Adat tak lakang dek paneh dan tak lapuak dek hujan...
Demikian tingginya masyarakat Minangkabau menjunjung falsafah yang satu ini. Hal ini tergambar dari cerpen karya Khairul Jasmi berjudul Sengketa Mayat yang terbit di Majalah Sastra Horizon edisi April 2005. Cerpen ini berkisah tentang kematian seorang panghulu yang disegani oleh kaumnya di suatu daerah di Minangkabau. Panghulu yang bergelar Datuak Kulipat Alam ini menjalankan perannya dengan mengacu pada pepatah Anak dipangku, Kamanakan dibimbiang tanpa cela sehingga kematiannya pun diperebutkan oleh kaum dan keluarganya. Sebenarnya tidak ada yang salah dari kematian panghulu ini, namun kekangan adat lah yang menjadikan kematian sang datuk sebagai buah bibir masyarakat di kampungnya.
Permasalahannya dimulai ketika kaum suku Chaniago, kaum yang dipimpim oleh Datuak Kulipat Alam, membicarakan tentang prosesi dan tempat penguburan panghulu mereka yang menurut adat Minangkabau harus kembali kepada kaumnya. Sayang aturan ini tidak bisa diterima begitu saja oleh anak dan istri sang datuk karena bagi mereka datuk juga merupakan kepala keluarga ideal yang selalu memperhatikan keluarga disamping kaumnya. Datuk benar-benar dapat membagi dirinya menjadi dua pribadi yang seimbang baik bagi anak istri maupun bagi anak kemenakanya. Untuk itu pihak keluarga juga meminta agar ayah mereka dapat dikuburkan di samping rumah tempat mereka berbagi kasih. Mendengar permintaan dari keluarga datuk yang disampaikan oleh anak sulungnya Nuraini, Karidin Sutan Batuah – kemenakan sekaligus pengganti datuk- menolak dengan cara berlindung dibalik adat yang telah berlaku di Minangkabau. Menurutnya, seorang yang meninggal di Minangkabau harus kembali kepada kaumnya dan dengan alasan itulah kaum Datuak Kulipat Alam yakin untuk menggali kuburan di dekat rumah gadang mereka sebagai tempat peristirahatan terakhir sang panghulu. Keadaan meruncing ketika pihak keluarga juga menyiapkan liang lahat untuk ayah mereka di samping rumah yang mereka tinggali bersama. Adanya dua liang untuk satu mayat membuat rusuh orang-orang kampung. Masyarakat mereka-reka apa kesalahan dan dosa datuk ini sehingga ada dua tanah yang menganga untuk tempati tubuh kakunya. Penyelesaian tak kunjung datang meskipun telah duduk para tetua kampung yang bijaksana dan menguasai seluk beluk adat serta pekara agama sangatlah mereka paham, bagaikan dua anak sungai yang mengalir berdampingan dalam pembuluh darah masing-masingnya. Sehingga pada puncaknya anak sulung datuk menyiapkan ’tungku’ untuk membakar sang ayah karena jasadnya tidak diterima tanah. Tidak ada satu orang pun yang mau menyelenggarakan jenazah ayahnya karena perkara ’rumah baru’ datuk yang belum jelas galiannya. Ocehan orang-orang sekitar pun bertambah deras sampai mengundang seorang dubalang kampung yang perkataannya menjadi keputusan final bagi si mayat. Kuriak sang dubalang menegaskan bahwa jenazah datuk menjadi hak keluarga bukan kaumnya. Tidak ada satu pemuka adat maupun orang siak yang dapat mengambil keputusan sebaik keputusan yang dibuat oleh Kuriak si Dubalang Parik Paga, seorang dubalang tak beradat dan agama pun asing baginya.
Kilasan cerpen diatas merupakan gambaran kehidupan adat masyarakat Minangkabau yang konon memegang teguh falsafah ’Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah’. Jika memang benar agama adalah pondasi adat, maka mengenai hal ini agama mengatakan bahwa jika ada seseorang yang meninggal dalam sebuah kaum hendaklah menyegerakan penyelenggaraan jenazahnya. Cerpen karya Khairul Jasmi, jelaslah terbaca bahwa adat tidak lagi mengikuti syariat agama tetapi malah agama yang harus mengekor pada adat yang dipercaya tumbuh subur dari zaman nenek moyang dahulu. Sungguh kasihan nenek moyang kita yang selalu menjadi kambing hitam oleh anak cucunya yang dengan naif berlindung dibalik falsafah ini. Nenek moyang telah dianggap lebih unggul dibandingkan Tuhan dalam perkara menciptakan keteraturan dalam tatanan masyarakat kita, sehingga tradisi yang diwarisi oleh orang tua-tua dahulu mengalahi hukum Tuhan pencipta mereka. Mungkin memang benar pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari, bahwasannya Tuhan yang memberikan ilmu kepada manusia telah menjadikan manusia unggul dalam membuat aturan bagi diri mereka sendiri dan tidak lagi menganggap hukum Tuhan sebagai acuan hidup. Tidak salah sebenarnya jika kita mengadaptasi aturan yang dibuat oleh orang terdahulu, namun kembali pada pertanyaan apakah aturan tersebut telah sesuai dengan yang seharusnya (agama)? Apakah aturan tersebut tepat dengan gambaran yang dicanangkan oleh perumusnya?
Tanpa bermaksud mengurui namun hanya kembali mengingatkan bahwasannya setiap orang yang ada di bumi adalah kepunyaan Sang Pencipta. Tidak ada haknya suatu kaum terhadap seorang lainnya meskipun ia adalah pemimpin diantara mereka. Jika adat menegaskan bahwa jenazah Datuak Kulipat Alam merupakan hak kaumnya maka telah salahlah kaum tersebut berpijak. Karena dari penuturan cerpen ini, penyelenggaraan jenazah menjadi terlambat hanya karena orang-orang beradat sibuk berdebat mengenai tradisi yang membelenggu mereka yang justru memaksa Nuraini untuk bertindak tak sesuai adat dan norma. Filsafat yang terdapat diawal tulisan ini mencerminkan bahwasanya adat sangatlah kuat dan tak tergoyahkan meski panas maupun hujan melanda negeri. Tidak heran jika agama pun tak mampu menggiring adat karena tak ada kekuatan alam yang menandinginya dalam hal mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Permasalahan yang timbul dan pesan moral yang ingin dihantarkan penulis adalah bahwa sesungguhnya masyarakat kita telah salah menjunjung adat. Mereka mengagungkan adat melebihi pondasi yang mengokohkan adat itu sendiri, yaitu agama. Seorang panghulu yang bijaksana dan seorang ayah yang penyayang ’dibenci’ oleh Tuhan hingga penguburannya memicu kerusuhan diantara dua pihak yang ia perlakukan dengan adil. Inikah balasan untuk sikap adil dan bijaksana sang datuk? Adakah balasan yang lebih perih bagi seseorang selain mati tak diterima tanah? Inikah makna ’terdalam’ dari adat yang basandi syarak?
-Audrey-
Best wishes
2 bulan yang lalu