Hari itu kembali lagi
Amarah menggelegar bahana
Menyerakkan kepingan-kepingan patah
Dengan tunduk beribu diam
Hanya saja tak kentara meghiba
Jikalau aku tak mengeri apa apa
Aku tak mengerti sedikit juga
Karena hanya semu yang lewat sebentar
Coba ayun kembali kenangan lampau itu
Menyeruak benak tak sedikitpun lalai
Kadangkala hanya diam sejenak
Bernafas panjang berat dan terpekur
Entah apa yang kudapat dan kupunya
Setitik aneh tersirat selintas
Menebas keingintahuan syak wasangka
Karena aku tak mengerti apa-apa
(300409 - 02.33)
_Mira_
Rabu, 29 April 2009
"Lampu Merah"
Telah setengah jam aku menunggu
Berkali-kali lampu merah berganti
Keringat menetes di dahi
Punggung terasa linu
Menahan berat penantian
Menggelayut di punggung tak mengerti
Bibir kering berucap
Apa kabar siang dan mendung kota?
Malu hadir
Saat mata menatap lugu
Pengemis dan pengamen terburu
Razia berita sinis untuk rezeki
Aku saksi dungu bak tembok bisu
Tak bergerak ketika hari hanya mimpi
Luruhlah semua mampu
Hanyut dalam tangis para pelacur.
Lampu merah menyala
Aku masih menunggu
Sambil meraba rambu yang luka
Perih oleh tetes keringat kondektur
Menelusup diantara cemas dan risih
_Jakfar Baik_
Berkali-kali lampu merah berganti
Keringat menetes di dahi
Punggung terasa linu
Menahan berat penantian
Menggelayut di punggung tak mengerti
Bibir kering berucap
Apa kabar siang dan mendung kota?
Malu hadir
Saat mata menatap lugu
Pengemis dan pengamen terburu
Razia berita sinis untuk rezeki
Aku saksi dungu bak tembok bisu
Tak bergerak ketika hari hanya mimpi
Luruhlah semua mampu
Hanyut dalam tangis para pelacur.
Lampu merah menyala
Aku masih menunggu
Sambil meraba rambu yang luka
Perih oleh tetes keringat kondektur
Menelusup diantara cemas dan risih
_Jakfar Baik_
Sajak Nia
Pisau
Perjalananku bak sayatan pisau
Terukur tak terukur
Terkungkung mengungkung
Aku tidak bisa berpegang,
Lalu harus terjerat kelubang yang sama
Letih, lelahku….
Letoy lunglai aku, dihembus angin sepoi-sepoi
Tuhan.
Aku tak bisa berenang?
Meski badai, banjir bandang menjerat kedua kakiku,
Aku haus…..
Aku rindu…
Aku sesal….
Hutangku belum jua lunas
Haruskah aku berhutang?
Tuhan…
Sambutlah aku….
Dengan tatapan cinta-Mu
Cerita Mangkuk
Kutorehkan tinta hitam
Dihati…
Kukikis dalam-dalam
Biar bening menyerupai permata….
Aku masih diasah, dibakar, dan diinjak-injak.
Kulitku meradang menahan sakit,
Aku terus dibakar api menyala,
Menganga hingga kesela-sela
Kulit dan tulangku
Lalu, aku diwarnai oleh berbagai warna
Sekarang, jadilah aku bakul cantik
Tertata diruang tengah
RumahCermin, 16 April 2009
Pigura
Dia terpahat didinding rapi,
Bisu tanpa isyarat kata,
Dia masih merasakan udara segar,
Nun jauh disana,
Tapi, apakah dia bahagia?
Ia membisu,
Tersapu badai,
Menangisi takdir yang tak kunjung selesai,
Hingga waktu itu datang,
Ia tak jua menyadari kehadiran waktu
Demi waktu, waktu yang terhenti
Oleh dentingan lonceng,
Tapi…..
Ia tetap berhenti….
Dikesunyian…..
Saat Kau Renungi Masa
Kau dilahirkan dengan dua mata,
Bukan untuk melihat kebelakang,
Semestinya kau menatap kedepan,
Biarkan masa lalu itu tertanam hingga ke akar,
Menancap di permukaan bumi,
Jadilah sebatang pohon,
Dengan dahan, daun, dan batang,
Agar kelak,
Menaungi setiap pengembara
yang haus, dan kelaparan
Jadilah, engkau lebah madu,
Yang memberikan kesejukan dan kebahagiaan,
Saat kau jadi bintang,
Terangilah malam, d
Dengan keindahan sinar,
Walau hanya seberkas temaram,
Namun, berilah keindahan,
Saat kau menjadi awan,
Naungi dengan kelembutan,
Walau setetes hujan,
Ikut memberikan secuil harapan
Nasibku dalam pusaran waktu
Hilang, lenyap tanpa jejak,
Diantara gemerincing otak-otak,
Mengolah satu persatu,
Ku pugar dinding-dinding kesalahan,
Kutata otakku dengan metoda dan ceramah,
Meski hanya ada isak tangis dan gegap gempita,
Haluanku belum jua terarah,
Disaat angin puyuh membawaku,
Aku ikut pula terbang melayang,
Di ufuk utara menatap,
Arah mata angin,
Ternyata....
Masih dalam pusaran,
Aku ingin keluar dari gelombang ini,
Sastra, 16 April 2009
Dongeng
Saat kanak-kanak, ia gemar menatap dirinya dalam torehan tinta
Di kamar itu “ia berceritera” tentang angin puyuh yang hinggap dalam jiwa
Terperangkap seekor burung, hendak lepas dari sangkar,
Ibu menyapaku dengan lembut “itulah kamu”. Burung dengan pupil sayu, paruhnya berwarna jingga
Kini ia telah remaja, kertas putih itu tetap menemaninya
Bagai teman setia, kertas itu pengganti cermin,
Yang menjadi bagian dalam dirinya,
Sehingga hatinya pengukur kedewasaan,
Bukan lidahnya yang berbicara
Hanya sebongkah kertas, bila itu tiada, ia kesepian dan menderita
Kini ia mencari kertas-kertas lain yang tak berwarna,
Agar ia kembali berceritera tentang bulan, bintang, dan galaksi,
Dijagad raya.
Batusangkar, 2009
Suatu Masa
Sebatang pohon, berdiri tegak diantara rerimbunan pohon,
Diantara padang rumput savana,
Akarnya menikam kebumi, daun dan batangnya menjadi penopang,
Bagi burung pipit yang bersarang,
Dahannya menjulang hingga ke langit,
Menghirup segarnya mentari,
Suatu masa, ia datangi serombongan pipit,
Saling bercengkrama, dan di saat dekat penghujung masa,
Ia tetap berdiri, diam, tanpa hembusan angin,
Yang menyejukkan jiwa, kini ia berdiri terpaku,
Tanpa nyanyian pipit senja,
BEM KM, 2009 (For Bemers Friendship)
Perjalananku bak sayatan pisau
Terukur tak terukur
Terkungkung mengungkung
Aku tidak bisa berpegang,
Lalu harus terjerat kelubang yang sama
Letih, lelahku….
Letoy lunglai aku, dihembus angin sepoi-sepoi
Tuhan.
Aku tak bisa berenang?
Meski badai, banjir bandang menjerat kedua kakiku,
Aku haus…..
Aku rindu…
Aku sesal….
Hutangku belum jua lunas
Haruskah aku berhutang?
Tuhan…
Sambutlah aku….
Dengan tatapan cinta-Mu
Cerita Mangkuk
Kutorehkan tinta hitam
Dihati…
Kukikis dalam-dalam
Biar bening menyerupai permata….
Aku masih diasah, dibakar, dan diinjak-injak.
Kulitku meradang menahan sakit,
Aku terus dibakar api menyala,
Menganga hingga kesela-sela
Kulit dan tulangku
Lalu, aku diwarnai oleh berbagai warna
Sekarang, jadilah aku bakul cantik
Tertata diruang tengah
RumahCermin, 16 April 2009
Pigura
Dia terpahat didinding rapi,
Bisu tanpa isyarat kata,
Dia masih merasakan udara segar,
Nun jauh disana,
Tapi, apakah dia bahagia?
Ia membisu,
Tersapu badai,
Menangisi takdir yang tak kunjung selesai,
Hingga waktu itu datang,
Ia tak jua menyadari kehadiran waktu
Demi waktu, waktu yang terhenti
Oleh dentingan lonceng,
Tapi…..
Ia tetap berhenti….
Dikesunyian…..
Saat Kau Renungi Masa
Kau dilahirkan dengan dua mata,
Bukan untuk melihat kebelakang,
Semestinya kau menatap kedepan,
Biarkan masa lalu itu tertanam hingga ke akar,
Menancap di permukaan bumi,
Jadilah sebatang pohon,
Dengan dahan, daun, dan batang,
Agar kelak,
Menaungi setiap pengembara
yang haus, dan kelaparan
Jadilah, engkau lebah madu,
Yang memberikan kesejukan dan kebahagiaan,
Saat kau jadi bintang,
Terangilah malam, d
Dengan keindahan sinar,
Walau hanya seberkas temaram,
Namun, berilah keindahan,
Saat kau menjadi awan,
Naungi dengan kelembutan,
Walau setetes hujan,
Ikut memberikan secuil harapan
Nasibku dalam pusaran waktu
Hilang, lenyap tanpa jejak,
Diantara gemerincing otak-otak,
Mengolah satu persatu,
Ku pugar dinding-dinding kesalahan,
Kutata otakku dengan metoda dan ceramah,
Meski hanya ada isak tangis dan gegap gempita,
Haluanku belum jua terarah,
Disaat angin puyuh membawaku,
Aku ikut pula terbang melayang,
Di ufuk utara menatap,
Arah mata angin,
Ternyata....
Masih dalam pusaran,
Aku ingin keluar dari gelombang ini,
Sastra, 16 April 2009
Dongeng
Saat kanak-kanak, ia gemar menatap dirinya dalam torehan tinta
Di kamar itu “ia berceritera” tentang angin puyuh yang hinggap dalam jiwa
Terperangkap seekor burung, hendak lepas dari sangkar,
Ibu menyapaku dengan lembut “itulah kamu”. Burung dengan pupil sayu, paruhnya berwarna jingga
Kini ia telah remaja, kertas putih itu tetap menemaninya
Bagai teman setia, kertas itu pengganti cermin,
Yang menjadi bagian dalam dirinya,
Sehingga hatinya pengukur kedewasaan,
Bukan lidahnya yang berbicara
Hanya sebongkah kertas, bila itu tiada, ia kesepian dan menderita
Kini ia mencari kertas-kertas lain yang tak berwarna,
Agar ia kembali berceritera tentang bulan, bintang, dan galaksi,
Dijagad raya.
