Jumat, 25 Desember 2009

"NO MORE ROOM"



No more room

For the fragile one

Cruel is the key of life

To expose an innocence gate

Sit among the pretender*

Lay down in the heart of room

To taste sweet and bitter struggle

No more room

To rest an arrogant mind

Even to organize a set of talent

Then stare at the vanisher’s life spot room

All room are rented by secular

Just a narrow space in the attic

That only belong to the Lord

And left no more room to my soul

Name : WOEEL MAYA

Reg. No : 0810732049

Poetry Class

Sabtu, 19 Desember 2009

"Untuk Na"



-->
Na yang baik,

Apa kabar?

Maaf karena aku terlalu lama mengambil jeda.

Aku hanya sedang menyiapkan bekal.

Setelah ini aku mau pergi jauh.

Dan kukira kamu sendiri juga akan harus pergi.



Na yang baik,

Pertama-tama maafkan aku karena menobatkanmu sebagai malaikat.

Rasanya begitu dingin sendirian, maka itu aku butuh malaikat di duniaku;

Malaikat yang bersayap hangat, bertubuh hangat.

Maafkan aku karena tidak sempat meminta ijin terlebih dahulu.



Na yang baik,

Kamu juga pasti tahu, ada monster begitu besar di kepalaku.

Hanya menunggu hari menjelang Kotak Pandora ini pecah,

Jadi sebelum aku terkulai, aku ingin memastikan aku akan memenangkan perang.

Tuliskanlah luka-luka ini di catatanmu,

Agar namaku bertahan lebih lama dari keberadaan monster-ku.

Dan dengan begitu aku menang.

Tuliskanlah sampai genap, sebelum wadah ini lenyap.



Na yang baik,

Terus terang, aku tak perduli lagi

Pada langit, pada dinding, pada eksistensi orang-orang.

Jangan heran.

Kalau sedang di ujung gunung, kita cuma ingin membayangkan dua hal: melebihi puncak tertinggi, atau jatuh menghempas bumi.

Menurutmu, bisakah aku terbang sepertimu? Atau aku akan jatuh?



Na yang baik,

Aku penasaran

Sebenarnya kamu naif atau munafik?

Tak perlu jawab. Toh kamu bukan objek observasiku.

Kamu tahu, aku ingin mengobservasi seisi dunia, kecuali kamu.

Kamu kan, bukan makhluk dunia ini.



Na yang baik,

Jangan tersinggung, tapi menurutku kamu konyol:

Tentang lelaki itu; tentang argumen yang kamu karang dengan cerdasnya untuk membenarkan keraguan, kepengecutan, dan kelalaianmu.

Tak apa. Itu alami, kok.

Itu kecenderungan umum yang sangat manusiawi dan normal.

Meski agak aneh kalau yang melakukannya kamu; sebab bagaimana pun, kamu bukan manusia.



Na yang baik,

Hati-hatilah.

Aku memang tak mungkin menjamah (kamu yang mewujud) malaikat. Tapi selalu ada kegaiban yang ‘kan mengusik harmoni alam-mu.

Bukan mereka, bukan laki-laki itu.

Tapi kegaiban yang lahir dari ujung bulu sayapmu.



Na yang baik,

Terimakasih. Kerelaanmu atau Keterpaksaanmu, tak beda bagi wajah-wajah ini.

Tidak perlu khawatir akan ada yang menuntutmu untuk mengikhlaskannya.

Keikhlasan itu adalah otoritas Tuhan; bukan aku.

Aku hanya tahu, kamu membalas pesan-pesan yang kukirim sejak dulu.

Aku hanya tahu kamu membuatku hangat.

Entah nyata, entah maya.



Na yang baik,

Aku sudah tidak pernah menangis lagi sejak aku berjanji untuk kuat, untuk menang.

Aku ingin kamu tahu, meski aku tak menangis, aku sangat sedih harus pergi.

Apa kamu sempat bersedih, ketika kamu terbang dan merenggut semua hangat itu?

Ah. Apalah pentignya.



Na yang baik,

“selamat tinggal"

Tak ada kata yang lebih pantas kutuliskan di sini, sebagai penutup sebuah surat.

Ah, bukan.

Bukan surat, tapi sajak kecil yang berlebihan.

Selalu saja, cuma sajak-sajak yang berlebihan.


(26 desember 2007--hari ini)

Selasa, 01 Desember 2009

(semacam) review: Antologi Cerpen Pengantin Subuh


*oleh TS. Frima

Ini sebuah buku yang melenakan.Secara umum, antologi Pengantin Subuh bercerita tentang tradisi merantau. Tradisi yang menjadi ciri masyarakat Minangkabau ini ternyata kerap membawa kegalauan bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya; baik itu bagi orang yang ingin merantau, bagi orang yang sedang berada di perantauan, maupun bagi orang yang ditinggalkan di kampung.


Dalam pikiran beberapa tokohnya, rantau dibayangkan sebagai negeri impian, negeri harapan, negeri yang menjanjikan kesuksesaan dan kebahagiaan; sedangkan kampung dirasa sebagai negeri yang sepi, membosankan, negeri dengan segala batasan yang mengekang dan mengandaskan cita-cita (lihat Menjelang Subuh dan Jalan Mati). Apa yang tidak bisa didapatkan di kampung, bisa dinikmati sepuasnya di rantau (lihat Pengantin Subuh). Itulah sebab, orang muda menjadi begitu risau diam di kampung dan menjadi begitu ngotot ingin merantau (lihat Menjelang Subuh, Ibu Hujan).


