Rabu, 17 November 2010

Bukan Cuma Buat Karya

Dalam rangka memahami karya sastra, muncul berbagai pendekatan (approach) dan teori. Pada tataran praktis, pendekatan dan teori ini mewujud ke dalam mode tulisan yang dikenal sebagai kritik sastra (Literary Criticism). Masing-masing kritik pada dasarnya mengajak kita untuk melihat suatu karya dengan perspektif (cara pandang) tertentu, yang biasanya berbeda jauh dari dari perspektif awam, dan bisa dianggap radikal. Karena adanya perspektif yang berbeda-beda, satu karya dapat dipahami secara berbeda-beda pula.

Hal yang saya sebutkan di atas mungkin sudah diketahui oleh masyarakat luas. Hanya saja masih banyak di antara kita yang belum menyadari, bahwa cara pandang dalam kritik sastra sebenarnya tidak hanya terbatas untuk memahami karya sastra saja. Lebih dari itu, cara pandang (dan juga cara pikir) tersebut bisa kita pakai untuk memahami semua fenomena sosial-budaya yang kita hadapi. Termasuk juga untuk memahami kejadian-kejadian yang tampak remeh dalam kehidupan kita sehari-hari.

Berikut sebuah contoh menarik dihadirkan oleh Muhammad Adek, salah satu Kawan Cermin yang gemar berbagi pandangannya tentang Kesusastraan.


Love Triangle Criticism!


Kasus : 2 orang sahabat, A dan B, sama-sama menyukai wanita, X. A lebih dahulu menyukai X, B kemudian juga menyukai X

Konflik : A merasa B mengganggu perjuangan cintanya (competitor-red), dan mulai berpandangan bahwa B melanggar nilai-nilai moral persahabatan. Menurut A, seharusnya B menunggu A dulu dalam memperjuangkan cintanya pada X, kalau gagal, B baru boleh maju. Tetapi B tidak mengindahkan nilai-nilai tersebut dan tetap membabi-buta mengejar X

Klimax : Waktu pun memutuskan bahwa X lebih memilih B. A kecewa berat. A memvonis B sebagai dalang atas segala kegagalannya. B di cap sebagai pengkhianat. Pagar makan tananan! Menggunting dalam lipatan. Akhirnya persahabatan A dan B pupus sudah.

Kesimpulan Umum : A secara moral menempatkan B sebagai pihak yang bersalah, benar-benar bersalah secara total. B, tersangka satu-satunya yang menghancurkan segala mimpi-mimpi yang dirajut A kepada X. B adalah pengkhianat!

Kritik Sastra : Idealnya sebagian orang berfikiran seperti itu, tapi di dunia kritik sastra, kita diajarkan untuk berfikir dan menilai satu kasus dari berbagai macam sudut pandang. Dan sastrapun menilai :

1. A melukai kaidah cinta yang semestinya. Cinta, pada hakikatnya bersifat tidak rasional.Tapi A berusaha merasionalkan cinta B pada X, dengan alasan nilai-nilai moral dan persahabatan yang dijunjungnya, menempatkan B pada pihak yang bersalah secara moral dan dihakimi sebagai pengkhianat teman. (Deconstruction)

2. A secara tidak langsung telah menggangap X sebagai barang yang seenaknya saja bisa digilir dan dipindah tangankan(Comodification). Ini merupakan salah satu cikal bakal kapitalisme yang tumbuh didalam otak manusia. Di sini kita dapat mempertanyakan kesucian cinta A pada X. Apakah benar-benar cinta atau hanya dijadikan alat-alat pencapai keinginan? (Marxist Criticsism)

3. X, sebagai wanita dapat memutuskan yang mana pilihan yang terbaik untuknya. X menyadari betul persahabatan yang terjalin antara A dan B, dan norma-norma yang berlaku dilingkungannya seakan menekan dirinya sehabis-habisnya, untuk menerima saja apa yang ada dihadapannya. Tapi X melawan mainstream yang ada dan memutuskan memilih B, sebagai kekasih hatinya. Di kasus ini, X telah mewujudkan suatu kebebasan berfikir dan bertindak seorang wanita yang merdeka (walaupun tidak sepenuhnya) dengan melawan kewajaran yang di anggapnya tidak wajar untuk dirinya. (Feminist Criticism).