Batusangkar, 2009
Suatu Masa
Sebatang pohon, berdiri tegak diantara rerimbunan pohon,
Diantara padang rumput savana,
Akarnya menikam kebumi, daun dan batangnya menjadi penopang,
Bagi burung pipit yang bersarang,
Dahannya menjulang hingga ke langit,
Menghirup segarnya mentari,
Suatu masa, ia datangi serombongan pipit,
Saling bercengkrama, dan di saat dekat penghujung masa,
Ia tetap berdiri, diam, tanpa hembusan angin,
Yang menyejukkan jiwa, kini ia berdiri terpaku,
Tanpa nyanyian pipit senja,
BEM KM, 2009 (For Bemers Friendship)
Negeri Kemunafikan
Ketika wahana angkasa membaur bersama alam, tak pelak surya bersinar menggengam pertiwi yang yakin akan aroma indahnya paparan hutan hijau berselimutkan udara tipis melukis awan beserta anginnya.
Ketika semua hampa tanpa ada sekat yang memisahkan gulungan-gulungan perkamen rahasia, kemudian bercampur dengan hiruk pikuk kebingaran serta keganasan waktu memakan hierarki kehidupan. Sisi-sisi itu kemudian di lepas menerawang jalan kelam tak bercahaya sampai pada batas dimana semuanya tak ada lagi sekat, semuanya sama…..
Berkaca sebelumnya, cermin lah tempat memantulkan kejujuran paras kenistaan, mata, telinga serta hidung. Ketika itu semua indra menjadi bisu kecuali satu… Perasaan, yang coba menipu semuanya dengan segala tindakan yang mencoba menafikkan ukuran kebenaran yang ada. Mata boleh saja tak melihat tapi bisa berbicara dalam keheningan. Telinga bisa saja tak mendengar, tapi mungkin saja melihat kenistaan. Hah...! hidung pun tahu ketika bau-bau dusta mulai merambat dari sisi terbawah menjulang keatas hingga semuanya berada di jurang-jurang kemunafikan.
Hentikan saja semua ini, sebelum sebuah wadah tak mampu lagi menampung semuanya… yah, kemunafikan hadir dalam sebuah pemikiran. Ingat saja semua ada batasnya, sehingga kita tak perlu lagi menjilati semua peluh yang mulai bercucuran hingga peluh pun berganti darah.
Negeri angan-angan pun yang berasal dari buah bibir kemunafikan pasti sirna. Ingat… kita ini sudah sakit, seharusnya kita berada dalam ruang yang steril, yah setidaknya kita bisa berada jauh dari semua kebablasan ini. Jangan malah membuat semuanya seperti lukisan abstrak yang semuanya tergantung dari masing-masing interpretasi pikiran individual, yang hanya ingat ketika dirinya tertusuk duri, lalu membuang duri tersebut tanpa memperingatkan saudaranya keberadaan duri tersebut.
Ocehan ini tak mampu membuat sebuah dunia menjadi bulat, namun jika saja suara-suara terdengar lantang, maka tempatku berpijak pun tak akan ada jejak untuk kau ikuti.
-Tomi A-
Ketika semua hampa tanpa ada sekat yang memisahkan gulungan-gulungan perkamen rahasia, kemudian bercampur dengan hiruk pikuk kebingaran serta keganasan waktu memakan hierarki kehidupan. Sisi-sisi itu kemudian di lepas menerawang jalan kelam tak bercahaya sampai pada batas dimana semuanya tak ada lagi sekat, semuanya sama…..
Berkaca sebelumnya, cermin lah tempat memantulkan kejujuran paras kenistaan, mata, telinga serta hidung. Ketika itu semua indra menjadi bisu kecuali satu… Perasaan, yang coba menipu semuanya dengan segala tindakan yang mencoba menafikkan ukuran kebenaran yang ada. Mata boleh saja tak melihat tapi bisa berbicara dalam keheningan. Telinga bisa saja tak mendengar, tapi mungkin saja melihat kenistaan. Hah...! hidung pun tahu ketika bau-bau dusta mulai merambat dari sisi terbawah menjulang keatas hingga semuanya berada di jurang-jurang kemunafikan.
Hentikan saja semua ini, sebelum sebuah wadah tak mampu lagi menampung semuanya… yah, kemunafikan hadir dalam sebuah pemikiran. Ingat saja semua ada batasnya, sehingga kita tak perlu lagi menjilati semua peluh yang mulai bercucuran hingga peluh pun berganti darah.
Negeri angan-angan pun yang berasal dari buah bibir kemunafikan pasti sirna. Ingat… kita ini sudah sakit, seharusnya kita berada dalam ruang yang steril, yah setidaknya kita bisa berada jauh dari semua kebablasan ini. Jangan malah membuat semuanya seperti lukisan abstrak yang semuanya tergantung dari masing-masing interpretasi pikiran individual, yang hanya ingat ketika dirinya tertusuk duri, lalu membuang duri tersebut tanpa memperingatkan saudaranya keberadaan duri tersebut.
Ocehan ini tak mampu membuat sebuah dunia menjadi bulat, namun jika saja suara-suara terdengar lantang, maka tempatku berpijak pun tak akan ada jejak untuk kau ikuti.
-Tomi A-
Rabu, 15 April 2009
Mass Narcism
Mass narcism yang dimaksud disini secara harfiah dapat diartikan sebagai narsisme massal. Bentuk pelacuran terselubung, yang parahnya menjangkiti orang-orang yang seharusnya menjadi panutan, atau lebih tepatnya akan menjadi panutan. Tanggal 9 April kemarin adalah hari besarnya masyarakat indonesia yang terjadi hanya 5 tahun sekali. Dengan adanya kebijakan baru dalam sistem pemilihan umum di indonesia, akhirnya setiap orang yang merasa mempunyai bakat, ide, kemampuan dan keinginan untuk menjadi wakil rakyat pun berlomba-lomba mencalonkan diri menjadi caleg a.k.a calon legislatif a.k.a calon wakil rakyat.
Pencalonan bebas dengan syarat tertentu pastinya menarik minat banyak orang dari segala golongan untuk ikut mencalonkan diri. Mulai dari kader partai tertentu hingga masyarakat umum seperti pengusaha, pegawai negeri, guru, abdi masyarakat hingga orang yang tergolong kepada masyarakat biasa. Dengan keberadaan orang-orang tersebut, maka mereka pun tentunya memerlukan wadah untuk mengapresiasikan diri sebagai jalan untuk memperkenalkan diri mereka kepada masyarakat. Karena jika tidak, siapa yang akan memilih mereka nantinya? Kalau tidak dikenal, sama saja bunuh diri namanya.
Dengan keadaan seperti itulah poster-poster, baliho, stiker dan kartu nama dilempar ke masyarakat. Foto para caleg dibuat sebagus mungkin, jika perlu diberi finishing touch editan teknologi mutakhir. Senyum manis dipasang, dan kalau perlu diberi embel-embel anak si anu dengan suami si anu yang merupakan keturunan langsung si anu. Ah,, capek bacanya.. bingung juga, sekolahan mana ya yang bisa memberikan gelar segitu panjang?! Sedangkan laki-laki Minang saja harus melalui proses yang panjang untuk dapat menikmati gelar Sutan Rajo Sati.
Memang keberadaan gambar-gambar para caleg ini terkadang memberi sedikit hiburan saat dilihat karena saking kreatifnya, walaupun senyuman yang keluar kadangkala posisinya jadi sedikit miring. Terlihat jelas siapa yang memang fotogenik, yang berfoto hanya untuk keperluan membuat KTP saja, dan siapa yang menyengajakan berfoto hanya untuk tujuan kampanye. Sisi narsis yang terlihat adalah pose, posisi incaran di pemerintahan, embel-embel nggak penting (anak si anu, istri pejabat anu, cucu tokoh masyarakat anu –red). Sementara visi dan misi mereka menjadi tidak penting karena hanya sekedar menjadi penghias pojokan poster,, yang baru akan jelas terlihat jika sudah dalam bentuk baliho berukuran sekian puluh meter.
Sudah jelas sekali para caleg ini merasa perlu menambahkan embel-embel keluarga kaena mereka merasa jika tidak dijelaskan seperti itu maka masyarakat tidak akan mengenal siapa mereka. Palingan tukang sayur langganan atau teman dan kolega saja. Lucunya, jika para caleg ini sudah menyaadri dari awal bahwa tidak semua masyarakat mengenal mereka, dari manakah datangnya keberanian sebegitu besar untuk maju dan mencalonkan diri. Atau sebegitu besarnya kah kepercayaan diri mereka hingga tidak ambil pusing masyarakat mengenal mereka atau tidak? Yang pasti promosi habis-habisan, pamer senyum manis dan berdoa semoga banyak yang memilih karena wajah dan nama mereka kadung lekat dalam ingatan masyarakat.
Belum lagi seorang caleg yang menurut saia sangat berani mati dalam pencalonan kali ini. Setelah sempat didakwa atas kasus korupsi beberapa tahun silam, tokoh ini kembali muncul kepermukaan dengan niatan pencalonan diri sebagai anggota perwakilan rakyat di Jakarta. Saia pikir, apakah calon ini menyangka masyarakat akan sebegitu bodohnya dengan kembali memilih orang yang pernah tersandung perkara korupsi? Memang pada akhir kasusnya, pencatutan dana daerah menjadi bentuk kompensasi pribadi yang besarnya mencapai puluhan juta rupiah perbulannya dianggap masuk akal! Mau belanja Prada dua hari sekali bu’? Walaupun ahirnya dibebaskan dari tuduhan karena alasan yang sangatlah masuk akal ini, saia yakin masyarakat akan mempertimbangkan lebih jauh untu memilih.
Lalu bagaimanakah dengan pentingnya visi dan misi para caleg? Toh, seberapapun besarnya ketulusan niat para caleg dalam berjanji, masyarakat tetap butuh iming-iming. Itu adalah persoalan yang sudah tidak bisa dipungkiri. Apakah masyarakat sudah terlanjur puas hanya dengan menatap senyum para caleg?
Persoalan lain yang tingkatnya lebih besar adalah pemilihan Presiden mendatang. Mulai dari saat ini entah sampai kapan, para tokoh penting negeri ini sudah merancang-rancang pencalonan diri sebagai presiden di pemilu mendatang. Bahkan dengan gagah berani menjatuhkan pihak yang dianggap lawan sekeras mungkin. Tanpa malu menjelek-jelekkan pihak lain dan mendewakan diri sendiri. Sementara pihak yang merasa sebagai korban pelecehan publik itu sendiri sebisa mungkin menangkis cercaan dan mempertahankan profil dengan memberikan pernyataan balasan sebisa mungkin.
Sebegitu menggiurkannya kah kursi presiden itu? Sampai-sampai sebuah tokoh partai berbendera merah hitam yang pada awalnya menentang keras sebuah kebijakan pemerintah yang kontak langsung dengan masyarakat kemudian berbalik arah mendukung kebijakan tersebut dan menjadikannya sebagai slogan dalam promosi partai setelah para kadernya turun sendiri ke lapangan dan melihat betapa masyarakat ternyata sangat menghargai dan menantikan hasil kebijakan tersebut karena bagi mereka terlihat lebih nyata dan terasa manfaatnya. Benar-benar suatu aksi bunuh diri politik dan sosial secara sadar yang mungkin bukannya menaikkan pamor mereka malah membuat masyarakat semakin jijik dan anti kepada mereka.
