1 april 2009
08:40 pm
Pertemuan sesaatku dengan Ami tadi siang, setelah hampir dua tahun tak lagi kulihat
tabir parasnya yang kata orang-orang sudah tak lagi meng(k)empompong, membuat semacam kecamuk kembali di benak dan hatiku, hingga akhirnya, sebagai pelampiasan eskapis, kuputuskan saja untuk sedikit berspekulasi. Tanpa bermaksud mengenyampingkan perasaannya yang di mataku masih terpalung kelam, yang belum bisa kutemu seperti apa rupa dasarnya, namun, hal ini semata terlebih karena Amiku(kalau saja dia memperbolehkanku untuk disebut begitu) sendirilah, yang berkata lewat raut bahasa tubuhnya yang mungkin masih terlalu gamang untuk kuanalogikan.
Sebelumnya aku haturkan maaf sebisanya pada siapa saja, termasuk Ami sendiri, yang miliki interpretasi berbeda dalam membaca arah dan tujuan catatan harian kecil ini. Perlu kutekankan bahwa, “masalah” ini hanya ada antara aku, dan riak-riak kecamukku sendiri yang telah kusebut di atas. Ami tak bertanggung jawab sedikitpun dalam hal ini, kecuali hanya keberadaannya saja yang sempat singgah sejenak dalam berkarung-karung hari yang masing-masing kami sedang jalani. Sejenak yang anehnya sampai detik ini kurasa.
Baiklah, kita mulai saja spekulasi ini dengan sebuah puisi karya GAIUS VALERIUS CATULUS, Roma 84-54 SM. RR, begini kira-kira saduran kasarnya :
Kau, hidupku, berjanjilah, makna cinta
Di antara kita bernilai pasti dan abadi
Dewa-dewi Agung, bujuk dia bicara kebenaran
Dan mengucap TULUS dari lubuk hati terdalam
Agar sepanjang masa mampu kami lanjutkan
Tanpa jeda ikrar persahabatan
(dikutip dari ‘What about Leonardo’ karya Evald Flisar)
Hampir dua tahun lalu, aku sempat tawarkan segulung benang rasa aneka warna yang dalam anggapan idealku kala itu, akan tertentukan juga akhir kesepakatan kami bersama untuk mulai memintalnya menjadi sehelai selimut hangat yang akan kupersembahkan untuk Ami nantinya.
Namun Ami berkata lain, dia bilang kalau bekerja denganku, dia tak bersedia! Diberinya aku alasan manusiawi, kalau aku sudah dianggap kakak angkatnya atau mungkin sahabatnya sajalah. Dikarenakan oleh empati rasa sayang, ia tak ingin aku terluka karena jarum-jarum kematerian dan prasyarat-prasyarat fana seketika darinya, yang sebenarnya dapat kulihat menggelayut kelam di kedua kelopak matanya.
Kemudian, walaupun dengan berat hati, tanpa kuminta dia tuk katakan seperti apa alasannya bilang aku seperti itu(hanya sebagai saudara atau sahabat), setelah DUA kali saja kumohonkan, aku kembali ke rumah dengan penyertaan gerimis yang menolongku senja itu. Ah, aku jadi teringat sekelabat kalimat shout-out Friendster seorang teman yang dia tulis begini : “I like walking in the rain, because nobody can see me crying.” Dan sebersyukurnya itulah aku atas gerimis yang menyamarkan titik sedikit air mataku, agar orang-orang, terlebih lagi Ibu yang nanti akan bilang aku ini lelaki cengeng yang terlalu mudah menangis. “Kau belum coba semampumu, dengan kenyataan sekelumit itu saja kau telah menyerah! Kau bukan anakku kalau kau mudah terpatah seperti itu! Jadilah rotan-bambu, jadilah karang, jadilah bayu, jadilah apa saja yang bisa buatku bangga, yang bisa buatku tak kecewa karena telah bersusah payah lahir-besarkan kau!” Kira-kira akan seperti inilah kata ibu.
Akhirnyapun tetap saja tangis,
Lain sisi, nakal benakku riang bernyanyi
karna tak bersusah payah rajutpaksakan selimut tuk Ami,
Namun, hatiku menitip air matanya sendiri pula
yang hanya bisa termuara pada paras muka.
Tau apa orang-orang di luar sana soal ini,
kalau Ibu mungkin bisa kasih kecuali.
Bagaimanapun juga,
Kupohonkan terimakasih pada gerimis yang akhirnya datang menjadi hujan,
yang turun deras menghujam dari balik lelangit kamar.
Hampir dua tahun lalu..
Ya, semua itu telah berlalu biarpun masih seperti kemarin sore rasanya bagiku. Kata Einstein : waktu itu ilusi. Kebetulan dalam hal ini aku cukup sependapat dengannya. Karena kasus seperti ini bukan lagi soal teori-teori filsafat barat yang kupelajari di Sastra, bukan lagi soal matematika, fisika kuantum, juga teori ekonomi Adam Smith, ataupun mahzab-mahzab Karl Marx yang mungkin dipelajari Ami di Fakultasnya yang baru. Ini sudah tercakup dalam keabsurditasan khasanah rasa. Sekali lagi, ini soal RASA! Dimana waktu telah tersublimasi bahkan punah dengan sendirinya.
