Tampilkan postingan dengan label pinyu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pinyu. Tampilkan semua postingan

Rabu, 21 April 2010

Waktu ke sepuluh

Oleh Ramadhani

Detik-detik bergulir
hingga merambat pada hitungan masa
dalam masa itu bergelut hujan, terik dan ribuan kerikil
tempaannya melebutkan segala sesuatunya
tetapi tidak dengan cinta diantaranya itu
cinta yang menjadi belenggu indah
mengikat kepalan harapan ditangan kita
tangan-tangan yang akan memainkan melodi yang harmoni
yang tak akan berhenti berbunyi
walau terik membakar
yang bunyinya akan mengalah suara hujan
serta merta guntur dan petir yang dibawanya
melodi yang sama yang akan melewati masa
melodi yang lahir dari tangan kita

Bukittinggi 1april O9

Selasa, 20 April 2010

Abu Kemaren

Ramadhani

Mata-mata dimana mata beradu
Beradu dalam keraguan yang makin tak menentu
Menatap sayup mata-mata yang membelenggu
Memasung jiwa, merantai asa ,disekap dalam tatapan semu
Dikala kehangatan hati tak mampu mencairkan otak yang beku
Atau hati yang telah beku saat otak mulai meragu
Mata-mata dimata mata beradu
Mempertanyakan perihal masa lalu
Perihal dosa-dosa yang tergurat diwajah lesumu
Dan tangan jadahmu yang tak terbelenggu
Mengais-ngais tumpukan nista dimana mata-mata beradu
Walaupun ujung kukumu menjerit pilu

Minggu, 18 April 2010

*Tak Berjudul

.........
oleh Ramadhani


Teriakan Nurani
Dia berteriak lantang di pagi hari
Hanya saja yang mendengar
Cuma hatinya sendiri
Teriakan yang menggetarkan cakrawala
Dunia-dunia pagi yang masih terlelap
Habis dibuai malam
Terdapat suara pilu nan miris
Bila kau dengar dengan hati-hati
Kalau kau bisa pakai hatimu
Tapi sayangnya kau apalagi aku,,,
Tak bisa apa-apa kecuali diam
Karna ya,,, Cuma hanya hatinya saja
Kiranya sudah tahunan teriakan itu
Keluar menggelegar dari pita hati
Hendak memberitahu dunia-dunia pagi
Apalagi tentara siang yang membangkang
Yang kerap mengira dia sudah gentar
Kau dan aku mungkin saja salah tentang ini
Tapi, Hanya saja dia masih berdiri tegap
Dengan kaki-kaki yang sama
Dan genggaman yang kokoh
Mengguncang pagi nan tenang
Membuat murka tentara siang
Lalu kemudian bersembunyi tidak jauh
Selonjoran di selangkangan malam
Berlipat daun telinga dibawah kepala
Mananti untuk berteriak lagi

Rabu, 08 Juli 2009

Emily Jane Bronte: "Mild The Mist Upon The Hill"

Mild The Mist Upon The Hill

Mild the mist upon the hill
telling not of storms tomorrow;
no, the day has wept its fill,
spent its store of silent sorrow.

O, I’m gone back to the days of youth,
I am a child once more,
and neath my father’sheltering roof
and near the old hall door

I watch this cloudy evening fall
After a day of raining;
blue mists, sweet mists of summer pall
the horizon’s mountain chain.

The damp stands on the long green grass
as thick as morning’s tears,
and dreamy scents of fragrance pass
that breathe of other years.

***

Embun Di Atas Bukit

Embun di atas bukit
kabarkan esok badai tak datang;
namun, hari telah tangisi segalanya,
cucurkan kepedihan yang bungkam

o, aku kembali beranjak muda,
kembali jadi kanak lagi,
dan berteduh di bawah tegap dagu ayah
dekat sebuah pintu tua

ku saksikan awan petang bersingsut turun
setelah rimbun hujan;
embun biru, embun yang indah pada musim panas yang pucat
di cakrawala rentetan gunung-gunung

kabut selubungi hamparan hijau rerumputan
sepekat air mata sang pagi,
dan seharum wewangian alam mimpi
nafas tahun-tahun yang lain.