Seorang “tokoh” yang tidak mau disebut begitu pernah menyatakan bahwa “daripada berjanji, lebih baik berniat”. Diluar ketulusan niat itu sendiri, masyarakat memang membutuhkan sesuatu yang sifatnya tidak bertele-tele. Tapi kehidupan masyarakat yang masih morat marit menjadikan masyarakat seperti berlagak buta-tuli-bisu dan akhirnya menjatuhkan pilihan kepada calon yang dengan janji-janjinya dianggap dapat mencerahkan kehidupan kelak. Apakah sebentuk foto dan nama bertuan yang bergelimpangan dipinggir jalan dan diseantero wilayah kota benar-benar dapat memikat hati masyarakat?
_Mira_
Pencalonan bebas dengan syarat tertentu pastinya menarik minat banyak orang dari segala golongan untuk ikut mencalonkan diri. Mulai dari kader partai tertentu hingga masyarakat umum seperti pengusaha, pegawai negeri, guru, abdi masyarakat hingga orang yang tergolong kepada masyarakat biasa. Dengan keberadaan orang-orang tersebut, maka mereka pun tentunya memerlukan wadah untuk mengapresiasikan diri sebagai jalan untuk memperkenalkan diri mereka kepada masyarakat. Karena jika tidak, siapa yang akan memilih mereka nantinya? Kalau tidak dikenal, sama saja bunuh diri namanya.
Dengan keadaan seperti itulah poster-poster, baliho, stiker dan kartu nama dilempar ke masyarakat. Foto para caleg dibuat sebagus mungkin, jika perlu diberi finishing touch editan teknologi mutakhir. Senyum manis dipasang, dan kalau perlu diberi embel-embel anak si anu dengan suami si anu yang merupakan keturunan langsung si anu. Ah,, capek bacanya.. bingung juga, sekolahan mana ya yang bisa memberikan gelar segitu panjang?! Sedangkan laki-laki Minang saja harus melalui proses yang panjang untuk dapat menikmati gelar Sutan Rajo Sati.
Memang keberadaan gambar-gambar para caleg ini terkadang memberi sedikit hiburan saat dilihat karena saking kreatifnya, walaupun senyuman yang keluar kadangkala posisinya jadi sedikit miring. Terlihat jelas siapa yang memang fotogenik, yang berfoto hanya untuk keperluan membuat KTP saja, dan siapa yang menyengajakan berfoto hanya untuk tujuan kampanye. Sisi narsis yang terlihat adalah pose, posisi incaran di pemerintahan, embel-embel nggak penting (anak si anu, istri pejabat anu, cucu tokoh masyarakat anu –red). Sementara visi dan misi mereka menjadi tidak penting karena hanya sekedar menjadi penghias pojokan poster,, yang baru akan jelas terlihat jika sudah dalam bentuk baliho berukuran sekian puluh meter.
Sudah jelas sekali para caleg ini merasa perlu menambahkan embel-embel keluarga kaena mereka merasa jika tidak dijelaskan seperti itu maka masyarakat tidak akan mengenal siapa mereka. Palingan tukang sayur langganan atau teman dan kolega saja. Lucunya, jika para caleg ini sudah menyaadri dari awal bahwa tidak semua masyarakat mengenal mereka, dari manakah datangnya keberanian sebegitu besar untuk maju dan mencalonkan diri. Atau sebegitu besarnya kah kepercayaan diri mereka hingga tidak ambil pusing masyarakat mengenal mereka atau tidak? Yang pasti promosi habis-habisan, pamer senyum manis dan berdoa semoga banyak yang memilih karena wajah dan nama mereka kadung lekat dalam ingatan masyarakat.
Belum lagi seorang caleg yang menurut saia sangat berani mati dalam pencalonan kali ini. Setelah sempat didakwa atas kasus korupsi beberapa tahun silam, tokoh ini kembali muncul kepermukaan dengan niatan pencalonan diri sebagai anggota perwakilan rakyat di Jakarta. Saia pikir, apakah calon ini menyangka masyarakat akan sebegitu bodohnya dengan kembali memilih orang yang pernah tersandung perkara korupsi? Memang pada akhir kasusnya, pencatutan dana daerah menjadi bentuk kompensasi pribadi yang besarnya mencapai puluhan juta rupiah perbulannya dianggap masuk akal! Mau belanja Prada dua hari sekali bu’? Walaupun ahirnya dibebaskan dari tuduhan karena alasan yang sangatlah masuk akal ini, saia yakin masyarakat akan mempertimbangkan lebih jauh untu memilih.
Lalu bagaimanakah dengan pentingnya visi dan misi para caleg? Toh, seberapapun besarnya ketulusan niat para caleg dalam berjanji, masyarakat tetap butuh iming-iming. Itu adalah persoalan yang sudah tidak bisa dipungkiri. Apakah masyarakat sudah terlanjur puas hanya dengan menatap senyum para caleg?
Persoalan lain yang tingkatnya lebih besar adalah pemilihan Presiden mendatang. Mulai dari saat ini entah sampai kapan, para tokoh penting negeri ini sudah merancang-rancang pencalonan diri sebagai presiden di pemilu mendatang. Bahkan dengan gagah berani menjatuhkan pihak yang dianggap lawan sekeras mungkin. Tanpa malu menjelek-jelekkan pihak lain dan mendewakan diri sendiri. Sementara pihak yang merasa sebagai korban pelecehan publik itu sendiri sebisa mungkin menangkis cercaan dan mempertahankan profil dengan memberikan pernyataan balasan sebisa mungkin.
Sebegitu menggiurkannya kah kursi presiden itu? Sampai-sampai sebuah tokoh partai berbendera merah hitam yang pada awalnya menentang keras sebuah kebijakan pemerintah yang kontak langsung dengan masyarakat kemudian berbalik arah mendukung kebijakan tersebut dan menjadikannya sebagai slogan dalam promosi partai setelah para kadernya turun sendiri ke lapangan dan melihat betapa masyarakat ternyata sangat menghargai dan menantikan hasil kebijakan tersebut karena bagi mereka terlihat lebih nyata dan terasa manfaatnya. Benar-benar suatu aksi bunuh diri politik dan sosial secara sadar yang mungkin bukannya menaikkan pamor mereka malah membuat masyarakat semakin jijik dan anti kepada mereka.
Seorang “tokoh” yang tidak mau disebut begitu pernah menyatakan bahwa “daripada berjanji, lebih baik berniat”. Diluar ketulusan niat itu sendiri, masyarakat memang membutuhkan sesuatu yang sifatnya tidak bertele-tele. Tapi kehidupan masyarakat yang masih morat marit menjadikan masyarakat seperti berlagak buta-tuli-bisu dan akhirnya menjatuhkan pilihan kepada calon yang dengan janji-janjinya dianggap dapat mencerahkan kehidupan kelak. Apakah sebentuk foto dan nama bertuan yang bergelimpangan dipinggir jalan dan diseantero wilayah kota benar-benar dapat memikat hati masyarakat?
_Mira_
Label:
caleg edan,
cerita-cerita,
iklan,
mira,
narsisme massal,
Opini,
pemilu
"Panji"
Negeriku, negeri seribu panji
Tanah yang lebur oleh lembar-lembar wajah
Wajah lapar,wajah yang gamang dan wajah yang mati
Diantara rumah yang teduh dan sepatu yang mengkilap
Tanahku, tanah seribu panji
Tandus berdebu di dalam saku lencana pada lemari kaca
Yang dipintal dari lelah dan putus asa juga setumpuk dusta
Seribu panjiku menganga dalam semangkuk penuh roti basi
-Pinyu-
Tanah yang lebur oleh lembar-lembar wajah
Wajah lapar,wajah yang gamang dan wajah yang mati
Diantara rumah yang teduh dan sepatu yang mengkilap
Tanahku, tanah seribu panji
Tandus berdebu di dalam saku lencana pada lemari kaca
Yang dipintal dari lelah dan putus asa juga setumpuk dusta
Seribu panjiku menganga dalam semangkuk penuh roti basi
-Pinyu-
"Jendela"
Agaknya jarak ini kian jauh saja
Pakaian yang bergelantungan dan aroma kamar itu
Baunya masih begitu pekat
Rambat bersama rintik hujan dan debu-debu
Aku menangkapnya tepat pada sebuah jendela
Jendela kecil ,rahasia, di belakang kepalamu
Aku menyusuri padang ilalang dan kupu yang malas di sana
Dedaunan kering dan musim gugur di ranjangmu
Jangan kau tutup jendela itu, ya!
Nanti, kali aku tersasar dan tak ada pintu untuk diketuk
Kau mungkin akan temukan awan yang berliku-liku kering
Tepat di berandamu oleh musim yang berbeda
***
-Pinyu-
Pakaian yang bergelantungan dan aroma kamar itu
Baunya masih begitu pekat
Rambat bersama rintik hujan dan debu-debu
Aku menangkapnya tepat pada sebuah jendela
Jendela kecil ,rahasia, di belakang kepalamu
Aku menyusuri padang ilalang dan kupu yang malas di sana
Dedaunan kering dan musim gugur di ranjangmu
Jangan kau tutup jendela itu, ya!
Nanti, kali aku tersasar dan tak ada pintu untuk diketuk
Kau mungkin akan temukan awan yang berliku-liku kering
Tepat di berandamu oleh musim yang berbeda
***
-Pinyu-
"Terlentang"
Nyiang tanya beriak disana
Di sebuah pojokan di balik buram kaca
Aku terdampar pada peta wajah buta
Sesumbar teriakku memekak
Kutemukan kau di sela jemariku
Dimana Wajah kuyumu melukis sendiri
Tak kutemui kecuali nyeri perih
Jejak jejak mati apalagi bunga-bunga
Bingungku diseduh lama, kini
Kental beraroma hujan –dingin-
Ku rengkuh saja sekaliannya
Aku baur…
***
-Pinyu-
Di sebuah pojokan di balik buram kaca
Aku terdampar pada peta wajah buta
Sesumbar teriakku memekak
Kutemukan kau di sela jemariku
Dimana Wajah kuyumu melukis sendiri
Tak kutemui kecuali nyeri perih
Jejak jejak mati apalagi bunga-bunga
Bingungku diseduh lama, kini
Kental beraroma hujan –dingin-
Ku rengkuh saja sekaliannya
Aku baur…
***
-Pinyu-
Sabtu, 04 April 2009
Adat (tak) Basandi Syarak
Adat tak lakang dek paneh dan tak lapuak dek hujan...
Demikian tingginya masyarakat Minangkabau menjunjung falsafah yang satu ini. Hal ini tergambar dari cerpen karya Khairul Jasmi berjudul Sengketa Mayat yang terbit di Majalah Sastra Horizon edisi April 2005. Cerpen ini berkisah tentang kematian seorang panghulu yang disegani oleh kaumnya di suatu daerah di Minangkabau. Panghulu yang bergelar Datuak Kulipat Alam ini menjalankan perannya dengan mengacu pada pepatah Anak dipangku, Kamanakan dibimbiang tanpa cela sehingga kematiannya pun diperebutkan oleh kaum dan keluarganya. Sebenarnya tidak ada yang salah dari kematian panghulu ini, namun kekangan adat lah yang menjadikan kematian sang datuk sebagai buah bibir masyarakat di kampungnya.