Kenapa sastra mengajarkan kita berfikir secara radikal ? Saya hanya tersenyum untuk menanggapinya. Dan kemudian falasah lama pun meluncur :

"Your beliefs are stronger when they are challanged."

Tulisan Muhammad Adek ini sebelumnya dipublikasikan 17 November 2010, 20:06

Sabtu, 30 Oktober 2010

It's over, Kaz

Oleh Riyani Vadilla
Sebelumnya dipublikasikan pada
16 October 2010, 08:38


aku pernah mengagumimu seperti kelereng

bulat, warnanya berpendar ditimpa sinar mentari
aku pernah menggilaimu seperti menggilai layangan
terbang meliuk-liuk genit di atas sana

Tapi itu dulu, Kaz
Kini kau seperti tembok yang ingin ku runtuhkan sejadi-jadinya Kaz
Kau beri aku harapan tipis yang tak lebih tipis dari lendir yang membaluri tubuh ikan mas
dingin dan menjijikkan

benar aku dulu mengagumimu, Kaz
tapi semua itu berubah menjadi kebencian yang teramat dalam dan pedih
Tapi lagi-lagi bukan masalahmu, Kaz
Aku yang keliru pernah hendak menitipkan hati, tanpa pernah menanyakan tanganmu kosong atau tidak

Minggu, 10 Oktober 2010

Selayang Pandang

Oleh Hangga Prasetya

sebelumnya dipublikasikan pada
07 October 2010 pukul 02:21

Imagi selayang pandang
Selayang pandang ku pandang-pandang
Wanita elok nan rupawan lenggak-lenggok di dalam kaca
Selayang pandang ku pandang-pandang,
Pria elok nan binaragarawan lenggak-lenggok di dalam kaca
Wanita itu putih, bersih, rambut lurus, badan langsing;
Tubuhnya atletis, enam lekukan di perutnya, rautan Eropa merona di wajahnya
Selayang pandang ku pandang pandang
Banyak wanita sedang melenggak lenggok pula di luar kaca
Berharap bisa melenggok pula di dalam kaca
Banyak pria mencoba mem-binaragarawankan badannya di luar kaca
Ingin seperti pria dalam kaca

Imaji selayang pandang
Hanya untuk dipandang-pandang
Hanya dipandang
Pencuri Api, 071010


Puisi ini telah mengalami proses editing oleh admin Cermin Community. Untuk melihat versi awal dari tulisan ini, silahkan kunjungi laman ini.



Catatan Editor
oleh T. S. Frima

Sosiologi Sastra (Sociology of Literature) adalah istilah luas yang memayungi semua teori yang menekankan pengaruh timbal-balik antara masyarakat dan karya sastra. Kritik sastra Marxis juga secara tradisional sering dikategorikan sebagai Sosiologi Sastra (sebagaimana termuat dalam Glossary of Literary Terms oleh M.H. Abrams). Namun, hal ini tidak sepenuhnya tepat.

Sejumlah kritikus sastra Marxis sendiri menyatakan penolakan pengkategorian tersebut. Mereka beranggapann bahwa Sosiologi Sastra cenderung bersifat deskriptif dan hanya terbatas pada upaya menggambarkan hubungan antara masayarakat dan sastra. Padahal, menurut mereka kritik sastra Marxis adalah sebuah bentuk perjuangan yang mengandung elemen kritis dan emansipatoris.

Sebagai contoh penerapan, mari kita telaah puisi berjudul Selayang Pandang karya Hangga Prasetya di atas.

Dari puisi tersebut, pembaca akan mendapati kalimat-kalimat verbal yang menggambarkan prilaku pria dan wanita sebagaimana diindra oleh aku-lirik. Puisi ini diawali dengan aku-lirik yang menyaksikan pria dan wanita berpenampilan menarik melenggok dalam sebuah acara televisi. Selanjutnya aku-lirik menyaksikan banyak pria dan wanita di luar kaca (yaitu di dunia nyata) yang berusaha meniru sosok pria dan wanita di dalam televisi tadi. Kemudian puisi diakhiri dengan bait berisi tiga baris yang mengulang kata ‘-pandang’ (‘selayang-pandang’, ‘dipandang-pandang’ dan ‘untuk dipandang’).