-Pinyu-

Rabu, 15 April 2009

"Panji"

Negeriku, negeri seribu panji
Tanah yang lebur oleh lembar-lembar wajah
Wajah lapar,wajah yang gamang dan wajah yang mati
Diantara rumah yang teduh dan sepatu yang mengkilap

Tanahku, tanah seribu panji
Tandus berdebu di dalam saku lencana pada lemari kaca
Yang dipintal dari lelah dan putus asa juga setumpuk dusta
Seribu panjiku menganga dalam semangkuk penuh roti basi



-Pinyu-

"Jendela"

Agaknya jarak ini kian jauh saja
Pakaian yang bergelantungan dan aroma kamar itu
Baunya masih begitu pekat
Rambat bersama rintik hujan dan debu-debu

Aku menangkapnya tepat pada sebuah jendela
Jendela kecil ,rahasia, di belakang kepalamu
Aku menyusuri padang ilalang dan kupu yang malas di sana
Dedaunan kering dan musim gugur di ranjangmu

Jangan kau tutup jendela itu, ya!
Nanti, kali aku tersasar dan tak ada pintu untuk diketuk
Kau mungkin akan temukan awan yang berliku-liku kering
Tepat di berandamu oleh musim yang berbeda

***

-Pinyu-

"Terlentang"

Nyiang tanya beriak disana
Di sebuah pojokan di balik buram kaca
Aku terdampar pada peta wajah buta
Sesumbar teriakku memekak

Kutemukan kau di sela jemariku
Dimana Wajah kuyumu melukis sendiri
Tak kutemui kecuali nyeri perih
Jejak jejak mati apalagi bunga-bunga

Bingungku diseduh lama, kini
Kental beraroma hujan –dingin-
Ku rengkuh saja sekaliannya
Aku baur…

***

-Pinyu-

Sabtu, 04 April 2009

SAYEMBARA ORANG SAKTI

Dulu ketika masih bocah, ayah kerap sekali menceritakan cerita mengenai kerajaan di tanah jawa. Cerita-cerita tentang sayembara-sayembara yang diadakan oleh para raja ketika mereka menghadapi suatu masalah. Lalu nantinya siapapun yang memenangkan sayembara tersebut-yang pastinya adalah orang-orang yang baik- akan diangkat menjadi menantu atau kerabat sang raja. Pokoknya jadi orang yang dekat-dekat dengan rajalah. Pasti senang ya jadi orang dekat sang raja. Makan cukup , pakaian cukup tempat tinggal nyaman. Segala kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya dapat terpenuhi.

Pada beberapa malam terakhir pada bulan ini ayah masih juga bercerita tentang sayembra dan raja-raja. Ceritanya bukan untukku, tetapi buat Layang adikku. Sekarang Layang masih kelas tiga sd. Tentunya aku bisa mendengar cerita ini karena Layang masih tidur sekamar denganku. Kata ayah sayembaranya kini berbeda dari yang biasanya. Sekarang yang ikut banyak. Jauh lebuh banyak. Ada yang masih muda, ada juga yang sudah tua renta, dan ada juga yang mereka bilang anak-anak. Mungkin yang ikut serta jadi banyak karena memang ada yang baru ikut, atau ada juga yang sudah pernah dan sekarang ikut lagi dan ada yang melanjutkan sepak terjang para pendahulu mereka. Ada juga beberapa yang dulunya satu perguruan sekarang ikut dalam kelompok yang beda-beda pula. Kali ini akan lebih sengit, tambah ayah. Kenapa yah? Layang bingung.. Sekarang yang ikut sayembara adalah orang-orang sakti. Orang-orang yang sudah bertapa lama lalu muncul lagi. Tidak hanya lelaki, perempuan juga. Tidak hanya mereka yang segar bugar tetapi mereka yang ada sedikit kekurangan juga ikut, tetapi yang penting mereka sakti lho.