Permasalahannya dimulai ketika kaum suku Chaniago, kaum yang dipimpim oleh Datuak Kulipat Alam, membicarakan tentang prosesi dan tempat penguburan panghulu mereka yang menurut adat Minangkabau harus kembali kepada kaumnya. Sayang aturan ini tidak bisa diterima begitu saja oleh anak dan istri sang datuk karena bagi mereka datuk juga merupakan kepala keluarga ideal yang selalu memperhatikan keluarga disamping kaumnya. Datuk benar-benar dapat membagi dirinya menjadi dua pribadi yang seimbang baik bagi anak istri maupun bagi anak kemenakanya. Untuk itu pihak keluarga juga meminta agar ayah mereka dapat dikuburkan di samping rumah tempat mereka berbagi kasih. Mendengar permintaan dari keluarga datuk yang disampaikan oleh anak sulungnya Nuraini, Karidin Sutan Batuah – kemenakan sekaligus pengganti datuk- menolak dengan cara berlindung dibalik adat yang telah berlaku di Minangkabau. Menurutnya, seorang yang meninggal di Minangkabau harus kembali kepada kaumnya dan dengan alasan itulah kaum Datuak Kulipat Alam yakin untuk menggali kuburan di dekat rumah gadang mereka sebagai tempat peristirahatan terakhir sang panghulu. Keadaan meruncing ketika pihak keluarga juga menyiapkan liang lahat untuk ayah mereka di samping rumah yang mereka tinggali bersama. Adanya dua liang untuk satu mayat membuat rusuh orang-orang kampung. Masyarakat mereka-reka apa kesalahan dan dosa datuk ini sehingga ada dua tanah yang menganga untuk tempati tubuh kakunya. Penyelesaian tak kunjung datang meskipun telah duduk para tetua kampung yang bijaksana dan menguasai seluk beluk adat serta pekara agama sangatlah mereka paham, bagaikan dua anak sungai yang mengalir berdampingan dalam pembuluh darah masing-masingnya. Sehingga pada puncaknya anak sulung datuk menyiapkan ’tungku’ untuk membakar sang ayah karena jasadnya tidak diterima tanah. Tidak ada satu orang pun yang mau menyelenggarakan jenazah ayahnya karena perkara ’rumah baru’ datuk yang belum jelas galiannya. Ocehan orang-orang sekitar pun bertambah deras sampai mengundang seorang dubalang kampung yang perkataannya menjadi keputusan final bagi si mayat. Kuriak sang dubalang menegaskan bahwa jenazah datuk menjadi hak keluarga bukan kaumnya. Tidak ada satu pemuka adat maupun orang siak yang dapat mengambil keputusan sebaik keputusan yang dibuat oleh Kuriak si Dubalang Parik Paga, seorang dubalang tak beradat dan agama pun asing baginya.
Kilasan cerpen diatas merupakan gambaran kehidupan adat masyarakat Minangkabau yang konon memegang teguh falsafah ’Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah’. Jika memang benar agama adalah pondasi adat, maka mengenai hal ini agama mengatakan bahwa jika ada seseorang yang meninggal dalam sebuah kaum hendaklah menyegerakan penyelenggaraan jenazahnya. Cerpen karya Khairul Jasmi, jelaslah terbaca bahwa adat tidak lagi mengikuti syariat agama tetapi malah agama yang harus mengekor pada adat yang dipercaya tumbuh subur dari zaman nenek moyang dahulu. Sungguh kasihan nenek moyang kita yang selalu menjadi kambing hitam oleh anak cucunya yang dengan naif berlindung dibalik falsafah ini. Nenek moyang telah dianggap lebih unggul dibandingkan Tuhan dalam perkara menciptakan keteraturan dalam tatanan masyarakat kita, sehingga tradisi yang diwarisi oleh orang tua-tua dahulu mengalahi hukum Tuhan pencipta mereka. Mungkin memang benar pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari, bahwasannya Tuhan yang memberikan ilmu kepada manusia telah menjadikan manusia unggul dalam membuat aturan bagi diri mereka sendiri dan tidak lagi menganggap hukum Tuhan sebagai acuan hidup. Tidak salah sebenarnya jika kita mengadaptasi aturan yang dibuat oleh orang terdahulu, namun kembali pada pertanyaan apakah aturan tersebut telah sesuai dengan yang seharusnya (agama)? Apakah aturan tersebut tepat dengan gambaran yang dicanangkan oleh perumusnya?
Tanpa bermaksud mengurui namun hanya kembali mengingatkan bahwasannya setiap orang yang ada di bumi adalah kepunyaan Sang Pencipta. Tidak ada haknya suatu kaum terhadap seorang lainnya meskipun ia adalah pemimpin diantara mereka. Jika adat menegaskan bahwa jenazah Datuak Kulipat Alam merupakan hak kaumnya maka telah salahlah kaum tersebut berpijak. Karena dari penuturan cerpen ini, penyelenggaraan jenazah menjadi terlambat hanya karena orang-orang beradat sibuk berdebat mengenai tradisi yang membelenggu mereka yang justru memaksa Nuraini untuk bertindak tak sesuai adat dan norma. Filsafat yang terdapat diawal tulisan ini mencerminkan bahwasanya adat sangatlah kuat dan tak tergoyahkan meski panas maupun hujan melanda negeri. Tidak heran jika agama pun tak mampu menggiring adat karena tak ada kekuatan alam yang menandinginya dalam hal mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Permasalahan yang timbul dan pesan moral yang ingin dihantarkan penulis adalah bahwa sesungguhnya masyarakat kita telah salah menjunjung adat. Mereka mengagungkan adat melebihi pondasi yang mengokohkan adat itu sendiri, yaitu agama. Seorang panghulu yang bijaksana dan seorang ayah yang penyayang ’dibenci’ oleh Tuhan hingga penguburannya memicu kerusuhan diantara dua pihak yang ia perlakukan dengan adil. Inikah balasan untuk sikap adil dan bijaksana sang datuk? Adakah balasan yang lebih perih bagi seseorang selain mati tak diterima tanah? Inikah makna ’terdalam’ dari adat yang basandi syarak?
-Audrey-
Demikian tingginya masyarakat Minangkabau menjunjung falsafah yang satu ini. Hal ini tergambar dari cerpen karya Khairul Jasmi berjudul Sengketa Mayat yang terbit di Majalah Sastra Horizon edisi April 2005. Cerpen ini berkisah tentang kematian seorang panghulu yang disegani oleh kaumnya di suatu daerah di Minangkabau. Panghulu yang bergelar Datuak Kulipat Alam ini menjalankan perannya dengan mengacu pada pepatah Anak dipangku, Kamanakan dibimbiang tanpa cela sehingga kematiannya pun diperebutkan oleh kaum dan keluarganya. Sebenarnya tidak ada yang salah dari kematian panghulu ini, namun kekangan adat lah yang menjadikan kematian sang datuk sebagai buah bibir masyarakat di kampungnya.
Permasalahannya dimulai ketika kaum suku Chaniago, kaum yang dipimpim oleh Datuak Kulipat Alam, membicarakan tentang prosesi dan tempat penguburan panghulu mereka yang menurut adat Minangkabau harus kembali kepada kaumnya. Sayang aturan ini tidak bisa diterima begitu saja oleh anak dan istri sang datuk karena bagi mereka datuk juga merupakan kepala keluarga ideal yang selalu memperhatikan keluarga disamping kaumnya. Datuk benar-benar dapat membagi dirinya menjadi dua pribadi yang seimbang baik bagi anak istri maupun bagi anak kemenakanya. Untuk itu pihak keluarga juga meminta agar ayah mereka dapat dikuburkan di samping rumah tempat mereka berbagi kasih. Mendengar permintaan dari keluarga datuk yang disampaikan oleh anak sulungnya Nuraini, Karidin Sutan Batuah – kemenakan sekaligus pengganti datuk- menolak dengan cara berlindung dibalik adat yang telah berlaku di Minangkabau. Menurutnya, seorang yang meninggal di Minangkabau harus kembali kepada kaumnya dan dengan alasan itulah kaum Datuak Kulipat Alam yakin untuk menggali kuburan di dekat rumah gadang mereka sebagai tempat peristirahatan terakhir sang panghulu. Keadaan meruncing ketika pihak keluarga juga menyiapkan liang lahat untuk ayah mereka di samping rumah yang mereka tinggali bersama. Adanya dua liang untuk satu mayat membuat rusuh orang-orang kampung. Masyarakat mereka-reka apa kesalahan dan dosa datuk ini sehingga ada dua tanah yang menganga untuk tempati tubuh kakunya. Penyelesaian tak kunjung datang meskipun telah duduk para tetua kampung yang bijaksana dan menguasai seluk beluk adat serta pekara agama sangatlah mereka paham, bagaikan dua anak sungai yang mengalir berdampingan dalam pembuluh darah masing-masingnya. Sehingga pada puncaknya anak sulung datuk menyiapkan ’tungku’ untuk membakar sang ayah karena jasadnya tidak diterima tanah. Tidak ada satu orang pun yang mau menyelenggarakan jenazah ayahnya karena perkara ’rumah baru’ datuk yang belum jelas galiannya. Ocehan orang-orang sekitar pun bertambah deras sampai mengundang seorang dubalang kampung yang perkataannya menjadi keputusan final bagi si mayat. Kuriak sang dubalang menegaskan bahwa jenazah datuk menjadi hak keluarga bukan kaumnya. Tidak ada satu pemuka adat maupun orang siak yang dapat mengambil keputusan sebaik keputusan yang dibuat oleh Kuriak si Dubalang Parik Paga, seorang dubalang tak beradat dan agama pun asing baginya.
Kilasan cerpen diatas merupakan gambaran kehidupan adat masyarakat Minangkabau yang konon memegang teguh falsafah ’Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah’. Jika memang benar agama adalah pondasi adat, maka mengenai hal ini agama mengatakan bahwa jika ada seseorang yang meninggal dalam sebuah kaum hendaklah menyegerakan penyelenggaraan jenazahnya. Cerpen karya Khairul Jasmi, jelaslah terbaca bahwa adat tidak lagi mengikuti syariat agama tetapi malah agama yang harus mengekor pada adat yang dipercaya tumbuh subur dari zaman nenek moyang dahulu. Sungguh kasihan nenek moyang kita yang selalu menjadi kambing hitam oleh anak cucunya yang dengan naif berlindung dibalik falsafah ini. Nenek moyang telah dianggap lebih unggul dibandingkan Tuhan dalam perkara menciptakan keteraturan dalam tatanan masyarakat kita, sehingga tradisi yang diwarisi oleh orang tua-tua dahulu mengalahi hukum Tuhan pencipta mereka. Mungkin memang benar pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari, bahwasannya Tuhan yang memberikan ilmu kepada manusia telah menjadikan manusia unggul dalam membuat aturan bagi diri mereka sendiri dan tidak lagi menganggap hukum Tuhan sebagai acuan hidup. Tidak salah sebenarnya jika kita mengadaptasi aturan yang dibuat oleh orang terdahulu, namun kembali pada pertanyaan apakah aturan tersebut telah sesuai dengan yang seharusnya (agama)? Apakah aturan tersebut tepat dengan gambaran yang dicanangkan oleh perumusnya?
