Selasa, 10 Februari 2009

Sajak Handoko

Pelajaran Gila


Pecahkan saja kacanya
Lalu benturkan kepalamu ke dinding
Setidaknya kau tahu
Kepalamu lebih keras dari kaca dan tak lebih keras dari batu






Belajar Membaca


Cobalah untuk membaca
Karna tak pernah kulihat kau benar-benar membaca
Kau hanya mengeja kata demi kata
Lalu diam dan berfikir

Ya…….
Aku tahu buku itu mahal harganya
Tapi…..
Kau tak perlu buku untuk membaca

Daun ini…..
Meja ini…..
Dan Angin ini….
Bahkan mataku ini bisa kau jadikan buku

Kau tak perlu mengejanya
Bacalah……
Dan kau akan mendengar mereka bicara






Kosong

Kosong.












Oleh: HANDOKO

13 komentar:

rumahteduh mengatakan...

wah. puisinya asyik. tapi sadis ya. ih. blog ini puisinya sadis-sadis. kayak blog ABRI aja. jangan-jangan ini blog POLISI. ih ngeri ah.

Dina Oktavia mengatakan...

hik..hik...hik..
selamat datang di Jurusan Sastra Porno. puisinya porno dan parno' ya'?
jangan-jangan blog ini memang buat penulis puisi porno. hihihi..
woi fais, lo dah memelihara punulis porno sekrang ye...

MASEDLOLUR mengatakan...

jadi,
pelajaran gila adalah belajar membaca kosong
atau
kosong itu pelajaran belajar gila?
tapi
indah puisi-puisi ini bagi yang ngerti!

Handoko mengatakan...

sepertinya bahasa puisi memang sulit untuk dimengerti. perlu didekonstruksi dan pemindahan pemahaman agar anda tahu apa artinya. Saya tidak minta untuk dimengerti, hanya merepresentasikan pemahaman tentang sesuatu dalam bait-bait puis. SADIS? sebaiknya lihat maknanya di kamus. Apalagi PORNO, UU pornografi sudah disahkan, sebaiknya mengacu kesana untuk memahami konsep PORNO. Terlalu lama "berteduh di rumah" tak tampak dunia luar............

Handoko mengatakan...

thanks, udah berkomnetar. Memang bahasa puisi sulit dimengerti, perlu telaah untuk mengerti artinya. SADIS? coba buka kamus dulu and cari maknanya, kalau G' di google aja. PORNO? apalagi....., UU Pornografi sudah disahkan, coba lihat disana ya biar g' salah terus. Terlalu nyaman ya "berteduh di rumah" jadi lupa sama kondisi di luar.........

cermincommunity mengatakan...

sekarang saya yang bingung tentang bagaimana seorang dina oktavia menafsirkan arti porno.. saya yakin dina adalah seorang seniman, orang yang menikmati seni apapun bentuknya. dan bukannya justru kebanyakan seniman yang mengedepankan segala bentuk pornografi dibalik alasan keindahan dan seni? bahwa tidak ada yang porno dalam seni. bahwa pornografi yang ditampilkan dalam seni adalah bentuk dari apresiasi keindahan seni itu sendiri....
apa ada yang salah dalam statement saya?

cermincommunity mengatakan...

well,, semakin kami ditertawakan dan diremehkan, semakin teguh dan kuat jadinya kawan! pasti pernah dengar kan pepatah lama yang berbunyi; semakin tingg sebuah pohon semakin kencang anginnya.. terimakasih sekali telah mengapresiasikan kami sebegitu tingginya sehingga anda merasa perlu untuk meniupkan angin topan sebegitu kencangnya....

virus mengatakan...

porno?????? sebuah interpretasi yang tidak perlu disalahkan, karena interpretasi adalah interpretasi, tidak ada interpretasi yang benar ataupun salah, karena semua itu interpretasi. Barangkali Dina oktavia dkk di rumah teduh menerapkan standar makna yang berbeda dan penuh dengan aporia terhadap pemahaman mengenai diskursus porno.

hehe saya rasa "keteduhan" rumah saudara telah memicu proses interpretasi multi dimensi dimana konvensi makna porno mengalami dekonstruksi. Sungguh menarik untuk menjadi cermin proses pemaknaan, ketika belenggu konvensi budaya tidak lagi mengekang proses interpretasi.

terima kasih kpd anak rumah teduh yang telah menjadikan puisi handoko sebagai cermin interpretasi.

F.M. Faiz mengatakan...