Sayembara!!! sayembara!!! siapa mau ikut??? Siapa mau hidup enak??? dekat-dekat singgasana raja atau jadi raja sekalian. Kalau sekarang tidak penting anda orang baik atau tidak, yang penting bisa tidak, berbaik perangai dan bercantik-cantik mulut? Layang tertawa geli mendengar ayah teriakan ayah. Lalu bagaimana lagi yah? Sayembara sebentar lagi akan diadakan, tapi kali perarurannya beda. Bukan raja yang memutuskan siapa yang menang tetapi orang banyak. Mendengar hal itu para peserta sayembara mengerahkan segala tenaga dan usaha. Dengan kesaktian yang mereka miliki mereka menjelma menjadi sosok-sosok raksasa. Ada yang jadi hewan raksasa, ada yang jadi tumbuhan-tumbuhan besar dan tidak sedikit juga yang berubah jadi bulan atau bintang yang berpijar siang dan malam. Dengan bentuk dalam ukuran besar itu mereka menawarkan segala jenis panganan dan segala macam manisan kepada orang banyak.ada juga yang mau memberi cahaya dalam kelam, biar orang banyak tidak tidur dalam dingin dan gelap-gelapan. Mereka juga bisa memperbanyak diri. Mereka yang telah menjadi banyak itu menyebar keseantero negeri. Lalu dengan sihir yang maha sakti mereka membacakan mantra-mantra pengantar tidur pada tiap-tiap pintu di rumah yang mereka lewati. Setelah terbuai lalu tertidur dan kemudian bangun lagi, orang banyak itu berprilaku aneh. Mereka datang berbondong lalu menyembah-nyembah pada hewan, pepohonan besar juga tetumbuhan dan juga pada bulan dan bintang itu. Lalu siapa yang menang sayembara ayah? potong Layang. Itulah nak, tidak seorang pun yang tau siapa yang menang. Sampai saat ini mereka masih saja saling mengadu ‘kesaktian’. Mereka masih suka menjelma dan berubah-ubah bentuk, ada juga yang bercampur-baur. Separuh tubuhnya hewan, separaruhnya lagi tumbuhan, sakti kan! Mereka masih saja memperbanyak diri dan membacakan mantra di seantero negeri. Ya,,,makin banyak pula orang-orang yang terbuai dan tidur dalam mimpi, setelah sekian lama. lalu negeri itu jadi negeri tidur yang kemudian mati. Begitu ceritanya Yang....



Pinyu.

Jumat, 13 Maret 2009

Teater STSI di Rang Kayo Basa

Senin malam 23 februari 2009 STSI Padang Panjang menampilkan satu perjuntukan teater dalam acara yang diselenggarakan oleh mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Andalas. Pertunjukan ini mengangkat tema yang menarik. Pertunjukan yang bertempat di gedung pertemuan Rang Kayo Basa kali ini memang tidak sepeti yang biasanya. Tidak ada latar hitam pada dinding belakang panggung dan lantai kayu yang juga bercat hitam. Pertujukan ini ditampilkan langsung berhadap-hadapan dengan penonton. Keadaan ini mestinya menambah kentalkan isi dari pertunjukan ini. Pada kenyataannya, persiapan yang memakan waktu terlalu lama membuat penonton kehilangan konsentrasi awal. Perhatian penonton yang sudah terpusat pecah dan suara ribut mulai menggema diseluruh ruangan. Biarpun begitu, penantian yang lumayan lama tersebut terobati dengan pembukaan yang membuat semua penonton terdiam.

Adegan awal yang ditampilkan oleh kelompok teater yang dimainkan oleh tiga orang pria dan satu wanita ini menempatkan ketiga aktor pria kedalam kerangkeng kayu, sedangkan aktor wanitanya berada di luar kerangkeng. Gerakan-gerakan yang dimainkan oleh para aktor didalam kerangkeng mereka masing-masing adalah gerakan tari yang menyerupai gerakan silat khas Minangkabau. Hal ini menurut saya adalah gambaran yang jelas mengenai keadaan yang kini terjadi di ranah Minangkabau. Gerakan-gerakan silat tersebut menyimbolkan budaya, adat, dan nilai-nilai yang ada di Minangkabau. Namun hal tersebut diatas kini telah terkungkung dalam kerangkeng-kerangkeng perubahan. Bagaimana tidak, nilai-nilai, adat serta budaya yang seharusnya menjadi ciri atau karakter yang kuat bagi masyarakat Minangkabau kini telah terbungkam secara langsung atau tidak. Bila kita tilik kehidupan masyarakata Minangkabau saat ini, maka akan muncul banyak ketidakseimbangan di berbagai lini-lini sosial. Bila kita bicara tentang Minangkabau, maka kita tidak akan terlepas dari kehidupan berserikat dan bermusyawarah. Sebuah pepatah berbunyi, bulek aia dek pambuluh, bulek kato dek mufakat. Pepatah ini merupakan karakter kuat masyarakat Minang tentang kehidupan sosial. Namun kini, pepatah tinggallah pepatah. Pepatah kini dianggap sesuatu yang tua. Sesuatu yang hanya dijalankan oleh orang-orang tua. Dan sesuatu yang tua itu sudah mulai ditinggalkan, dimakan waktu dan perubahan. Kita bisa ambil contoh surau. Surau dulu, merupakan simbol kuat masyarakat Minangkabau. Tidak hanya tempat shalat dan tempat mengaji. Surau mengambil peran penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Surau merupakan lembaga musyawarah mengenai hal-hal yang berkenaan dengan adat dan budaya.

