Rabu, 05 Mei 2010

Negosiasi Jiwa


Oleh Muhammad Adek


Sebelumnya dipublikasikan pada

11 April 2010, 22:49


Aku kepingin membeli sejumput keberanian di kedai hatiku.

Tapi mereka menjualnya dengan harga yang sangat menguras logika. Pundi-pundiku seakan cuma bahan ejekan buat mereka yang duduk di balik meja kasir.

Tapi, ragaku benar-benar sakau memujanya.

Tunggu, buat apa membeli? Sempat terfikir olehku 'tuk meminjamnya saja. Mungkin beberapa minggu sudah lebih dari cukup; cukup 'tuk menakhlukkan kebimbangan jika nanti saatnya tiba.

Ya, saat di mana aku dan jiwaku tak saling menyapa atau bertegur-ria. Saat mereka saling menghadapkan punggung mereka.

Ya, aku akan sangat membutuhkannya.


Sekali lagi kudatangi pertokoan keberanian yang berjejer rapi di sekitar relung hatiku. Kutatap penuh mereka dengan pandangan curiga. Kulihat, stock keberanian mana yang paling sesuai permintaan ragaku.

Ya, itu dia, prasangkaku mendera. Aku menemukannya tergantung megah menunjuk langit-langit merah.


"Permisi, saya membutuhkan sejumput keberanian yang bertepikan ketangguhan dan berujungan kekuatan. Apakah anda bisa memberikan contoh yang terbaik untuk saya?", tanyaku pelan.


"Ya. Kami disini memang menyediakan beberapa jumput keberanian. Dari buatan pengalaman bahagia ataupun kejadian paling memilukan. Dari yang paling alamiah hingga yang sangat dibuat-buat. Tapi maaf, kami tak menjualnya dengan uang. Kami butuh yang lebih dari sekedar uang. Anda mengerti?", jawab Sang Penjaga Toko.


"Saya mohon, saya sangat membutuhkan keberanian itu, tuan. Hanya itu bahan pokok saya 'tuk bertahan dalam persaingan hidup yang teramat kejam ini, tuan. Sekali lagi saya memohonkan kehibaan tuan terhadap keluguan saya. Saya benar-benar membutuhkannya, sungguh!", jawabku dengan sangat menyedihkan.


"Sekali lagi maaf, harga keberanian ini tak dapat lagi dinegosiasi. Ini harga mati, tuan. Silakan cari penjual lainnya di seberang sana, karena kami tak menerima pelanggan berhati kerdil seperti anda. Anda mengerti?", balasnya dengan berapi-api.


….


Kuseret langkahku bersama ceceran harga diri yang terberai lusuh di sekujur perjalanan pulangku.

Dan aku pulang dengan membawa sepotong sendu serta sekotak kekecewaan mendalam.



Catatan:

Tulisan ini telah mengalami proses editing oleh admin Cermin Community. Untuk melihat versi awal dari tulisan ini, silahkan kunjungi laman berikut.

7 komentar:

combrok mengatakan...

Waow,keren..!

Adek mengatakan...

byk diksi yg perlu dibenahi master,,
ehehe

edsa mengatakan...

nice :)

Rezky Pratama mengatakan...

berkunjung dengan snyuman...

Unknown mengatakan...

keren banget..suka dg kalimat sejumput keberanian.

secangkir teh dan sekerat roti mengatakan...

nikmat bacanya !

TS Frima mengatakan...

kunjungan akhir pekan ^^

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Bila anda ingin menanggapi posting ini, silahkan tuliskan komentar anda di sini.

Bagi rekan-rekan mahasiswa fakultas sastra Unand yang berminat mempublikasikan tulisannya di Blog Cermin Comunity, silahkan kirimkan naskah rekan-rekan ke cermincommunity@plasa.com
atau cermin_community@yahoo.com

Salam Hangat.