Bila mencoba menerapkan telaah Sosiologi Sastra, ada banyak pendekatan yang bisa dipakai. Misalnya dengan pendekatan tradisional Historis-Biografis (Historical-Biographical Approach), kita dapat menyoroti apakah muatan puisi ini ada hubungannya dengan pengalaman pribadi (biografi) penulis, atau apakah isi puisi ini berangkat dari keadaan nyata sesuai dengan yang sedang berlaku pada waktu puisi ini dibuat.

Mula-mula, akan dilihat bahwa puisi ini dibuat pada tahun 2010 oleh seorang pemuda usia dua puluh tahunan. Lalu akan dilihat pula bahwa tayangan televisi di Indonesia dalam kurun 5-10 tahun ke belakang didominasi oleh berbagai reality show; mulai dari ajang pencarian pelawak, pencarian pasangan mama dan anak berbakat, pencarian pedangdut, idola pop, pesulap, model iklan deodorant, model sampul majalah remaja sampai ke pencarian orang ndeso yang mirip artis bahkan juga pencarian jodoh. Berbagai ajang tersebut pun selalu mengekspos penampilan dan fisik para pesertanya disamping mencari kemampuannya (kalau ada).

Lebih jauh lagi, akan dilihat pula bagaimana masyarakat awam yang selalu menjadikan televisi sebagai kiblat secara membabibuta meniru semua yang ditayangkan di layar kaca. Busana yang dipakai oleh orang di tayangan musik akan diborong, kata-kata dramatis yang diucapkan orang di sinetron akan dikutip, junk food yang dimakan orang di iklan akan diburu, lantas bentuk tubuh yang dipamerkan dalam tayangan televisi pun akan diidolakan.

Akhirnya, pendekatan ini akan menyimpulkan bahwa puisi Selayang Pandang memang benar berangkat dari kenyataan yang berlaku di masyarakat di mana penulisnya hidup; atau ringkasnya, sebuah potret dari fenomena sosial-budaya masa kini.


Namun dalam kritik sastra marxis, telaah tidak berhenti sampai di sana.

Misalnya, bila kita memakai kritik sastra marxis dengan modul Teori Refleksi (sebagaimana diperkenalkan Lukacks), teks harus dilihat sebagai refleksi realita sosial dalam sistem ekonomi tertentu. Dalam hal ini, puisi Selayang Pandang sekurangnya dapat disoroti dari aspek-aspek sebagai berikut:


1. Dominasi kelas dan ketidak-adilan
Baris ke-tiga berbunyi “wanita elok nan rupawan”, sedang baris ke-limanya berbunyi “pria elok yang binaragawan”. Kata-kata ini menunjukkan bagaimana nilai manusia ditentukan oleh wajah dan bentuk tubuh. Tidak lagi penting apakah anda rajin, soleh, ramah atau cerdas; pokoknya anda tidak akan dianggap elok jika wajah dan tubuh anda tidak menarik.

Selanjutnya baris ke-enam dan ke-tujuh yang berbunyi “Wanita itu putih, bersih, rambut lurus, badan langsing;/ Tubuhnya atletis, enam lekukan di perutnya, rautan Eropa merona di wajahnya/” memberi penegasan akan batasan penilaian akan elok-tidaknya seseorang. Kalau seorang wanita harus berkulit putih dan berambut lurus untuk dianggap elok, bagaimana dengan wanita kaum buruh dan tani yang kulitnya gelap sebab mesti berselimut debu tiap hari, bagaimana wanita yang tidak mampu ke salon untuk rebounding atau sekedar beli conditioner botolan? Kalau seorang pria harus berwajah mirip bule dan berbadan atletis untuk dianggap elok, bagaimana dengan kebanyakan rakyat Negara ini yang asli keturunan pribumi, yang makan dua kali sehari saja susah sehingga badannya tidak berotot?

Maka puisi ini adalah potret dominasi kaum kelas atas. Begitu berkuasanya mereka sampai-sampai standar nilai manusia pun mereka yang menentukan—yaitu yang sesuai dengan kehendak mereka. Dan bukankah diskriminasi berdasarkan ciri fisik itu sebuah bentuk ketidak-adilan.


2. Komodifikasi manusia
Tayangan televisi mengundang orang-orang untuk beramai-ramai berpartisipasi di dalamnya dengan iming-iming hadiah besar serta popularitas instant. Baris ke-sembilan dan ke-sepuluh yang berbunyi “Banyak wanita sedang melenggak lenggok pula di luar kaca,/ Berharap bisa melenggok pula di dalam kaca” menunjukkan bahwa masyarakat dengan mudahnya terpancing dan berlomba-lomba untuk dapat mengikuti acara tersebut, atau untuk sekedar tampil di layar kaca.