Dulu, surau merupakan lembaga pembelajaran berbagai macam ilmu. Di surau semua orang sama-sama belajar mengenai agama, nilai-nilai kehidupan dan bahkan belajar beladiri. Surau merupakan tempat dimana para anggota belajar menjalankan peran sosial mereka masing-masing sebagai anggota masyarakat. Kini, surau hanyalah sebuah bangunan. Tempat dimana orang-orang tua shalat dan mengaji. Sedangkan yang muda-muda sibuk dengan hal-hal yang dibawa waktu dan perubahan. Mereka lebih senang berurusan dengan sesuatu yang berbau teknologi dan segala perihal yang katanya modern. Mereka lebih senang menghabiskan waktu berjam-jam untuk hanya sekedar bermain game atau menonton acara televisi. Hal ini jelas akan membunuh kreativitas. Diterima atau tidak itulah polemik yang tengah terjadi pada generasi muda minangkabau. Saya rasa inilah salah satu masalah yang ingin diangkat oleh kawan-kawan dari STSI Padang Panjang agar kita semua tidak menutup mata akan hal ini. Satu hal lagi yang menarik. Bila kita perhatikan tokoh wanita pada pertujukan ini, kita akan menemukan masalah lainnya. Tokoh ini berperan sebagai perempuan Minangkabau yang memakai baju adat. Baju adat perempuan minang yang seharusnya memiliki bagian runcing yang menyerupai tanduk kerbau pada bagian penutup kepalanya (tingkuluak). Tetapi tokoh ini tidak memakai hal yang demikian. Hemat saya, hal ini merefleksikan permasalan mengenai perempuan dan fungsinya di Minangkabau. Perempuan Minang memiliki peran dan fungsinya tersendiri. Perempuan menempati kedudukan tertinggi dalam tatanan sosial masyarakat. Namun pada kenyataannya kini, perempuan tidak lagi menjalankan fungsi dan peran sebagaimana mestinya. Waktu dan perubahan membawa perempuan-perempuan Minang kepada suatu lubang hitam yang kita kenal dengan feminisme. Suatu pola pemikiran yang katanya mengangkat nilai-nilai perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Suatu paham yang diartikan pengagung-agungan terhadap perempuan. Percaya atau tidak paham-paham ini telah telah berkembang di tengah-tengah masyarakat Minangkabau. Perempuan yang ditempatkan pada posisi yang istimewa justru menuntut hak-hak yang tidak pada tempatnya. Bagaimana tidak istimewa, perempuan memegang peranan yang sentral, perempuan yang memiliki harta warisan di minangkabau dan laki-laki hanya sebagai pengelola saja. Masalahnya lagi, sebenarnya pemikiran ini muncul di negara-negara yang memang menindas dan mengungkung hak perempuan sejadi-jadinya. Kenapa paham seperti ini bisa berkembang di tanah tempat harkat perempuan dijunjung tinggi? Padahal yang menjadi titik tujunya adalah kebebasan. Perempuan menuntut kebebasan-kebebasan yang sama dengan laki-laki. Perempuan ingin menempatkan diri layaknya kaum laki-laki. Padahal, kita semua telah memiliki peran dan fungsi masing-nasing di dalam kehiduoan sosial. Dalam tatanan sosial Minangkabau hal ini akan menjadi masalah. Masalah ini menjadi lebih rumit saat para perempuan itu tidak berkenan lagi menyediakan secangkir kopi atau menyetrika baju sang suami. Lebih buruknya lagi, beberapa perempuan diantaranya memilih untuk tidak menikah, atau menolak menyusui bayinya sendiri. Padahal, inilah yang membuat seorang perempuan itu begitu istimewa. Sekali lagi nilai-nilai telah berubah dan akan terus berubah. Hal ini berdampak buruk pada kehidupan bermasyarakat. Satu lagi dampak dari paham-paham dan pemikiran feminisme yang diangkat oleh kawan-kawan dari STSI adalah hilangnya jati diri seorang Minang. Sayup-sayup terdengar aktor laki-laki berkata, ‘ siapa aku, dimana ibuku, dimana rumahku?’. Ini merupakan dampak yang sangat jelas jika seorang ibu tidak lagi memainkan perannya sebagaimana mestinya. Maka yang ada hanyalah kebutaan terhadap asal usul. Satu lagi indikasi yang bisa kita tanggap dari dialog yang sayup-sayup itu adalah kenapa sang anak hanya menanyakan perihal ibu dan rumahnya? Ya kerena di ranah Minang ini, sekali lagi, perempuan begitu istimewa. Ranah bundo, ranah para ibu, tempat dimana perempuan sangat dijunjung. Rumah adalah haknya perempuan. Tempat para suaminya menumpang. Kenyataannya persoalan yang diangkat kawan-kawan dari STSI ini bukanlah sesuatu yang baru. Tema seperti ini telah diangkat kepermukaan walaupun dengan bentuk-bentuk berbeda. Sangatlah jelas bila kita tarik satu simpul bahwa polemik ini masih dan akan terus berkembang. Setidaknya ada orang-orang yang resah yang ingin menyampaikan bahwa ada sesuatu yang salah dengan kita. Sesuatu yang salah dari dalam. Dan akan merusak dari dalam.