Sebuah komunitas berdiri, mungkin berawal dari kehendak. Kehendak untuk menjawab tiap jengkal keresahan. Di hari-hari sumpek penuh catatan kuliah, penuh ceramah, dan nilai-nilai dari dosen; tampaknya memang memerlukan sebuah wadah. Sebuah komunitas berdiri, setidaknya ada yang berdiri.
Setelah munculnya komunitas cermin sejak beberapa minggu belakangan, tulisan-tulisan bermunculan. Setidaknya yang menjadi menarik adalah membahas masalah pornografi dalam sajak (baca:puisi). Beberapa komentar seperti dari dina oktavia, atau dari rumahteduh, juga tak kalah ‘akademisi’ sastra Inggris Novra Hadi dengan nama samaran virus (tapi kok terdeteksi?).
Berbicara masalah sajak, mungkin saja berbisara masalah selera. Tapi tidak, tiap hari bias saja seorang membikin sajak. Tapi akankah sajak ini”menjadi” atau “takjadi” tentu menjadi hal lain. Seorang akademisi, yang membikin saya heran, lebih banyak menginterpretasi puisi. Lebih banyak menjadikan puisi menjadi verbal. Memang, dalam “hukum” interpretasi tiada salah-benar. Tapi hanya itukah kecenderungan “orang-orang dari atap bahasa” saat ini? Hanya menginterpretasi?
Sastra, sebagaimana yang diketahui akademisi, sarat akan pengalaman empirik. Namun, jika hanya mengusung sebuah puisi ke wilayah verbal, sepicik itukah sebuah interpretasi? Barangkali sekarang perlu dicari akademisi yang ‘masuk’ dalam dunia sastra itu sendiri tanpa mengendap-endap menginterpretasi gaya bahasa-lah,seting-lah, segala macam-lah, dan kemudian mereka-reka dalam skripsi (bahasa Inggrisnya thesis). Sekejam itukah sebuah interpretasi? Hingga merong-rong puisi ke dalam wacana dan bahasa verbal?
Namun, fakultas sastra (sastra Inggris khususnya) lebih memilih merawat sapid an bajaknya, dari pada memelihara benih dan petani. Satra Inggris lebih memilih memelihara kandang kuda dari pada kudanya.

hadi.m.zaf mengatakan...

masih saja masalah porno... haha

*novra hadi mudah sekali terdeteksi karena tak perlah lepas dari dekonstruksi dan interpretasi yang tidak memiliki kebenaran.

memang tidak menyenangkan menjadi seorang mahasiswa sastra atau mejadi terlalu paham puisi, ketika sebuah puisi pada hakikatnya diciptakan untuk dinikmati, kita malah ribut dengan masalah-masalah genre, simbol, ironi,atau hal2 yang mungkin tak pernah dipikirkan oleh para penikmatnya... layaknya seorang komentator yang sibuk mencatatat statistik pertandingan sementara pertandingan berlangsung sangat menarik... apapun itu dia adalah sebuah karya, setiap karya juga memiliki kemerdekaan yang luas untuk diinterpretasikan oleh penikmatnya

virus mengatakan...

hehe begitu kejamkah interpretasi? puisi sendiri adalah produk interpretasi, baik proses penciptaan puisi maupun proses pemaknaannya adalah hasil dari beribu interpretasi, bahkan proses menikmati puisipun adalah salah satu mata rantai interpretasi. ternyata interpretasi itu tidak sekedar kejam, tapi sadis!! karena mampu membuat orang2 menikmati "penyiksaannya"

hehe menyeng "benteng strukturalisme sastra" benar atw salah adalah relatif, tergantung dari ideologi sosial yang menjadi landasan berpijak setiap orang. orang dengan ideologi berbeda bisa saja memandang 'suatu hal' sebagai suatu kebenaran, walaupun orang dengan ideologi lain mengklaim 'suatu hal' itu sebagai suatu kesalahan

saya rasa yang terpenting itu bukanlah mendakwa benar atau salahnya seseorang, tapi menghargai perbedaan tersebut.

ok, selamat menikmati dan berkontradiksi dengan karya sastra

virus mengatakan...

Ketika seorang manusia memasuki tahap perenungan untuk melahirkan suatu karya, sebenarnya itu adalah bagian dari mata rantai 'interpretasi', karena hal tsb terkait dengan proses pemaknaan atau proses rekonstruksi makna yang nanti diekspresikan dalam beragam bentuk semiosis sosial. Baik itu sastrawan, penikmat karya sastra, dan juga kritikus sastra sesungguhnya melakukan interpretasi menurut peranan mereka masing2. Karya sastra sebagai produk interpretasi yang nanti berkembang menjadi produk budaya akan menjadi sebuah diskursus multi tafsir, atau menjadi elemen interpretasi tanpa akhir, baik yang tersurat maupun yang tersirat, atau yang tersirat dibalik yang tersirat.

Artinya, setiap usaha untuk mengisolasi karya sastra dari dimensi interpretasi akan terjungkal balik, karena setiap teks karya sastra akan melahirkan teks2 baru, dan demikian seterusnya. Seorang sastrawan, kritikus sastra dan penikmat karya sastra memiliki fungsi masing2 yang saling berdialektika, tidak ada yang salah dengan memasukkan karya sastra ke wilayah verbal, karena itu adalah bagian dari interpretasi, awal lahirnya budaya adalah dari interpretasi, dan awal lahirnya karya sastra juga dari titik interpretasi.

virus mengatakan...

he he menyeng, salah atau benar adalah hasil interpretasi, salah atau benar adalah hasil rekonstruksi suatu diskursus nilai2 dan makna tertentu yang dikembangkan berdasarkan ideologi sosial yang dianut. tidak ada interpretasi yang tidak memiliki nilai kebenaran karena itu tergantung dari ideologi sosial masyarakat si pelaku interpretasi, sesuatu yang benar menurut masyarakat B bisa menjadi salah menurut masyarakat A, krn ideologi sosial masyarakat A beda dengan masyarakat B.

Orang yang "terlalu paham puisi" justru menikmati puisi dengan menganalisanya, sastrawan menikmati puisi dengan menciptakannya, jadi nikmatilah puisi sesuai dengan kapasitas kita masing2.

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Bila anda ingin menanggapi posting ini, silahkan tuliskan komentar anda di sini.

Bagi rekan-rekan mahasiswa fakultas sastra Unand yang berminat mempublikasikan tulisannya di Blog Cermin Comunity, silahkan kirimkan naskah rekan-rekan ke cermincommunity@plasa.com
atau cermin_community@yahoo.com

Salam Hangat.