Bagi perantau, negeri orang yang mereka datangi kerap membawa dilema. Tidak jarang pengarang menyatakan, baik secara tersurat maupun tersirat, bahwa rantau mampu menelan dan menghanyutkan orang-orang. Contohnya dalam Perempuan Bau Asap pada paragraph penutupnya, dalam Induak Tubo (halaman 42), atau dalam Ketan Durian. Dalam Pengantin Subuh, dikisahkan dilema seorang perempuan yang memilih hidup di rantau dengan lelaki yang meminangnya. Di hari tua, pilihan ini menerbitkan sesal yang tak bisa ditanggungnya, sehingga ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri dengan sebilah pisau. Lain lagi kisah Siti, seorang gadis yang dibesarkan di rantau, dalam cerpen Saudara Sesusuan. Ia harus menerima kenyataan bahwa pemuda yang ingin dinikahinya ternyata adalah saudara sesusuannya.


Akan halnya kerisauan orang yang ditinggalkan di kampung, bisa kita telusuri dalam beberapa cerpen. Misalnya dalam Ibu Bau Asap, cerita tentang ibu yang mesti berpisah dari anak bungsunya yang pergi ke kota untuk menjadi bintang televisi, serupa dengan cerita seorang ibu buta yang mesti melepas anak semata wayangnya pergi ke luar negri untuk bekerja dan berkuliah dalam cerpen Ibu Hujan. Ada juga kisah Odang Niro dalam cerpen Induak Tubo, yang tidak mempunyai anak perempuan sehingga ia mati kesepian ditinggal semua anak lelakinya yang merantau, dan kisah seorang perempuan yang resah menunggu kepulangan anak-anaknya dari rantau menjelang lebaran dalam cerpen Baju Berkancing Peniti. Kemudian ada cerpen Yang Terbungkuk-Bungkuk Di Halaman mengisahkan seorang tua yang mendapat firasat tak enak tentang anak-anaknya di rantau. Keadaan kampung yang ditinggalkan dapat pula kita telusuri dalam Jalan Mati yang mengisahkan keadaan alam yang menyulitkan, dan Imam Sunyi yang mengisahkan mushala yang sepi ditinggal jamaah seperti juga sawah yang sepi ditinggal petani sebagai akibat arus urbanisasi dan modernisasi.



Bagi saya, kekuatan utama antologi cerpen Zelfeni Wimra ini terletak pada kekentalan budaya Minangnya. Pengarang mampu merekam berbagai hal—mulai dari sejarah, persoalan sosial, sampai pada kebiasaan masyarakat agraris Minang termasuk unsur klenik yang mewarnainya—dan kemudian menampilkannya kembali dengan apik dalam cerpen-cerpennya. Kekuatan ini pulalah yang memberi daya pada tiap cerpen untuk membuat pembacanya terlena.


Lihatlah cerpen Bunga Dari Peking yang menggambarkan sejarah komunisme di daerah atau kisah mistis Orang Kampung Hilang yang dikaitkan dengan penjajahan Belanda. Persoalan sistem matrilineal yang dipakai masyrakat Minang pun dimunculkan dalam Rumah Batu Bersendi Kayu. Masalah bias gender dalam tradisi merantau di mana anak perempuan tidak dibebaskan meninggalkan kampung seperti anak lelaki juga disinggung dalam Menjelang Subuh, Madah Anak Laut, dan Ibu Hujan. Persoalan sensitif semacam streotip negatif terhadap institusi pendidikan islam diangkat dalam Madrasah Lumut, dan persoalan chauvinisme (membanggakan dan mengagungkan negri/bangsa sendiri secara berlebihan) dimunculkan dalam Negeri Air. Sementara itu cerpen Wan Tulin tentang lelaki gila yang dipasung hingga lumpuh, dan cerpen Sepeda Malik Tumbang tentang perampok yang menyumbangkan banyak uang untuk mesjid mengajak kita bertanya pada diri sendiri, sudah benarkah virtue dan norma yang kita anut selama ini.



Dalam aspek penggunaan bahasa, nampak pengarang berusaha untuk memadukan kejelasan menyampaikan isi dan kelembutan bernarasi, sekaligus berusaha memberikan citarasa Minangkabau yang kental, melalui pemilihan kata yang lugas dan puitis. Ditengah serbuan karya sastra populer (pop literature) yang bertabur kosa kata Betawi dan Inggris, juga novel islami yang penuh kosa kata Arab, cerita-cerita Zalfeni yang semarak oleh kosa kata Minang seperti memberi kesegaran tersendiri. Meski penggunaan diksi tertentu yang berulang dari satu cerpen ke cerpen berikutnya beresiko memberi kesan monoton pada isi keseluruhan buku, namun hal itu tidaklah terlalu kentara karena tiap cerpen memiliki latar yang khas dan karakter yang kuat.


Terlepas dari segala tinjauan di atas, buku ini sungguh menarik untuk dijadikan alternatif bacaan. Cerita-ceritanya tak hanya sebatas melenakan, tetapi juga mengajak pembaca untuk lebih mengenal adat dan masyarakat Minagkabau, sekaligus menyediakan hikmah untuk digali. Semoga kita bisa menemukan pencerahan daripadanya.

Identitas Buku

Judul: Pengantin Subuh

Penulis: Zelfemi Wimra

Penerbit: Lingkar Pena Publishing House

2009