Tanpa bermaksud mengurui namun hanya kembali mengingatkan bahwasannya setiap orang yang ada di bumi adalah kepunyaan Sang Pencipta. Tidak ada haknya suatu kaum terhadap seorang lainnya meskipun ia adalah pemimpin diantara mereka. Jika adat menegaskan bahwa jenazah Datuak Kulipat Alam merupakan hak kaumnya maka telah salahlah kaum tersebut berpijak. Karena dari penuturan cerpen ini, penyelenggaraan jenazah menjadi terlambat hanya karena orang-orang beradat sibuk berdebat mengenai tradisi yang membelenggu mereka yang justru memaksa Nuraini untuk bertindak tak sesuai adat dan norma. Filsafat yang terdapat diawal tulisan ini mencerminkan bahwasanya adat sangatlah kuat dan tak tergoyahkan meski panas maupun hujan melanda negeri. Tidak heran jika agama pun tak mampu menggiring adat karena tak ada kekuatan alam yang menandinginya dalam hal mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Permasalahan yang timbul dan pesan moral yang ingin dihantarkan penulis adalah bahwa sesungguhnya masyarakat kita telah salah menjunjung adat. Mereka mengagungkan adat melebihi pondasi yang mengokohkan adat itu sendiri, yaitu agama. Seorang panghulu yang bijaksana dan seorang ayah yang penyayang ’dibenci’ oleh Tuhan hingga penguburannya memicu kerusuhan diantara dua pihak yang ia perlakukan dengan adil. Inikah balasan untuk sikap adil dan bijaksana sang datuk? Adakah balasan yang lebih perih bagi seseorang selain mati tak diterima tanah? Inikah makna ’terdalam’ dari adat yang basandi syarak?
-Audrey-
"Hujan"
Akankah hujan membuatku bahagia seperti Phia?
Karena air langit itu membuatku teringat tentang dIa, tentang diA,
tentang dIA, tentang DIA, tentang Dia, tentang DiA, tentang DIa,
dan terutama tentang dia
Mengenangnya selalu membuatku tersenyum garing
Aku sendiri sulit mengartikan gerakan bibir ini
Terasa kering karna tersiram tumpahan air langit
Aku ingin ada petir yang menyambar agar semuanya kembali segar
Selalu
Duduk manis hingga petang bosan dan menghilang
Larut pun menyambung dengan tenang
Bercak pada celanaku terasa dingin
Seperti juga kulit hatiku yang terkena angin
Dulu hangat menyergap walau ia tak berhelai satu kain pun
Karena katanya hujan memerahkan dirinya yang tersipu
Tapi itu dulu
Baru beberapa menit lalu aku menyelami layar terang didepanku
Dan ya..hujan gagal membuatku selalu bahagia saat ia berebut mampir
Karena air langit itu membuatku teringat tentang dIa, tentang diA,
tentang dIA, tentang DIA, tentang Dia, tentang DiA, tentang DIa,
dan terutama tentang dia
Mengenangnya selalu membuatku tersenyum garing
Aku sendiri sulit mengartikan gerakan bibir ini
Terasa kering karna tersiram tumpahan air langit
Aku ingin ada petir yang menyambar agar semuanya kembali segar
Selalu
Duduk manis hingga petang bosan dan menghilang
Larut pun menyambung dengan tenang
Bercak pada celanaku terasa dingin
Seperti juga kulit hatiku yang terkena angin
Dulu hangat menyergap walau ia tak berhelai satu kain pun
Karena katanya hujan memerahkan dirinya yang tersipu
Tapi itu dulu
Baru beberapa menit lalu aku menyelami layar terang didepanku
Dan ya..hujan gagal membuatku selalu bahagia saat ia berebut mampir
"Aku Tak Bisa Memberi Judul Padanya"
Aku punya cerita yang tak beralur
tak bertokoh
tak bersetting
tak berjudul
tak bertema
tapi mengandung seribu makna dan menggetarkan sejuta rasa
Jika bicara tentang rasa
ada sisi lapuk yang mengeras
seiring butiran pasir turun dengan deras dari atas
Tak ada makna yang benar-benar terkuak dari sebuah jalinan
semua tersirat dengan tinta emas yang berujung tajam
Hanya yang buta yang dapat melihat
Hanya yang bisu yang bisa bicara
Bahkan pendengaran hanya milik yang tuli
Dan inilah yang aku sebut cerita
saat semua semua tokoh enggan untuk berperan
alur dan setting tak mau banyak membantu
tema pun menghilang saat tak ada teman
hanya makna dan rasa yang mau
tak bertokoh
tak bersetting
tak berjudul
tak bertema
tapi mengandung seribu makna dan menggetarkan sejuta rasa
Jika bicara tentang rasa
ada sisi lapuk yang mengeras
seiring butiran pasir turun dengan deras dari atas
Tak ada makna yang benar-benar terkuak dari sebuah jalinan
semua tersirat dengan tinta emas yang berujung tajam
Hanya yang buta yang dapat melihat
Hanya yang bisu yang bisa bicara
Bahkan pendengaran hanya milik yang tuli
Dan inilah yang aku sebut cerita
saat semua semua tokoh enggan untuk berperan
alur dan setting tak mau banyak membantu
tema pun menghilang saat tak ada teman
hanya makna dan rasa yang mau
SAYEMBARA ORANG SAKTI
Dulu ketika masih bocah, ayah kerap sekali menceritakan cerita mengenai kerajaan di tanah jawa. Cerita-cerita tentang sayembara-sayembara yang diadakan oleh para raja ketika mereka menghadapi suatu masalah. Lalu nantinya siapapun yang memenangkan sayembara tersebut-yang pastinya adalah orang-orang yang baik- akan diangkat menjadi menantu atau kerabat sang raja. Pokoknya jadi orang yang dekat-dekat dengan rajalah. Pasti senang ya jadi orang dekat sang raja. Makan cukup , pakaian cukup tempat tinggal nyaman. Segala kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya dapat terpenuhi.
Pada beberapa malam terakhir pada bulan ini ayah masih juga bercerita tentang sayembra dan raja-raja. Ceritanya bukan untukku, tetapi buat Layang adikku. Sekarang Layang masih kelas tiga sd. Tentunya aku bisa mendengar cerita ini karena Layang masih tidur sekamar denganku. Kata ayah sayembaranya kini berbeda dari yang biasanya. Sekarang yang ikut banyak. Jauh lebuh banyak. Ada yang masih muda, ada juga yang sudah tua renta, dan ada juga yang mereka bilang anak-anak. Mungkin yang ikut serta jadi banyak karena memang ada yang baru ikut, atau ada juga yang sudah pernah dan sekarang ikut lagi dan ada yang melanjutkan sepak terjang para pendahulu mereka. Ada juga beberapa yang dulunya satu perguruan sekarang ikut dalam kelompok yang beda-beda pula. Kali ini akan lebih sengit, tambah ayah. Kenapa yah? Layang bingung.. Sekarang yang ikut sayembara adalah orang-orang sakti. Orang-orang yang sudah bertapa lama lalu muncul lagi. Tidak hanya lelaki, perempuan juga. Tidak hanya mereka yang segar bugar tetapi mereka yang ada sedikit kekurangan juga ikut, tetapi yang penting mereka sakti lho.
Sayembara!!! sayembara!!! siapa mau ikut??? Siapa mau hidup enak??? dekat-dekat singgasana raja atau jadi raja sekalian. Kalau sekarang tidak penting anda orang baik atau tidak, yang penting bisa tidak, berbaik perangai dan bercantik-cantik mulut? Layang tertawa geli mendengar ayah teriakan ayah. Lalu bagaimana lagi yah? Sayembara sebentar lagi akan diadakan, tapi kali perarurannya beda. Bukan raja yang memutuskan siapa yang menang tetapi orang banyak. Mendengar hal itu para peserta sayembara mengerahkan segala tenaga dan usaha. Dengan kesaktian yang mereka miliki mereka menjelma menjadi sosok-sosok raksasa. Ada yang jadi hewan raksasa, ada yang jadi tumbuhan-tumbuhan besar dan tidak sedikit juga yang berubah jadi bulan atau bintang yang berpijar siang dan malam. Dengan bentuk dalam ukuran besar itu mereka menawarkan segala jenis panganan dan segala macam manisan kepada orang banyak.ada juga yang mau memberi cahaya dalam kelam, biar orang banyak tidak tidur dalam dingin dan gelap-gelapan. Mereka juga bisa memperbanyak diri. Mereka yang telah menjadi banyak itu menyebar keseantero negeri. Lalu dengan sihir yang maha sakti mereka membacakan mantra-mantra pengantar tidur pada tiap-tiap pintu di rumah yang mereka lewati. Setelah terbuai lalu tertidur dan kemudian bangun lagi, orang banyak itu berprilaku aneh. Mereka datang berbondong lalu menyembah-nyembah pada hewan, pepohonan besar juga tetumbuhan dan juga pada bulan dan bintang itu. Lalu siapa yang menang sayembara ayah? potong Layang. Itulah nak, tidak seorang pun yang tau siapa yang menang. Sampai saat ini mereka masih saja saling mengadu ‘kesaktian’. Mereka masih suka menjelma dan berubah-ubah bentuk, ada juga yang bercampur-baur. Separuh tubuhnya hewan, separaruhnya lagi tumbuhan, sakti kan! Mereka masih saja memperbanyak diri dan membacakan mantra di seantero negeri. Ya,,,makin banyak pula orang-orang yang terbuai dan tidur dalam mimpi, setelah sekian lama. lalu negeri itu jadi negeri tidur yang kemudian mati. Begitu ceritanya Yang....
Pinyu.
Pada beberapa malam terakhir pada bulan ini ayah masih juga bercerita tentang sayembra dan raja-raja. Ceritanya bukan untukku, tetapi buat Layang adikku. Sekarang Layang masih kelas tiga sd. Tentunya aku bisa mendengar cerita ini karena Layang masih tidur sekamar denganku. Kata ayah sayembaranya kini berbeda dari yang biasanya. Sekarang yang ikut banyak. Jauh lebuh banyak. Ada yang masih muda, ada juga yang sudah tua renta, dan ada juga yang mereka bilang anak-anak. Mungkin yang ikut serta jadi banyak karena memang ada yang baru ikut, atau ada juga yang sudah pernah dan sekarang ikut lagi dan ada yang melanjutkan sepak terjang para pendahulu mereka. Ada juga beberapa yang dulunya satu perguruan sekarang ikut dalam kelompok yang beda-beda pula. Kali ini akan lebih sengit, tambah ayah. Kenapa yah? Layang bingung.. Sekarang yang ikut sayembara adalah orang-orang sakti. Orang-orang yang sudah bertapa lama lalu muncul lagi. Tidak hanya lelaki, perempuan juga. Tidak hanya mereka yang segar bugar tetapi mereka yang ada sedikit kekurangan juga ikut, tetapi yang penting mereka sakti lho.
