk kritik atau pujian
karena memang apapun bnetuknya sebuah karya sastra dipastikan akan mengundang penilaian,,, tidak terkecuali cercaan... karena itulah gunanya sebuah karya dibuat,, untuk dicerca... agar kedepannya lebih baik.. amin!
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Bila anda ingin menanggapi posting ini, silahkan tuliskan komentar anda di sini.
Bagi rekan-rekan mahasiswa fakultas sastra Unand yang berminat mempublikasikan tulisannya di Blog Cermin Comunity, silahkan kirimkan naskah rekan-rekan ke cermincommunity@plasa.com
atau cermin_community@yahoo.com
Salam Hangat.