Sabtu, 02 Oktober 2010

Jika

oleh Thiska Septa Maiza


sebelumnya dipublikasikan pada

05 May 2010 at 00:44


Jika hari ini adalah penyudahan

maka aku akan sangat merindu

pada matahari yang bersinar

dan hari-hari yang diteranginya;


Maka dengarkanlah wahai hati yang membeku,

aku dan rindu telah terpisah jauh dalam jeda,

telah lelah diri berpura-pura,

terkikis habis semua daya.


Jika hari ini adalah penyudahan

maka biarkan aku melebur

dalam hitam legam udara malam.





Catatan editor

oleh T. S. Frima


Sebagaimana yang jamak terjadi, bila dalam sebuah produksi kuantitas meningkat, kualitas akan cenderung menurun sebagai kompensasinya. Hal ini pun bisa berlaku dalam menulis. Semakin banyak karya yang dibuat oleh seorang penulis dalam rentang waktu yang singkat, semakin besar kemungkinan ia terjebak pada jejak nuansa karya-karya sebelumnya, sehingga diksinya menjadi tumpul. Meskipun begitu, di sisi lain produktifitas yang tinggi bisa juga disamakan dengan upaya berlatih yang giat. Dan semakin seseorang terlatih atau terbiasa mengerjakan sesuatu, intuisinya akan aspek-aspek tertentu dari pekerjaan itu akan semakin tumbuh.

Thiska Septa Maiza adalah seorang penulis yang sangat produktif—setidaknya dibandingkan rekan-rekannya. Dalam rentang satu semester, dia bisa menyelesaikan belasan atau bahkan puluhan fiksi dan puisi. Jelaslah bahwa ia seorang yang bergaya hard work-er. Sekarang mari kita telaah salah satu puisinya yang berjudul Jika.


Dari segi judul, meletakkan kata ‘jika’ sungguh tindakan yang cerdik untuk menarik perhatian pembaca. Kata ‘jika’ adalah gerbang bagi hal-hal yang belum terjadi, tetapi sudah diandaikan terjadi. Ketika melihat judulnya, pembaca menjadi penasaran akan objek yang diandaikan, dan menanti ‘maka’ apa yang tersedia sebagai kelanjutannya.

Tapi sayang sekali ternyata bait-bait sebagai tubuh sajak ini tak mampu mempertahankan rasa penasaran itu dalam benak pembaca.

Bait pertama langsung menyuguhkan pernyataan verbal, yang sudah pasti diinsafi semua orang. Meskipun kata-kata ‘jika hari ini adalah penyudahan/ maka aku akan sangat rindu/ pada matahari yang bersinar/ dan hari-hari yang diteranginya’ bisa merujuk pada macam-macam akhir, namun logika kalimatnya terlalu gamblang dan tidak membutuhkan penafsiran. Bukankah bagi siapapun, jika ini hari terakhir dari sesuatu, ia pasti akan merindukan hari-hari yang lalu saat sesuatu itu berlangsung?


Bait kedua dituliskan dengan cukup baik dengan menggunakan beberapa jenis majas. Baris pertamanya yang berbunyi ‘maka dengarlah wahai hati yang membeku,’ memakai gaya apostrophe; yaitu gaya yang menyebut sebuah benda seakan subjek dalam puisi sedang berbicara padanya secara langsung, seakan-akan benda itu adalah orang yang bisa diajak berbicara. Baris ke-dua memakai majas personifikasi. Dalam kalimat ‘aku dan rindu telah terpisah jauh’, rindu seakan-akan adalah orang yang setara dengan ‘aku’.

Sayangnya bait ini juga memuat death metaphor, yaitu metaphor yang telah kehilangan nilai figuratinya karena sudah terlalu biasa dipakai. Kata-kata ‘telah habis semua daya’ adalah kata-kata yang sudah sangat umum dipakai, tidak hanya dalam puisi tetapi juga dalam lirik lagu.

Begitupun dalam baris terakhir bait terakhir, kata-kata ‘hitam legam’ dan ‘malam’ juga sudah terlalu sering dipakai secara serangkai, sehingga kemunculannya sebagai satu baris dapat memicu kebosanan.


