Pementasan drama berjudul Frankenstein di ruang seminar fakultas sastra Universitas Andalas, pada hari kamis tanggal 19 Maret 2009 sangat menarik untuk dibedah. Drama ini adalah sebuah pencapaian gemilang dari komunitas cermin yang beranggotakan mayoritas mahasiswa sastra Inggris. Drama ini saya anggap cukup berkaliber karena tidak hanya membawa diskursus subordinasi sains, tetapi juga menjadi kamuflase dari sebuah distribusi metadiskursus patriarkhi.
Karakter monster dalam drama ini diperankan oleh seorang wanita dengan dua wajah. Dalam momen diskusi pasca pementasan, terungkap sebuah kritikan terhadap masalah sosial masyarakat, dimana wanita dianggap sebagai penyebab permasalahan dalam rumah tangga. Hal ini lebih jauh mengisyaratkan bahwa hadirnya kajian dan gerakan feminisme adalah ‘virus’ yang merubah wanita menjadi ‘monster’. Diskusi semakin manarik dengan munculnya sebuah diskursus ‘setelah munculnya feminisme, wanita menjadi enggan untuk membikin secangkir kopi untuk suaminya’. Implikasi logis dari diskursus ini adalah wanita tidak mau lagi mengurusi seluk beluk urusan domestik rumah tangga akibat pengaruh kajian feminisme. Inilah metadiskursus patriarkhi dibalik drama Frankenstein kemarin. Saya memahami permasalahan rumah tangga antara suami dan istri adalah suatu ranah kajian yang cukup rumit, dan adalah tidak adil jika secara langsung mendakwa perempuan sebagai ‘biang kerok’ perpecahan rumah tangga. Seharusnya permasalahan ini dilihat dari banyak sisi, tidak dari satu sudut pandang saja. Saya yakin jika suami telah memenuhi kewajiban dan fungsinya secara baik dan benar (lahir dan bathin), maka tidak akan ada lagi perempuan yang enggan memenuhi peranannya dalam rumah tangga secara baik dan benar juga.
Jadi ternyata permasalahannya tidak semata-mata terletak di bahu perempuan. Ada semacam usaha-usaha taktis dan ideologis untuk mempersempit objek terdakwa menjadi satu kelas gender saja, yaitu perempuan. Saya mencoba membongkar trace dan aporia dari permasalahan ini, saya menemukan bahwa seorang suami sebagai salah satu pelaku sosial dan bagian elemen masyarakat, akan menemui kesulitan dalam memenuhi tanggung jawabnya ketika masyarakat tersebut telah menjadi objek eksploitasi ‘gurita kapitalisme’. Dalam konteks ini, kapitalisme telah berkolaborasi dengan kekuasaan sosial patriarkhi untuk membentuk identitas masyarakat. Seorang kepala perusahaan misalnya, kapitalisme membentuk identitasnya menjadi kelas pekerja baru, semua kebutuhan material keluarganya terpenuhi, akan tetapi, sebagai konsekuensi, ia harus mencurahkan mayoritas waktunya untuk kepentingan kapitalisme, sehingga perhatiannya kepada keluarga sangat minim, upaya pemenuhan kebutuhan bathin untuk istri nyaris hilang. Akibatnya, sang istri enggan untuk menjalankan perananannya dengan baik dan benar. Demikian juga dengan objek eksploitasi kelas bawah kapitalisme, kuli bangunan misalnya, kesulitan memenuhi kebutuhan material keluarga akibat upah yang sangat minim, hal ini membuat sang istri kembali enggan untuk memenuhi fungsinya.
Kolaborasi patriarkhi dan kapitalisme membangun dimensi ideologis pria sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab penuh terhadap pemenuhan kebutuhan material, akan tetapi buta terhadap pemenuhan kebutuhan bathin seperti kasih sayang dan perhatian. Strategi kapitalis dan patriarkhi disini adalah membangun identitas pria sebagai pelaku sosial dominan dalam keluarga, dan mengekploitasi mereka dengan cara membentuk dimensi ideologis yang terpusat pada pemenuhan kebutuhan material keluarga, kemudian meng-eliminasi pemenuhan kebutuhan bathin. Dengan terpusatnya identitas dan ideologi kaum pria untuk memenuhi kebutuhan material keluarga, maka kapitalisme akan semakin diuntungkan, karena hal ini akan meningkatkan efektifitas sistem produksi dan laba.
Kapitalisme dan patriarkhi adalah dua kekuasaan organik sosial, disebut juga bio-power, bekerja langsung pada tataran ideologis masyarakat, menciptakan sistem kontrol dengan membentuk identitas masyarakat sesuai dengan kepentingan-kepentingan strategis kedua kekuasaan tersebut. Kedua power ini merasuki segenap praktek-praktek sosial masyarakat baik yang dikursif maupun non-diskursif. Salah satu instrumen taktis kedua kekuasaan itu adalah diskursus, dan dalam pementasan drama Frankenstein kemaren telah terdeteksi eksistensinya. Drama ini telah menjadi ajang distribusi diskursus patriarkhi, akan tetapi hal tersebut tidak menurunkan kualitas dramanya, karena justru dengan keberadaan diskursus patriarkhi itulah maka drama Frankenstein menjadi sangat menarik untuk menjadi ‘ajang pembelajaran’ bagi kita semua.
Saya mengharapkan komunitas cermin tetap produktif, serta aktif dalam mengkritisi beragam masalah sosial secara adil dan tajam. Keberadaan komunitas cermin penting untuk membangun masyarakat yang berbudaya. Kepada segenap anggota komunitas, terus budayakanlah berpikir kritis, tidak hanya terhadap masalah sosial, tetapi juga terhadap peran yang akan dimainkan.
Oleh : Novra Hadi