Padahal dalam tayangan itu, para peserta dieksploitasi sedemikian rupa untuk menaikan rating. Masih kita ingat bagaimana acara pencarian pasangan mama dan anak berbakat yang mengalokasiakan 15 menit untuk membodoh-bodohi mamanya; atau bagaimana para kontestan dalam ajang pencarian idola pop yang tinggal serumah selalu disoroti saat-saat mereka bertengkar dan menangis, sesi komentar (biarpun komentar itu ngawur dan mengundang cemooh penonton) pada saat penampilan pun biasanya lebih lama daripada sesi unjuk kebolehannya. Semua itu agar kemudian pihak penyelenggara bisa meraup untung sebesar-besarnya dari pemasang iklan. Dengan kata lain, manusia telah dijadikan komoditas ekonomi dalam bisnis pertelevisian dan dunia hiburan. Bagitu satu musim selesai, nilai jual manusia itupun habis dan ia segera dilupakan. Lalu ribuan manusia lain antri untuk dijual di musim berikutnya lewat layar kaca.


3. Efek negative dari sistem yang berlaku
System yang berlaku adalah system yang dibuat oleh kelas dominan; yaitu kapitalisme. System ini memposisikan kaum lemah sebagai objek belaka, untuk dieksploitasi dan dimanipulasi sedemikian rupa demi memberi keuntungan yang sebesar-besarnya bagi kaum dominan.

Demi mempertahankan system ini, masyarkat diperbodoh dan dibutakan dari kenyataan. Misalnya melaui sinetron yang selalu menawarkan happy ending dan ajang pencarian bakat yang mengumbar mimpi. Ini disediakan sebagai pelarian bagi kelas lemah sekaligus sebagai media pendoktrin untuk menamkan sifat konsumerisme. Puisi ini menyiratkan betapa tayangan televisi membuat masyarakat berpikir bahwa wanita harus putih untuk menjadi cantik, maka belilah lotion pemutih berbagai merek; bahwa lelaki harus atletis untuk menjadi keren, maka pergilah ke gym dan minum susu tinggi protein dan kalsium; bahwa seseorang harus populer untuk bahagia, maka halalkanlah segala cara demi popularitas.

Baris ke-dua dari akhir puisi ini yang menekankan pada kata “hanya untuk dipandang” menyiratkan bahwa semua yang ditawarkan oleh televisi sebagai media doktrin kapitalis adalah kesemuan semata. Kebahagian dan kepuasan yang ditawarkan hanyalah sebatas imaji(nasi). Dapat pula kita tangkap nuansa keterasingan yang dirasakan aku-lirik dari kata “hanya dipandang” sebagai penutup puisi ini. Keterasingan yang lahir saat melihat orang-orang disekitar kita berubah, membuang kepribadian dan harga dirinya demi menjadi seperti tokoh pujaan di layar kaca.


Sebagaimana disebutkan di atas, yang menjadi fitur utama dari Kritik Sastra Marxis adalah elemen kritisnya terhadap hegemoni yang berlangsung dalam masyarakat; terhadap system kapitalisme kompetitif yang memicu pertikaian, melahirkan individualisme, alienasi dan keburukan lainnya (terutama buruk dari sudut pandang kaum yang lemah). Tidak kalah penting juga, elemen emansipatorisnya yang menuntut kesetaraan perlakuan serta kesamaan hak dan derajat antara kaum dominan dan kaum lemah. Pada akhirnya, Kritik Sastra Marxis akan menyimpulkan bahwa puisi Selayang Pandang ini sebagai karya progresif, karya yang menentang kapitalisme yang hanya menawarkan kebahagiaan imajiner, semu dan sesaat.


Referensi: Handout for LC II class by Pak Gindho Rizano

Sabtu, 02 Oktober 2010

Jika

oleh Thiska Septa Maiza


sebelumnya dipublikasikan pada

05 May 2010 at 00:44


Jika hari ini adalah penyudahan

maka aku akan sangat merindu

pada matahari yang bersinar

dan hari-hari yang diteranginya;


Maka dengarkanlah wahai hati yang membeku,

aku dan rindu telah terpisah jauh dalam jeda,

telah lelah diri berpura-pura,

terkikis habis semua daya.