Sayembara!!! sayembara!!! siapa mau ikut??? Siapa mau hidup enak??? dekat-dekat singgasana raja atau jadi raja sekalian. Kalau sekarang tidak penting anda orang baik atau tidak, yang penting bisa tidak, berbaik perangai dan bercantik-cantik mulut? Layang tertawa geli mendengar ayah teriakan ayah. Lalu bagaimana lagi yah? Sayembara sebentar lagi akan diadakan, tapi kali perarurannya beda. Bukan raja yang memutuskan siapa yang menang tetapi orang banyak. Mendengar hal itu para peserta sayembara mengerahkan segala tenaga dan usaha. Dengan kesaktian yang mereka miliki mereka menjelma menjadi sosok-sosok raksasa. Ada yang jadi hewan raksasa, ada yang jadi tumbuhan-tumbuhan besar dan tidak sedikit juga yang berubah jadi bulan atau bintang yang berpijar siang dan malam. Dengan bentuk dalam ukuran besar itu mereka menawarkan segala jenis panganan dan segala macam manisan kepada orang banyak.ada juga yang mau memberi cahaya dalam kelam, biar orang banyak tidak tidur dalam dingin dan gelap-gelapan. Mereka juga bisa memperbanyak diri. Mereka yang telah menjadi banyak itu menyebar keseantero negeri. Lalu dengan sihir yang maha sakti mereka membacakan mantra-mantra pengantar tidur pada tiap-tiap pintu di rumah yang mereka lewati. Setelah terbuai lalu tertidur dan kemudian bangun lagi, orang banyak itu berprilaku aneh. Mereka datang berbondong lalu menyembah-nyembah pada hewan, pepohonan besar juga tetumbuhan dan juga pada bulan dan bintang itu. Lalu siapa yang menang sayembara ayah? potong Layang. Itulah nak, tidak seorang pun yang tau siapa yang menang. Sampai saat ini mereka masih saja saling mengadu ‘kesaktian’. Mereka masih suka menjelma dan berubah-ubah bentuk, ada juga yang bercampur-baur. Separuh tubuhnya hewan, separaruhnya lagi tumbuhan, sakti kan! Mereka masih saja memperbanyak diri dan membacakan mantra di seantero negeri. Ya,,,makin banyak pula orang-orang yang terbuai dan tidur dalam mimpi, setelah sekian lama. lalu negeri itu jadi negeri tidur yang kemudian mati. Begitu ceritanya Yang....
Pinyu.
Kamis, 02 April 2009
Spekulasi Ami
1 april 2009
08:40 pm
Pertemuan sesaatku dengan Ami tadi siang, setelah hampir dua tahun tak lagi kulihat
tabir parasnya yang kata orang-orang sudah tak lagi meng(k)empompong, membuat semacam kecamuk kembali di benak dan hatiku, hingga akhirnya, sebagai pelampiasan eskapis, kuputuskan saja untuk sedikit berspekulasi. Tanpa bermaksud mengenyampingkan perasaannya yang di mataku masih terpalung kelam, yang belum bisa kutemu seperti apa rupa dasarnya, namun, hal ini semata terlebih karena Amiku(kalau saja dia memperbolehkanku untuk disebut begitu) sendirilah, yang berkata lewat raut bahasa tubuhnya yang mungkin masih terlalu gamang untuk kuanalogikan.
Sebelumnya aku haturkan maaf sebisanya pada siapa saja, termasuk Ami sendiri, yang miliki interpretasi berbeda dalam membaca arah dan tujuan catatan harian kecil ini. Perlu kutekankan bahwa, “masalah” ini hanya ada antara aku, dan riak-riak kecamukku sendiri yang telah kusebut di atas. Ami tak bertanggung jawab sedikitpun dalam hal ini, kecuali hanya keberadaannya saja yang sempat singgah sejenak dalam berkarung-karung hari yang masing-masing kami sedang jalani. Sejenak yang anehnya sampai detik ini kurasa.
Baiklah, kita mulai saja spekulasi ini dengan sebuah puisi karya GAIUS VALERIUS CATULUS, Roma 84-54 SM. RR, begini kira-kira saduran kasarnya :
Kau, hidupku, berjanjilah, makna cinta
Di antara kita bernilai pasti dan abadi
Dewa-dewi Agung, bujuk dia bicara kebenaran
Dan mengucap TULUS dari lubuk hati terdalam
Agar sepanjang masa mampu kami lanjutkan
Tanpa jeda ikrar persahabatan
(dikutip dari ‘What about Leonardo’ karya Evald Flisar)
Hampir dua tahun lalu, aku sempat tawarkan segulung benang rasa aneka warna yang dalam anggapan idealku kala itu, akan tertentukan juga akhir kesepakatan kami bersama untuk mulai memintalnya menjadi sehelai selimut hangat yang akan kupersembahkan untuk Ami nantinya.
Namun Ami berkata lain, dia bilang kalau bekerja denganku, dia tak bersedia! Diberinya aku alasan manusiawi, kalau aku sudah dianggap kakak angkatnya atau mungkin sahabatnya sajalah. Dikarenakan oleh empati rasa sayang, ia tak ingin aku terluka karena jarum-jarum kematerian dan prasyarat-prasyarat fana seketika darinya, yang sebenarnya dapat kulihat menggelayut kelam di kedua kelopak matanya.
Kemudian, walaupun dengan berat hati, tanpa kuminta dia tuk katakan seperti apa alasannya bilang aku seperti itu(hanya sebagai saudara atau sahabat), setelah DUA kali saja kumohonkan, aku kembali ke rumah dengan penyertaan gerimis yang menolongku senja itu. Ah, aku jadi teringat sekelabat kalimat shout-out Friendster seorang teman yang dia tulis begini : “I like walking in the rain, because nobody can see me crying.” Dan sebersyukurnya itulah aku atas gerimis yang menyamarkan titik sedikit air mataku, agar orang-orang, terlebih lagi Ibu yang nanti akan bilang aku ini lelaki cengeng yang terlalu mudah menangis. “Kau belum coba semampumu, dengan kenyataan sekelumit itu saja kau telah menyerah! Kau bukan anakku kalau kau mudah terpatah seperti itu! Jadilah rotan-bambu, jadilah karang, jadilah bayu, jadilah apa saja yang bisa buatku bangga, yang bisa buatku tak kecewa karena telah bersusah payah lahir-besarkan kau!” Kira-kira akan seperti inilah kata ibu.
Akhirnyapun tetap saja tangis,
Lain sisi, nakal benakku riang bernyanyi
karna tak bersusah payah rajutpaksakan selimut tuk Ami,
Namun, hatiku menitip air matanya sendiri pula
yang hanya bisa termuara pada paras muka.
Tau apa orang-orang di luar sana soal ini,
kalau Ibu mungkin bisa kasih kecuali.
Bagaimanapun juga,
Kupohonkan terimakasih pada gerimis yang akhirnya datang menjadi hujan,
yang turun deras menghujam dari balik lelangit kamar.
Hampir dua tahun lalu..
Ya, semua itu telah berlalu biarpun masih seperti kemarin sore rasanya bagiku. Kata Einstein : waktu itu ilusi. Kebetulan dalam hal ini aku cukup sependapat dengannya. Karena kasus seperti ini bukan lagi soal teori-teori filsafat barat yang kupelajari di Sastra, bukan lagi soal matematika, fisika kuantum, juga teori ekonomi Adam Smith, ataupun mahzab-mahzab Karl Marx yang mungkin dipelajari Ami di Fakultasnya yang baru. Ini sudah tercakup dalam keabsurditasan khasanah rasa. Sekali lagi, ini soal RASA! Dimana waktu telah tersublimasi bahkan punah dengan sendirinya.
Maka, setelah dulu itu pernah kulontar harap sebanyak dua kali kepada Ami, sekarang mungkin sudah saatnyalah kuminta yang ketiga. Tanpa jeda ikrar persahabatan, tanpa ada istilah angkat-mengangkat saudara lagi. Sekarang mari kita bicara tentang kebenaran, ucapan tulus dari lubuk hati terdalam.
Kalau bicara sahabat, aku sudah punya banyak, teramat sangat malah. Terlebih lagi sejak aku pernah terpuruk dalam titik nadir hidup yang buat aku cuti kuliah selama dua semester. Teman-temanku yang beribu jumlahnya telah termagnifikasi menjadi beberapa orang saja. Bagiku itu sudah cukup. Merekalah yang kusebut orang-orang yang paling tahu siapa aku. Walaupun masih tak sepenuhnya tahu, kami yang sedikit, saling mencintai satu sama lain, dan aku bahagia akan mereka.
Saudara? Bukankah kata Tuhan semua manusia di dunia bersaudara? Saat ditanya perihal esensi saudara, aku cuma bisa bilang kalau saudaraku cuma satu, Tika, sekarang sudah bersekolah di Psikologi UI atas sedikit bantuan dana dari pemerintah daerah. Aku ingin sekali lakukan apa yang pernah dibilang Junjungan kita bahwa setiap manusia hidup diciptakan berpasangan. Aku ingin sekali cari pasangan yang sebenarnya telah tertentukan sebisaku, Ami, dialah yang sampai saat ini satu-satunya miliki kualifikasi penuh untuk bantuku merajut selimut hangat kehidupan yang nyatanya kan ku persembahkan nanti buatnya juga.
.
Demikianlah, agaknya sedikit sekali guna cangkir kata-kata yang termaktub di sini untuk dapat mewadahi lautan rasa yang ku-anakpelihara-kan selama ini. Kemarin, lewat sebuah buku, ada seorang teman senasibku yang bilang bahwa : “Dalam masa-masa tergelap kita, kita bisa menemukan harta yang paling gemilang!”
Aku, sedikit banyak sudah melalui semacam masa-masa gelap dalam kurun hampir dua tahun ini. Semua kematerian dari kehidupan dangkalku dulu, kebanggaan-kebanggaan semu, harapan-harapan sesaat, mimpi-mimpi tak berujung, dan puisi-puisi kecilku untuknya dulu, dan juga dia sendiri, Ami, sudah sempat punah dalam hidupku belakangan.
Harta-harta paling gemilang yang kuperoleh dalam masa gelap kala itu hanyalah pembelajaran untuk merasa syukur, dan perolehan semangatku tuk kembali berbagi pada orang-orang sekitar saja. Biar bisa jadi manusia berguna. Biarpun bagi orang-orang normal, kontemplasi penemuanku soal hakikat kehidupan masa itu, terbilang cukup lama, aku tetap saja merasa lega, lebih lega ketimbang saat aku berjalan di bawah hujan dan menciumi bau rerumputan, lebih lega daripada membaca buku di depan beranda rumah sambil menunggu senja tiba, lebih lega juga ketimbang saat aku menuliskan ini, yang semoga dapat sempat terbaca oleh Ami suatu saat nanti.