Sebenarnya puisi ini cukup kuat dalam hal tema dan nuansa. Pengandaian dan sikap melankolis seseorang saat menghadapi suatu akhir adalah hal universal yang dapat menyentuh perasaan siapa saja. Apakah itu akhir hidup, akhir penantian, ataukah akhir kebersamaan? Terlepas dari isinya, tampak bahwa penulis memiliki intuisi yang peka dalam memilih tema dan nuansa. Namun bagaimanapun, intuisi saja tidak cukup. Ketumpulan dalam mengatur diksi justru akan merusak tema menjadi hambar dan mengesankan kedangkalan pada nuansa yang coba dibangun. Itulah sebab, alangkah baiknya seorang penulis berlatih secara proporsional, berimbang dan teratur, sehingga tidak hanya intuisinya terbangun tetapi juga keterampilannya terasah.


Tulisan ini telah mengalami proses editing oleh admin Cermin Community. Untuk melihat versi awal dari tulisan ini, silahkan kunjungi laman ini.

sumber gambar

Selasa, 28 September 2010

Untuk Mimpi Reni

Oleh T. S.Frima

Sebelumnya dipublikasikan pada

19 September 2010



Kamu berdiri di sana,

Di belakang kilauan maya yang datang entah dari mana.

Tak hirau pada ranting-ranting yang merangas,

Kulihat kamu memandangi tangan sendiri, bertanya:

Bisakah Ia, kemilau itu, digenggam?

Dalam tertegun-mu, waktu berlalu

Dan dengan angkuhnya kamu percaya, bahwa kamu bisa selamanya ada di sana:

Terus bertanya-tanya.


Apakah hujan, ataukah salju,

Kemurnian alam yang dingin menerjangmu

Mengantarmu pada hidup yang rapih:

Lingkaran sempurna yang menghampar,

Yang sama sekali tak bisa kujejaki.


Dan di langitmu selengkung senyum memancar;

Sekali lagi kamu bertanya: bisakah Ia kamu petik?

Sedang bagiku semuanya adalah anomali.

Malam menjelang, kelip menggugus.

Tak bisa kubedakan, mereka gemintang atau pendar lampu jalan.

Namun pada gugusan yang sejernih cermin itu

Terpantul wajah yang pernah kita kenal.

Hanya saja bagimu, saat ini semuanya asing;

Seluruh malam telah disusupi aura yang aneh,

Semacam kabut samar-tipis, menyelip diantara laut dan langit.

Cahaya dan Kegelapan telah memudar bersamaan.


Kamu masih berdiri di sana,

Di dermaga tua yang melapuk—melepas nyawa.

Tumpuannya telah runtuh di kaki fajar, meninggalkan lembar-lembar papan hanyut;

Sisa-sisa impianmu pun tenggelam;

Dan surya mengakhiri semuanya.

Semuanya, Ren.



Catatan:

Tulisan ini telah mengalami proses editing oleh admin Cermin Community, dengan persetujuan penulis aslinya.

Sabtu, 15 Mei 2010

Matahari

oleh Muhammad Adek


Sebelumnya dipublikasikan pada

11 April 2010 at 22:58


Kau,

yang terlahir kembali

seperti cetak biru,

pada raga yang anomali.


Kau,

yang mungkin hanya pengulangan

dari dia,

tiruan dari segala macam tiruannya,

keserasian bentuk ragaannya.


Kau,

yang kutulis lagi,

diatas kenangan yang tertumpuk mati.

Kuharap kau

sanggup menyiasati

bayang-bayang dia,

yang berdikari bagai

Matahari.



Catatan editor

oleh T. S. Frima


Sajak berjudul Matahari oleh Muhammad Adek ini cukup mudah dinikmati dan dipahami karena memakai rima yang jelas dan majas yang gamblang.

Dari segi bentuk, agaknya sajak ini dapat digolongkan sebagai free verse, sebab tidak ditemukan pola matrikal yang tetap di dalamnya baik dari segi silaba maupun rima. Satu-satunya yang menjadi pola adalah, setiap bait selalu diawali kata ‘kau’ yang berdiri sendiri di baris pertama.


Dengan menyebutkan ‘kau’ secara berulang dan memberinya posisi yang mencolok, sekilas tampak bahwa penyair ingin menjadikan ‘kau’ sebagai pusat sajaknya. Tapi benarkah demikian?

Pada bait pertama, pembaca diperkenalkan pada tokoh ‘kau/ yang terlahir kembali’. Kata ‘kembali’ menunjukkan sebuah proses pengulangan; artiya, sebelumnya ‘kau’ sudah pernah lahir, dan kita terlahir (atau dilahirkan?) lagi. Pada baris ketiga, kata ‘cetak biru’ (blue print) secara literal berarti desain yang dipedomani untuk membuat suatu benda. Sedangkan pada baris keempat, kata ‘anomali’ berarti aneh, ganjil atau tak normal.