Jika hari ini adalah penyudahan

maka biarkan aku melebur

dalam hitam legam udara malam.





Catatan editor

oleh T. S. Frima


Sebagaimana yang jamak terjadi, bila dalam sebuah produksi kuantitas meningkat, kualitas akan cenderung menurun sebagai kompensasinya. Hal ini pun bisa berlaku dalam menulis. Semakin banyak karya yang dibuat oleh seorang penulis dalam rentang waktu yang singkat, semakin besar kemungkinan ia terjebak pada jejak nuansa karya-karya sebelumnya, sehingga diksinya menjadi tumpul. Meskipun begitu, di sisi lain produktifitas yang tinggi bisa juga disamakan dengan upaya berlatih yang giat. Dan semakin seseorang terlatih atau terbiasa mengerjakan sesuatu, intuisinya akan aspek-aspek tertentu dari pekerjaan itu akan semakin tumbuh.

Thiska Septa Maiza adalah seorang penulis yang sangat produktif—setidaknya dibandingkan rekan-rekannya. Dalam rentang satu semester, dia bisa menyelesaikan belasan atau bahkan puluhan fiksi dan puisi. Jelaslah bahwa ia seorang yang bergaya hard work-er. Sekarang mari kita telaah salah satu puisinya yang berjudul Jika.


Dari segi judul, meletakkan kata ‘jika’ sungguh tindakan yang cerdik untuk menarik perhatian pembaca. Kata ‘jika’ adalah gerbang bagi hal-hal yang belum terjadi, tetapi sudah diandaikan terjadi. Ketika melihat judulnya, pembaca menjadi penasaran akan objek yang diandaikan, dan menanti ‘maka’ apa yang tersedia sebagai kelanjutannya.

Tapi sayang sekali ternyata bait-bait sebagai tubuh sajak ini tak mampu mempertahankan rasa penasaran itu dalam benak pembaca.

Bait pertama langsung menyuguhkan pernyataan verbal, yang sudah pasti diinsafi semua orang. Meskipun kata-kata ‘jika hari ini adalah penyudahan/ maka aku akan sangat rindu/ pada matahari yang bersinar/ dan hari-hari yang diteranginya’ bisa merujuk pada macam-macam akhir, namun logika kalimatnya terlalu gamblang dan tidak membutuhkan penafsiran. Bukankah bagi siapapun, jika ini hari terakhir dari sesuatu, ia pasti akan merindukan hari-hari yang lalu saat sesuatu itu berlangsung?


Bait kedua dituliskan dengan cukup baik dengan menggunakan beberapa jenis majas. Baris pertamanya yang berbunyi ‘maka dengarlah wahai hati yang membeku,’ memakai gaya apostrophe; yaitu gaya yang menyebut sebuah benda seakan subjek dalam puisi sedang berbicara padanya secara langsung, seakan-akan benda itu adalah orang yang bisa diajak berbicara. Baris ke-dua memakai majas personifikasi. Dalam kalimat ‘aku dan rindu telah terpisah jauh’, rindu seakan-akan adalah orang yang setara dengan ‘aku’.

Sayangnya bait ini juga memuat death metaphor, yaitu metaphor yang telah kehilangan nilai figuratinya karena sudah terlalu biasa dipakai. Kata-kata ‘telah habis semua daya’ adalah kata-kata yang sudah sangat umum dipakai, tidak hanya dalam puisi tetapi juga dalam lirik lagu.

Begitupun dalam baris terakhir bait terakhir, kata-kata ‘hitam legam’ dan ‘malam’ juga sudah terlalu sering dipakai secara serangkai, sehingga kemunculannya sebagai satu baris dapat memicu kebosanan.


Sebenarnya puisi ini cukup kuat dalam hal tema dan nuansa. Pengandaian dan sikap melankolis seseorang saat menghadapi suatu akhir adalah hal universal yang dapat menyentuh perasaan siapa saja. Apakah itu akhir hidup, akhir penantian, ataukah akhir kebersamaan? Terlepas dari isinya, tampak bahwa penulis memiliki intuisi yang peka dalam memilih tema dan nuansa. Namun bagaimanapun, intuisi saja tidak cukup. Ketumpulan dalam mengatur diksi justru akan merusak tema menjadi hambar dan mengesankan kedangkalan pada nuansa yang coba dibangun. Itulah sebab, alangkah baiknya seorang penulis berlatih secara proporsional, berimbang dan teratur, sehingga tidak hanya intuisinya terbangun tetapi juga keterampilannya terasah.