Dan untukmu Ami, jangan engkau lupa, betapapun minatku berkembang, alam pikiran berubah, pekerjaanku beralih, kedudukan puisi ternyata tak bisa tergantikan. Puisi hadir tanpa kuminta, mungkin serupa cinta atau iman (secarik kutipan dari antologi puisi Alangkah Tolol Patung Ini karya Faisal Kamandobat). Terlebih lagi dengan keberadaanmu dalam berkarung hari-hariku selama beberapa tahun ini, tak bisa kupungkiri, dalam duniaku yang hanya dua warna, hitam dan putih, bicara kebenaran atau diam sajaku seribu bahasa, engkau cukup punya andil besar(bagiku) dalam empat proses penting dalam hidup : belajar bersyukur, semangat berbagi, menulis puisi, dan dirimu sendiri, Ami.
Akhirnya kutekankan kembali pada diriku sendiri, bahwa tak ada salahnya mencoba datangimu sekali lagi, Ami. Ya, sekali lagi…
Sekian.
Fauzan F. (Papau)
Sastra Unand ‘04
08:40 pm
Pertemuan sesaatku dengan Ami tadi siang, setelah hampir dua tahun tak lagi kulihat
tabir parasnya yang kata orang-orang sudah tak lagi meng(k)empompong, membuat semacam kecamuk kembali di benak dan hatiku, hingga akhirnya, sebagai pelampiasan eskapis, kuputuskan saja untuk sedikit berspekulasi. Tanpa bermaksud mengenyampingkan perasaannya yang di mataku masih terpalung kelam, yang belum bisa kutemu seperti apa rupa dasarnya, namun, hal ini semata terlebih karena Amiku(kalau saja dia memperbolehkanku untuk disebut begitu) sendirilah, yang berkata lewat raut bahasa tubuhnya yang mungkin masih terlalu gamang untuk kuanalogikan.
Sebelumnya aku haturkan maaf sebisanya pada siapa saja, termasuk Ami sendiri, yang miliki interpretasi berbeda dalam membaca arah dan tujuan catatan harian kecil ini. Perlu kutekankan bahwa, “masalah” ini hanya ada antara aku, dan riak-riak kecamukku sendiri yang telah kusebut di atas. Ami tak bertanggung jawab sedikitpun dalam hal ini, kecuali hanya keberadaannya saja yang sempat singgah sejenak dalam berkarung-karung hari yang masing-masing kami sedang jalani. Sejenak yang anehnya sampai detik ini kurasa.
Baiklah, kita mulai saja spekulasi ini dengan sebuah puisi karya GAIUS VALERIUS CATULUS, Roma 84-54 SM. RR, begini kira-kira saduran kasarnya :
Kau, hidupku, berjanjilah, makna cinta
Di antara kita bernilai pasti dan abadi
Dewa-dewi Agung, bujuk dia bicara kebenaran
Dan mengucap TULUS dari lubuk hati terdalam
Agar sepanjang masa mampu kami lanjutkan
Tanpa jeda ikrar persahabatan
(dikutip dari ‘What about Leonardo’ karya Evald Flisar)
Hampir dua tahun lalu, aku sempat tawarkan segulung benang rasa aneka warna yang dalam anggapan idealku kala itu, akan tertentukan juga akhir kesepakatan kami bersama untuk mulai memintalnya menjadi sehelai selimut hangat yang akan kupersembahkan untuk Ami nantinya.
Namun Ami berkata lain, dia bilang kalau bekerja denganku, dia tak bersedia! Diberinya aku alasan manusiawi, kalau aku sudah dianggap kakak angkatnya atau mungkin sahabatnya sajalah. Dikarenakan oleh empati rasa sayang, ia tak ingin aku terluka karena jarum-jarum kematerian dan prasyarat-prasyarat fana seketika darinya, yang sebenarnya dapat kulihat menggelayut kelam di kedua kelopak matanya.
Kemudian, walaupun dengan berat hati, tanpa kuminta dia tuk katakan seperti apa alasannya bilang aku seperti itu(hanya sebagai saudara atau sahabat), setelah DUA kali saja kumohonkan, aku kembali ke rumah dengan penyertaan gerimis yang menolongku senja itu. Ah, aku jadi teringat sekelabat kalimat shout-out Friendster seorang teman yang dia tulis begini : “I like walking in the rain, because nobody can see me crying.” Dan sebersyukurnya itulah aku atas gerimis yang menyamarkan titik sedikit air mataku, agar orang-orang, terlebih lagi Ibu yang nanti akan bilang aku ini lelaki cengeng yang terlalu mudah menangis. “Kau belum coba semampumu, dengan kenyataan sekelumit itu saja kau telah menyerah! Kau bukan anakku kalau kau mudah terpatah seperti itu! Jadilah rotan-bambu, jadilah karang, jadilah bayu, jadilah apa saja yang bisa buatku bangga, yang bisa buatku tak kecewa karena telah bersusah payah lahir-besarkan kau!” Kira-kira akan seperti inilah kata ibu.
Akhirnyapun tetap saja tangis,
Lain sisi, nakal benakku riang bernyanyi
karna tak bersusah payah rajutpaksakan selimut tuk Ami,
Namun, hatiku menitip air matanya sendiri pula
yang hanya bisa termuara pada paras muka.
Tau apa orang-orang di luar sana soal ini,
kalau Ibu mungkin bisa kasih kecuali.
Bagaimanapun juga,
Kupohonkan terimakasih pada gerimis yang akhirnya datang menjadi hujan,
yang turun deras menghujam dari balik lelangit kamar.
Hampir dua tahun lalu..
Ya, semua itu telah berlalu biarpun masih seperti kemarin sore rasanya bagiku. Kata Einstein : waktu itu ilusi. Kebetulan dalam hal ini aku cukup sependapat dengannya. Karena kasus seperti ini bukan lagi soal teori-teori filsafat barat yang kupelajari di Sastra, bukan lagi soal matematika, fisika kuantum, juga teori ekonomi Adam Smith, ataupun mahzab-mahzab Karl Marx yang mungkin dipelajari Ami di Fakultasnya yang baru. Ini sudah tercakup dalam keabsurditasan khasanah rasa. Sekali lagi, ini soal RASA! Dimana waktu telah tersublimasi bahkan punah dengan sendirinya.
Maka, setelah dulu itu pernah kulontar harap sebanyak dua kali kepada Ami, sekarang mungkin sudah saatnyalah kuminta yang ketiga. Tanpa jeda ikrar persahabatan, tanpa ada istilah angkat-mengangkat saudara lagi. Sekarang mari kita bicara tentang kebenaran, ucapan tulus dari lubuk hati terdalam.
Kalau bicara sahabat, aku sudah punya banyak, teramat sangat malah. Terlebih lagi sejak aku pernah terpuruk dalam titik nadir hidup yang buat aku cuti kuliah selama dua semester. Teman-temanku yang beribu jumlahnya telah termagnifikasi menjadi beberapa orang saja. Bagiku itu sudah cukup. Merekalah yang kusebut orang-orang yang paling tahu siapa aku. Walaupun masih tak sepenuhnya tahu, kami yang sedikit, saling mencintai satu sama lain, dan aku bahagia akan mereka.
Saudara? Bukankah kata Tuhan semua manusia di dunia bersaudara? Saat ditanya perihal esensi saudara, aku cuma bisa bilang kalau saudaraku cuma satu, Tika, sekarang sudah bersekolah di Psikologi UI atas sedikit bantuan dana dari pemerintah daerah. Aku ingin sekali lakukan apa yang pernah dibilang Junjungan kita bahwa setiap manusia hidup diciptakan berpasangan. Aku ingin sekali cari pasangan yang sebenarnya telah tertentukan sebisaku, Ami, dialah yang sampai saat ini satu-satunya miliki kualifikasi penuh untuk bantuku merajut selimut hangat kehidupan yang nyatanya kan ku persembahkan nanti buatnya juga.
.
Demikianlah, agaknya sedikit sekali guna cangkir kata-kata yang termaktub di sini untuk dapat mewadahi lautan rasa yang ku-anakpelihara-kan selama ini. Kemarin, lewat sebuah buku, ada seorang teman senasibku yang bilang bahwa : “Dalam masa-masa tergelap kita, kita bisa menemukan harta yang paling gemilang!”
Aku, sedikit banyak sudah melalui semacam masa-masa gelap dalam kurun hampir dua tahun ini. Semua kematerian dari kehidupan dangkalku dulu, kebanggaan-kebanggaan semu, harapan-harapan sesaat, mimpi-mimpi tak berujung, dan puisi-puisi kecilku untuknya dulu, dan juga dia sendiri, Ami, sudah sempat punah dalam hidupku belakangan.
Harta-harta paling gemilang yang kuperoleh dalam masa gelap kala itu hanyalah pembelajaran untuk merasa syukur, dan perolehan semangatku tuk kembali berbagi pada orang-orang sekitar saja. Biar bisa jadi manusia berguna. Biarpun bagi orang-orang normal, kontemplasi penemuanku soal hakikat kehidupan masa itu, terbilang cukup lama, aku tetap saja merasa lega, lebih lega ketimbang saat aku berjalan di bawah hujan dan menciumi bau rerumputan, lebih lega daripada membaca buku di depan beranda rumah sambil menunggu senja tiba, lebih lega juga ketimbang saat aku menuliskan ini, yang semoga dapat sempat terbaca oleh Ami suatu saat nanti.
Dan untukmu Ami, jangan engkau lupa, betapapun minatku berkembang, alam pikiran berubah, pekerjaanku beralih, kedudukan puisi ternyata tak bisa tergantikan. Puisi hadir tanpa kuminta, mungkin serupa cinta atau iman (secarik kutipan dari antologi puisi Alangkah Tolol Patung Ini karya Faisal Kamandobat). Terlebih lagi dengan keberadaanmu dalam berkarung hari-hariku selama beberapa tahun ini, tak bisa kupungkiri, dalam duniaku yang hanya dua warna, hitam dan putih, bicara kebenaran atau diam sajaku seribu bahasa, engkau cukup punya andil besar(bagiku) dalam empat proses penting dalam hidup : belajar bersyukur, semangat berbagi, menulis puisi, dan dirimu sendiri, Ami.
Akhirnya kutekankan kembali pada diriku sendiri, bahwa tak ada salahnya mencoba datangimu sekali lagi, Ami. Ya, sekali lagi…
Sekian.
Fauzan F. (Papau)
Sastra Unand ‘04
"Gadis Kecil di Luar Lingkaran"
Hari sudah beranjak malam, namun Ami masih saja bermain di pinggir kolam,
“Nanti kau tergelincir sayang, kata Ibu. “Kau ini belum dewasa betul, masih tak sanggup cengkramkan kaki mungilmu yang putih”.