Maka, setelah dulu itu pernah kulontar harap sebanyak dua kali kepada Ami, sekarang mungkin sudah saatnyalah kuminta yang ketiga. Tanpa jeda ikrar persahabatan, tanpa ada istilah angkat-mengangkat saudara lagi. Sekarang mari kita bicara tentang kebenaran, ucapan tulus dari lubuk hati terdalam.
Kalau bicara sahabat, aku sudah punya banyak, teramat sangat malah. Terlebih lagi sejak aku pernah terpuruk dalam titik nadir hidup yang buat aku cuti kuliah selama dua semester. Teman-temanku yang beribu jumlahnya telah termagnifikasi menjadi beberapa orang saja. Bagiku itu sudah cukup. Merekalah yang kusebut orang-orang yang paling tahu siapa aku. Walaupun masih tak sepenuhnya tahu, kami yang sedikit, saling mencintai satu sama lain, dan aku bahagia akan mereka.
Saudara? Bukankah kata Tuhan semua manusia di dunia bersaudara? Saat ditanya perihal esensi saudara, aku cuma bisa bilang kalau saudaraku cuma satu, Tika, sekarang sudah bersekolah di Psikologi UI atas sedikit bantuan dana dari pemerintah daerah. Aku ingin sekali lakukan apa yang pernah dibilang Junjungan kita bahwa setiap manusia hidup diciptakan berpasangan. Aku ingin sekali cari pasangan yang sebenarnya telah tertentukan sebisaku, Ami, dialah yang sampai saat ini satu-satunya miliki kualifikasi penuh untuk bantuku merajut selimut hangat kehidupan yang nyatanya kan ku persembahkan nanti buatnya juga.
.
Demikianlah, agaknya sedikit sekali guna cangkir kata-kata yang termaktub di sini untuk dapat mewadahi lautan rasa yang ku-anakpelihara-kan selama ini. Kemarin, lewat sebuah buku, ada seorang teman senasibku yang bilang bahwa : “Dalam masa-masa tergelap kita, kita bisa menemukan harta yang paling gemilang!”
Aku, sedikit banyak sudah melalui semacam masa-masa gelap dalam kurun hampir dua tahun ini. Semua kematerian dari kehidupan dangkalku dulu, kebanggaan-kebanggaan semu, harapan-harapan sesaat, mimpi-mimpi tak berujung, dan puisi-puisi kecilku untuknya dulu, dan juga dia sendiri, Ami, sudah sempat punah dalam hidupku belakangan.
Harta-harta paling gemilang yang kuperoleh dalam masa gelap kala itu hanyalah pembelajaran untuk merasa syukur, dan perolehan semangatku tuk kembali berbagi pada orang-orang sekitar saja. Biar bisa jadi manusia berguna. Biarpun bagi orang-orang normal, kontemplasi penemuanku soal hakikat kehidupan masa itu, terbilang cukup lama, aku tetap saja merasa lega, lebih lega ketimbang saat aku berjalan di bawah hujan dan menciumi bau rerumputan, lebih lega daripada membaca buku di depan beranda rumah sambil menunggu senja tiba, lebih lega juga ketimbang saat aku menuliskan ini, yang semoga dapat sempat terbaca oleh Ami suatu saat nanti.
Dan untukmu Ami, jangan engkau lupa, betapapun minatku berkembang, alam pikiran berubah, pekerjaanku beralih, kedudukan puisi ternyata tak bisa tergantikan. Puisi hadir tanpa kuminta, mungkin serupa cinta atau iman (secarik kutipan dari antologi puisi Alangkah Tolol Patung Ini karya Faisal Kamandobat). Terlebih lagi dengan keberadaanmu dalam berkarung hari-hariku selama beberapa tahun ini, tak bisa kupungkiri, dalam duniaku yang hanya dua warna, hitam dan putih, bicara kebenaran atau diam sajaku seribu bahasa, engkau cukup punya andil besar(bagiku) dalam empat proses penting dalam hidup : belajar bersyukur, semangat berbagi, menulis puisi, dan dirimu sendiri, Ami.
Akhirnya kutekankan kembali pada diriku sendiri, bahwa tak ada salahnya mencoba datangimu sekali lagi, Ami. Ya, sekali lagi…
Sekian.
Fauzan F. (Papau)
Sastra Unand ‘04
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Bila anda ingin menanggapi posting ini, silahkan tuliskan komentar anda di sini.
Bagi rekan-rekan mahasiswa fakultas sastra Unand yang berminat mempublikasikan tulisannya di Blog Cermin Comunity, silahkan kirimkan naskah rekan-rekan ke cermincommunity@plasa.com
atau cermin_community@yahoo.com
Salam Hangat.