Tulisan ini telah mengalami proses editing oleh admin Cermin Community. Untuk melihat versi awal dari tulisan ini, silahkan kunjungi laman ini.

sumber gambar

Selasa, 28 September 2010

Untuk Mimpi Reni

Oleh T. S.Frima

Sebelumnya dipublikasikan pada

19 September 2010



Kamu berdiri di sana,

Di belakang kilauan maya yang datang entah dari mana.

Tak hirau pada ranting-ranting yang merangas,

Kulihat kamu memandangi tangan sendiri, bertanya:

Bisakah Ia, kemilau itu, digenggam?

Dalam tertegun-mu, waktu berlalu

Dan dengan angkuhnya kamu percaya, bahwa kamu bisa selamanya ada di sana:

Terus bertanya-tanya.


Apakah hujan, ataukah salju,

Kemurnian alam yang dingin menerjangmu

Mengantarmu pada hidup yang rapih:

Lingkaran sempurna yang menghampar,

Yang sama sekali tak bisa kujejaki.


Dan di langitmu selengkung senyum memancar;

Sekali lagi kamu bertanya: bisakah Ia kamu petik?

Sedang bagiku semuanya adalah anomali.

Malam menjelang, kelip menggugus.

Tak bisa kubedakan, mereka gemintang atau pendar lampu jalan.

Namun pada gugusan yang sejernih cermin itu

Terpantul wajah yang pernah kita kenal.

Hanya saja bagimu, saat ini semuanya asing;

Seluruh malam telah disusupi aura yang aneh,

Semacam kabut samar-tipis, menyelip diantara laut dan langit.

Cahaya dan Kegelapan telah memudar bersamaan.


Kamu masih berdiri di sana,

Di dermaga tua yang melapuk—melepas nyawa.

Tumpuannya telah runtuh di kaki fajar, meninggalkan lembar-lembar papan hanyut;

Sisa-sisa impianmu pun tenggelam;

Dan surya mengakhiri semuanya.

Semuanya, Ren.



Catatan:

Tulisan ini telah mengalami proses editing oleh admin Cermin Community, dengan persetujuan penulis aslinya.

Sabtu, 15 Mei 2010

Matahari

oleh Muhammad Adek


Sebelumnya dipublikasikan pada

11 April 2010 at 22:58


Kau,

yang terlahir kembali

seperti cetak biru,

pada raga yang anomali.


Kau,

yang mungkin hanya pengulangan

dari dia,

tiruan dari segala macam tiruannya,

keserasian bentuk ragaannya.


Kau,

yang kutulis lagi,

diatas kenangan yang tertumpuk mati.

Kuharap kau

sanggup menyiasati

bayang-bayang dia,

yang berdikari bagai

Matahari.



Catatan editor

oleh T. S. Frima


Sajak berjudul Matahari oleh Muhammad Adek ini cukup mudah dinikmati dan dipahami karena memakai rima yang jelas dan majas yang gamblang.

Dari segi bentuk, agaknya sajak ini dapat digolongkan sebagai free verse, sebab tidak ditemukan pola matrikal yang tetap di dalamnya baik dari segi silaba maupun rima. Satu-satunya yang menjadi pola adalah, setiap bait selalu diawali kata ‘kau’ yang berdiri sendiri di baris pertama.


Dengan menyebutkan ‘kau’ secara berulang dan memberinya posisi yang mencolok, sekilas tampak bahwa penyair ingin menjadikan ‘kau’ sebagai pusat sajaknya. Tapi benarkah demikian?

Pada bait pertama, pembaca diperkenalkan pada tokoh ‘kau/ yang terlahir kembali’. Kata ‘kembali’ menunjukkan sebuah proses pengulangan; artiya, sebelumnya ‘kau’ sudah pernah lahir, dan kita terlahir (atau dilahirkan?) lagi. Pada baris ketiga, kata ‘cetak biru’ (blue print) secara literal berarti desain yang dipedomani untuk membuat suatu benda. Sedangkan pada baris keempat, kata ‘anomali’ berarti aneh, ganjil atau tak normal.