Bila kita berbicara isi pertunjukan ini, maka kita tidak akan luput dari properti. Ketika para aktor menyusun kerangkeng kayu yang tadinya adalah penjara menjadi bentuk-bentuk tingkatan. Ketika tingkatan tersebut terbentuk dan para aktor telah berada diluar kerangkeng, lalu tokoh perempuan berbalik terperangkap dalam kerangkeng tersebut. Dalam hal ini saya tidak menangkap jelas pesan yang ingin disampaikan. Terlepas dari hal itu, penggunaan properti yang tepat sangat menunjang suatu pertunjukan, ditambah lagi penampilan para aktornya yang total. Gerakan-gerakan yang total dan suara yang lantang membuat pertunjukan ini menjadi begitu menarik. Menarik memang bagi orang yang menganggap bahwa pertunjukan ini memiliki sesuatu yang menarik. Menarik bagi orang-orang yang asyik menikmati sendiri pertunjukan yang berlangsung walaupun mereka tidak mengerti. Memang tidak perlu pengertian dalam menikmati. Orang-orang yang mencari tempat terdepan dalam begitu banyak kerumunan. Tidak menarik bagi orang-orang yang berada dalam gedung yang sama tapi entah dengan tujuan apa. Orang-orang yang gaduh yang membuat resah orang lainnya. Orang-orang yang tidak peduli pada nilai-nilai juga oreang yang tidak peduli pada pesan-pesan. Entah tidak mau tahu atau memang tidak tau apa-apa. Mungkin hal ini juga menjadi sebab mengapa tema yang sama ini masih terus diangkat. Karena masih saja ada orang-orang yang tidak peduli. Sekalipun pesan-pesan itu dibungkus dalam wujud pertunjukan, bukan dalam bahasa yang verbal. Kkita ini kan bukan orang-orang bodoh yang hanya mengerti jika sudah dibahasakan langsung. Katanya kita orang-orang yang berpendidikan. Atau memang kita seperti itu? Untuk mengerti kita perlu bahasa yang verbal, lalu spanduk-spanduk dan poster-poster jadi alat komunikasi kita. Seni, khususnya teater di sini telah menagmbil perannya dalam tatanan sosial masyarakat. Teater tampil sebagai lembaga atau wadah penyampaian uneg-uneg. Hanya saja masih banyak yang tidak begitu peduli.




-Pinyu-