Bait pertama ditulis sebagai satu kalimat yang dipotong-potong. Secara struktur, kalimat tersebut memiliki klausa utama yang berbunyi ‘kau seperti cetak biru pada raga yang anomali’, dan disisipi oleh frase keterangan ‘yang terlahir kembali’ yang sifatnya tambahan. Dari sini, kita dapat memahami bahwa ‘kau’ berasal dari sebuah desain yang sekali lagi terwujudkan kedalam tubuh yang nyata, namun tubuhnya kali ini terlihat ganjil dan aneh.


Bait ke-dua masih menyoroti ‘kau’, kali ini dengan keterangan yang lebih verbal. Baris ke-duanya yang berbunyi ‘yang mungkin hanya pengulangan’ adalah penegasan dari baris ke-dua pada bait sebelumnya yang menyebut ‘terlahir kembali’. Baris ketiga yang berbunyi ‘tiruan dari segala tiruannya’ mengingatkan kita pada pendapat Plato dalam buku Republic.

Pada bab kesepuluh dalam buku tersebut, Plato berargumen bahwa dunia ini terdiri dari dua bagian: dunia ide dan dunia benda. Ide bagi Plato adalah cetak biru atau desain universal dari semua benda yang ada di alam; dan karenanya ide tersebut adalah milik Tuhan. Misalnya, ada begitu banyak kuda di dunia, tapi semua kuda berbentuk sama, itu karena semua kuda berasal dari ‘cetakan ide’ yang sama; meskipun dalam detail ada ukuran yang berbeda dari kuda yang satu ke yang lain. Begitu pula tentang tempat tidur; meskipun bervariasi dalam ukuran dan ornamen, tapi semua tempat tidur memiliki bentuk dasar yang sama, dengan empat kaki dan bagian lebar untuk menopang tubuh manusia. Dengan demikian, benda-benda kongkrit adalah tiruan dari ide. Lalu, yang disebut Plato sebagai tiruan dari tiruan adalah karya seni. Misalnya, lukisan tempat tidur adalah tiruan dari ‘benda tempat tidur’ yang sebenarnya; sedangkan ‘benda tempat tidur’ itu sendiri adalah tiruan dari ‘ide tempat tidur’.

Berdasarkan keterangan ini, kata-kata ‘kau,/ yang mungkin hanya pengulangan/ dari dia,/ tiruan dari segala macam tiruannya,’ menunjukkan bahwa ‘kau’ adalah sebuah karya seni, bukan benda kongkrit.

Bait ini juga memperkenalkan kita pada tokoh ‘dia’ yang memiliki ‘keserasian bentuk ragaan’ dan merupakan benda kongkrit yang coba ditiru oleh ‘kau’.


Bait ke-tiga memainkan fungsinya sebagai penutup dengan menjelaskan arti ‘kau’ dan ‘dia’ bagi ‘aku’ lirik. ‘Kau,/ yang kutulis lagi,/ di atas kenangan yang tertumpuk mati,/’ pada baris satu sampai tiganya mengindikasi bahwa ‘kau’ adalah sesuatu yang dicipta ‘aku’ secara sengaja. Sedangkan kata-kata ‘Kuharap kau/ sanggup menyiasati/ bayang-bayang dia,/ yang berdikari bagai/ Matahari./’ menjelaskan motif ‘aku’ membuat ‘kau’, yaitu untuk menanggulangi ‘bayang-bayang dia’ yang selalu hadir begitu kuat dan tak bisa disangkal, selayaknya ‘matahari’.


Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa ‘dia’ adalah sosok yang penting bagi ‘aku’. Namun ‘dia’ sudah bukan lagi sesuatu yang ada bagi ‘aku’; ‘dia’ tinggal bayang-bayang dan lekatan pada ingatan. Sebagai pelarian, ‘aku’ menciptakan ‘kau’ berdasarkan citra ‘dia’ selaku cetakan. Meskipun ‘kau’ hanya tiruan yang tidak sesempurna sosok aslinya, dengan naif ‘aku’ tetap berharap ‘kau’ dapat mengalihkannya dari ‘dia’.

Jelaslah bahwa sebenarnya yang menjadi pusat dari sajak ini adalah ‘dia’, yang sudah bagaikan matahari bagi ‘aku’. Itulah sebab Matahari diletakkan sebagai judul, sebagai penunjuk dari sentra cerita.


Tulisan ini telah mengalami proses editing oleh admin Cermin Community. Untuk melihat versi awal dari tulisan ini, silahkan kunjungi laman ini.