Bait pertama ditulis sebagai satu kalimat yang dipotong-potong. Secara struktur, kalimat tersebut memiliki klausa utama yang berbunyi ‘kau seperti cetak biru pada raga yang anomali’, dan disisipi oleh frase keterangan ‘yang terlahir kembali’ yang sifatnya tambahan. Dari sini, kita dapat memahami bahwa ‘kau’ berasal dari sebuah desain yang sekali lagi terwujudkan kedalam tubuh yang nyata, namun tubuhnya kali ini terlihat ganjil dan aneh.


Bait ke-dua masih menyoroti ‘kau’, kali ini dengan keterangan yang lebih verbal. Baris ke-duanya yang berbunyi ‘yang mungkin hanya pengulangan’ adalah penegasan dari baris ke-dua pada bait sebelumnya yang menyebut ‘terlahir kembali’. Baris ketiga yang berbunyi ‘tiruan dari segala tiruannya’ mengingatkan kita pada pendapat Plato dalam buku Republic.

Pada bab kesepuluh dalam buku tersebut, Plato berargumen bahwa dunia ini terdiri dari dua bagian: dunia ide dan dunia benda. Ide bagi Plato adalah cetak biru atau desain universal dari semua benda yang ada di alam; dan karenanya ide tersebut adalah milik Tuhan. Misalnya, ada begitu banyak kuda di dunia, tapi semua kuda berbentuk sama, itu karena semua kuda berasal dari ‘cetakan ide’ yang sama; meskipun dalam detail ada ukuran yang berbeda dari kuda yang satu ke yang lain. Begitu pula tentang tempat tidur; meskipun bervariasi dalam ukuran dan ornamen, tapi semua tempat tidur memiliki bentuk dasar yang sama, dengan empat kaki dan bagian lebar untuk menopang tubuh manusia. Dengan demikian, benda-benda kongkrit adalah tiruan dari ide. Lalu, yang disebut Plato sebagai tiruan dari tiruan adalah karya seni. Misalnya, lukisan tempat tidur adalah tiruan dari ‘benda tempat tidur’ yang sebenarnya; sedangkan ‘benda tempat tidur’ itu sendiri adalah tiruan dari ‘ide tempat tidur’.

Berdasarkan keterangan ini, kata-kata ‘kau,/ yang mungkin hanya pengulangan/ dari dia,/ tiruan dari segala macam tiruannya,’ menunjukkan bahwa ‘kau’ adalah sebuah karya seni, bukan benda kongkrit.

Bait ini juga memperkenalkan kita pada tokoh ‘dia’ yang memiliki ‘keserasian bentuk ragaan’ dan merupakan benda kongkrit yang coba ditiru oleh ‘kau’.


Bait ke-tiga memainkan fungsinya sebagai penutup dengan menjelaskan arti ‘kau’ dan ‘dia’ bagi ‘aku’ lirik. ‘Kau,/ yang kutulis lagi,/ di atas kenangan yang tertumpuk mati,/’ pada baris satu sampai tiganya mengindikasi bahwa ‘kau’ adalah sesuatu yang dicipta ‘aku’ secara sengaja. Sedangkan kata-kata ‘Kuharap kau/ sanggup menyiasati/ bayang-bayang dia,/ yang berdikari bagai/ Matahari./’ menjelaskan motif ‘aku’ membuat ‘kau’, yaitu untuk menanggulangi ‘bayang-bayang dia’ yang selalu hadir begitu kuat dan tak bisa disangkal, selayaknya ‘matahari’.


Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa ‘dia’ adalah sosok yang penting bagi ‘aku’. Namun ‘dia’ sudah bukan lagi sesuatu yang ada bagi ‘aku’; ‘dia’ tinggal bayang-bayang dan lekatan pada ingatan. Sebagai pelarian, ‘aku’ menciptakan ‘kau’ berdasarkan citra ‘dia’ selaku cetakan. Meskipun ‘kau’ hanya tiruan yang tidak sesempurna sosok aslinya, dengan naif ‘aku’ tetap berharap ‘kau’ dapat mengalihkannya dari ‘dia’.

Jelaslah bahwa sebenarnya yang menjadi pusat dari sajak ini adalah ‘dia’, yang sudah bagaikan matahari bagi ‘aku’. Itulah sebab Matahari diletakkan sebagai judul, sebagai penunjuk dari sentra cerita.


Tulisan ini telah mengalami proses editing oleh admin Cermin Community. Untuk melihat versi awal dari tulisan ini, silahkan kunjungi laman ini.