Ikan-ikan mas aneka warna timbul-tenggelam di sela algae kusam yang membuyarkan, mematuk makanan cepat saji peninggalan Ayah yang belum lama ini tinggalkan rumah, atau sekedar ngemil jentik yang pasrah termamah.
Suasana yang beginianlah yang paling disukai Ami.
“Ah., suatu hari nanti aku akan menjadi ikan mas koki, berenang-renang puasnyaman setelah ibu ayah tak lagi ada. Menelan apa saja yang ada di depan mata. Tak kan pernah datang lagi senja dan malam hari”, ujar Ami dalam hati.
Papau
Sastra UNAND
“Nanti kau tergelincir sayang, kata Ibu. “Kau ini belum dewasa betul, masih tak sanggup cengkramkan kaki mungilmu yang putih”.
Ikan-ikan mas aneka warna timbul-tenggelam di sela algae kusam yang membuyarkan, mematuk makanan cepat saji peninggalan Ayah yang belum lama ini tinggalkan rumah, atau sekedar ngemil jentik yang pasrah termamah.
Suasana yang beginianlah yang paling disukai Ami.
“Ah., suatu hari nanti aku akan menjadi ikan mas koki, berenang-renang puasnyaman setelah ibu ayah tak lagi ada. Menelan apa saja yang ada di depan mata. Tak kan pernah datang lagi senja dan malam hari”, ujar Ami dalam hati.
Papau
Sastra UNAND
"Tuts Piano"
Kalau sedang dengar denting tuts piano begini, aku seolah rasakan kembali kehadiran Nita. Ada bau rambut kepangnya yang segar serupa aroma kanak-kanak kami. Ada marun pipi pualam cembung nan halus karna sapuan bedak bayi yang tersamar keringat riangnya. Oleh bapak kepala sekolah, kami dulu dipertemukan. Dikasih jalan tuk sebentar berteman.
Aku yang polos belum tau apa, larut dalam langkah kaki mungil dan sebuah buku otobiografi darinya. Dan karna kini Nita telah tak kutahu dimana, tuts piano ini kupelariankan saja, agar tetap bisa rasakan seperti apa bau-rupa tempo lalu.
Kemarin, ada yang bilang padaku bahwa setiap manusia punya prasaan-rasa yang terdambakan. Tapi, tak semua kita bisa mengakuinya.
Aku bisa dan mau sekali akui pada Nita!
Bahkan telah kulatih hati bicara, paling tidak dalam sebelas tahun terakhir untuk beritahunya.
Lantas, nah, (atau apalah),
dapatkah kepolosan kanak-kanak kami kubuat salah?
11:35 pm
28 Maret 2009
Papau
Sastra UNAND
Aku yang polos belum tau apa, larut dalam langkah kaki mungil dan sebuah buku otobiografi darinya. Dan karna kini Nita telah tak kutahu dimana, tuts piano ini kupelariankan saja, agar tetap bisa rasakan seperti apa bau-rupa tempo lalu.
Kemarin, ada yang bilang padaku bahwa setiap manusia punya prasaan-rasa yang terdambakan. Tapi, tak semua kita bisa mengakuinya.
Aku bisa dan mau sekali akui pada Nita!
Bahkan telah kulatih hati bicara, paling tidak dalam sebelas tahun terakhir untuk beritahunya.
Lantas, nah, (atau apalah),
dapatkah kepolosan kanak-kanak kami kubuat salah?
11:35 pm
28 Maret 2009
Papau
Sastra UNAND
"Aurora"
Aurorakah yang slalu rindu penghujung Desember
Tuk bilang pada mentari muda datang tergesa bahwa ia lelah mengindah
Yang tahu hanya kutub beku, sesekali muak matanya perih kesilauan
Kelam menahun pun masih tak sudi jua tertuanrumah
Dan kau masih saja berkutat dengan sajak-sajak lama
Yang katamu sanggup bawa kau keliling dunia
Bidukmu tiris seribu, layar terkoyak debu
Ah, akhirnya kau balik lagi ke kampungmu yang bau penuh karang
Pernah kuangkat kau menuju kapal
Kau gamang dermaga
Pernah ku tarik kau terombang
Kau mabuk nakhoda
6 maret 2009 02:05
Papau
Sastra UNAND
Tuk bilang pada mentari muda datang tergesa bahwa ia lelah mengindah
Yang tahu hanya kutub beku, sesekali muak matanya perih kesilauan
Kelam menahun pun masih tak sudi jua tertuanrumah
Dan kau masih saja berkutat dengan sajak-sajak lama
Yang katamu sanggup bawa kau keliling dunia
Bidukmu tiris seribu, layar terkoyak debu
Ah, akhirnya kau balik lagi ke kampungmu yang bau penuh karang
Pernah kuangkat kau menuju kapal
Kau gamang dermaga
Pernah ku tarik kau terombang
Kau mabuk nakhoda
6 maret 2009 02:05
Papau
Sastra UNAND
Rabu, 01 April 2009
"Kakak Menangis"
ayah dimana….?
Ibu,, mengapa diam saja…
Kak…. Jangan terus menangis!
Bau apa ini?
Amis sekali kak…
Aku ingin muntah
Tapi jijik sekali….
Tak ada air untuk membasuh mulut
Mengapa panas dan pengap sekali?
Lalu, kehebohan apa diluar sana?
Apakah khaleed lagi-lagi mengganggu azizah?
Kak,, jangan terus menangis….
Bikin aku juga sedih
Mari bangunkan ibu untuk masakkan kita makan malam….
_Mira_
Ibu,, mengapa diam saja…
Kak…. Jangan terus menangis!
Bau apa ini?
Amis sekali kak…
Aku ingin muntah
Tapi jijik sekali….
Tak ada air untuk membasuh mulut
Mengapa panas dan pengap sekali?
Lalu, kehebohan apa diluar sana?
Apakah khaleed lagi-lagi mengganggu azizah?
Kak,, jangan terus menangis….
Bikin aku juga sedih
Mari bangunkan ibu untuk masakkan kita makan malam….
_Mira_
"When We Stand Alone"
anak itu hancur lebur, tanpa nama
sang ibu termangu memangku tangan dan kaki
seraya menutupi robekan burqa hitamnya
sehitam langit siang itu
diantara suara-suara saling balas
ditengah debu siang hari
anak itu merengek gelisah
dalam pelukan lemah dan gemetar
kemudian menghilang perlahan terkulai
terjepit diantara tembok kamar dan dapur
dan ayah yang bersimbah darah mereka
dia berlari gagah berani
menantang apapun yang mengancam
menggenggam erat pecahan gunung sinai diantara jemari
seraya menyerukan lafal luar kepala
lantunan doa dan syukur
mengharap setitik lagi keberanian
sebelum dia kembali
inilah iman, saudara
inilah taruhan terbesar
inilah yang kau sebut keindahan terhebat
menuju satu yang utama
dalam wangi dan lantunan merdu
saat raga menyentuh tanah
jiwa mencapai langit tertinggi
tidak ada kata menyerah
kecanggihan bukanlah tandingan tradisi
batumu adalah surgamu
tongkatmu adalah malaikatmu
saat waktu itu tiba
menjemput dalam arif dan damai
hanya Dia satu yang menyambut
saat kau kembali pulang
sendiri.......
_Mira_
sang ibu termangu memangku tangan dan kaki
seraya menutupi robekan burqa hitamnya
sehitam langit siang itu
diantara suara-suara saling balas
ditengah debu siang hari
anak itu merengek gelisah
dalam pelukan lemah dan gemetar
kemudian menghilang perlahan terkulai
terjepit diantara tembok kamar dan dapur
dan ayah yang bersimbah darah mereka
dia berlari gagah berani
menantang apapun yang mengancam
menggenggam erat pecahan gunung sinai diantara jemari
seraya menyerukan lafal luar kepala
lantunan doa dan syukur
mengharap setitik lagi keberanian
sebelum dia kembali
inilah iman, saudara
inilah taruhan terbesar
inilah yang kau sebut keindahan terhebat
menuju satu yang utama
dalam wangi dan lantunan merdu
saat raga menyentuh tanah
jiwa mencapai langit tertinggi
tidak ada kata menyerah
kecanggihan bukanlah tandingan tradisi
batumu adalah surgamu
tongkatmu adalah malaikatmu
saat waktu itu tiba
menjemput dalam arif dan damai
hanya Dia satu yang menyambut
saat kau kembali pulang
sendiri.......
_Mira_
"Catatan Pagi Ini"
selalu tiba-tiba
saat lelap membuai
ketika panik menyapu
saat kalap menyerta
menorehkan guratan tajam tipis
melelehkan gundah dan hampa
meratapi kepingan-kepingan hati tersisa
berat namun nyata
sekejap selintas menerpa
menghanguskan jiwa raga terlantar
memunguti pecahan-pecahan otot, urat, tulang
tidak tahu setelah ini seperti apa
dingin, kelabu, lengang
pagi ini masih seperti kemarin
_Mira_
saat lelap membuai
ketika panik menyapu
saat kalap menyerta
menorehkan guratan tajam tipis
melelehkan gundah dan hampa
meratapi kepingan-kepingan hati tersisa
berat namun nyata
sekejap selintas menerpa
menghanguskan jiwa raga terlantar
memunguti pecahan-pecahan otot, urat, tulang
tidak tahu setelah ini seperti apa
dingin, kelabu, lengang
pagi ini masih seperti kemarin
_Mira_
"Little Mahmoud"
panas membara..
rasanya tak ada hari esok
pedih menusuk kaki mungilku
mengusap lelehan merah lengket
terjatuh dan kambali berdiri
selalu begitu
hitamnya langit tak sehitam rupaku
keringat dan air mata tak terbayangkan
hanya saja aku masih berdiri
melongok kejauhan..
ummi... abi...
tersesat dijalan kecilku
aku terus melongok kejauhan
mengapa semua berisik sekali
aku bingung akan kehebohan ini
apa yang mereka pertengkarkan?
lalu mengapa atap rumahku harus mereka rusak?
dan teman-temanku?
dan tetanggaku?
dan pahlawan-pahlawanku?
zahra,, faisal,, azis...
umm abeeba,, yasmeen, khalid,, hossein....
aku masih bisa berdiri....
_Mira_
rasanya tak ada hari esok
pedih menusuk kaki mungilku
mengusap lelehan merah lengket
terjatuh dan kambali berdiri
selalu begitu
hitamnya langit tak sehitam rupaku
keringat dan air mata tak terbayangkan
hanya saja aku masih berdiri
melongok kejauhan..
ummi... abi...
tersesat dijalan kecilku
aku terus melongok kejauhan
mengapa semua berisik sekali
aku bingung akan kehebohan ini
apa yang mereka pertengkarkan?
lalu mengapa atap rumahku harus mereka rusak?
dan teman-temanku?
dan tetanggaku?
dan pahlawan-pahlawanku?
zahra,, faisal,, azis...
umm abeeba,, yasmeen, khalid,, hossein....
aku masih bisa berdiri....
_Mira_