Sebelumnya dipublikasikan pada
11 April 2010 at 22:58
Kau,
yang terlahir kembali
seperti cetak biru,
pada raga yang anomali.
Kau,
yang mungkin hanya pengulangan
dari dia,
tiruan dari segala macam tiruannya,
keserasian bentuk ragaannya.
Kau,
yang kutulis lagi,
diatas kenangan yang tertumpuk mati.
Kuharap kau
sanggup menyiasati
bayang-bayang dia,
yang berdikari bagai
Matahari.
Catatan editor
oleh T. S. Frima
Sajak berjudul Matahari oleh Muhammad Adek ini cukup mudah dinikmati dan dipahami karena memakai rima yang jelas dan majas yang gamblang.
Dari segi bentuk, agaknya sajak ini dapat digolongkan sebagai free verse, sebab tidak ditemukan pola matrikal yang tetap di dalamnya baik dari segi silaba maupun rima. Satu-satunya yang menjadi pola adalah, setiap bait selalu diawali kata ‘kau’ yang berdiri sendiri di baris pertama.
Dengan menyebutkan ‘kau’ secara berulang dan memberinya posisi yang mencolok, sekilas tampak bahwa penyair ingin menjadikan ‘kau’ sebagai pusat sajaknya. Tapi benarkah demikian?
Pada bait pertama, pembaca diperkenalkan pada tokoh ‘kau/ yang terlahir kembali’. Kata ‘kembali’ menunjukkan sebuah proses pengulangan; artiya, sebelumnya ‘kau’ sudah pernah lahir, dan kita terlahir (atau dilahirkan?) lagi. Pada baris ketiga, kata ‘cetak biru’ (blue print) secara literal berarti desain yang dipedomani untuk membuat suatu benda. Sedangkan pada baris keempat, kata ‘anomali’ berarti aneh, ganjil atau tak normal.
Bait pertama ditulis sebagai satu kalimat yang dipotong-potong. Secara struktur, kalimat tersebut memiliki klausa utama yang berbunyi ‘kau seperti cetak biru pada raga yang anomali’, dan disisipi oleh frase keterangan ‘yang terlahir kembali’ yang sifatnya tambahan. Dari sini, kita dapat memahami bahwa ‘kau’ berasal dari sebuah desain yang sekali lagi terwujudkan kedalam tubuh yang nyata, namun tubuhnya kali ini terlihat ganjil dan aneh.
Bait ke-dua masih menyoroti ‘kau’, kali ini dengan keterangan yang lebih verbal. Baris ke-duanya yang berbunyi ‘yang mungkin hanya pengulangan’ adalah penegasan dari baris ke-dua pada bait sebelumnya yang menyebut ‘terlahir kembali’. Baris ketiga yang berbunyi ‘tiruan dari segala tiruannya’ mengingatkan kita pada pendapat Plato dalam buku Republic.
Pada bab kesepuluh dalam buku tersebut, Plato berargumen bahwa dunia ini terdiri dari dua bagian: dunia ide dan dunia benda. Ide bagi Plato adalah cetak biru atau desain universal dari semua benda yang ada di alam; dan karenanya ide tersebut adalah milik Tuhan. Misalnya, ada begitu banyak kuda di dunia, tapi semua kuda berbentuk sama, itu karena semua kuda berasal dari ‘cetakan ide’ yang sama; meskipun dalam detail ada ukuran yang berbeda dari kuda yang satu ke yang lain. Begitu pula tentang tempat tidur; meskipun bervariasi dalam ukuran dan ornamen, tapi semua tempat tidur memiliki bentuk dasar yang sama, dengan empat kaki dan bagian lebar untuk menopang tubuh manusia. Dengan demikian, benda-benda kongkrit adalah tiruan dari ide. Lalu, yang disebut Plato sebagai tiruan dari tiruan adalah karya seni. Misalnya, lukisan tempat tidur adalah tiruan dari ‘benda tempat tidur’ yang sebenarnya; sedangkan ‘benda tempat tidur’ itu sendiri adalah tiruan dari ‘ide tempat tidur’.
Berdasarkan keterangan ini, kata-kata ‘kau,/ yang mungkin hanya pengulangan/ dari dia,/ tiruan dari segala macam tiruannya,’ menunjukkan bahwa ‘kau’ adalah sebuah karya seni, bukan benda kongkrit.
Bait ini juga memperkenalkan kita pada tokoh ‘dia’ yang memiliki ‘keserasian bentuk ragaan’ dan merupakan benda kongkrit yang coba ditiru oleh ‘kau’.
Bait ke-tiga memainkan fungsinya sebagai penutup dengan menjelaskan arti ‘kau’ dan ‘dia’ bagi ‘aku’ lirik. ‘Kau,/ yang kutulis lagi,/ di atas kenangan yang tertumpuk mati,/’ pada baris satu sampai tiganya mengindikasi bahwa ‘kau’ adalah sesuatu yang dicipta ‘aku’ secara sengaja. Sedangkan kata-kata ‘Kuharap kau/ sanggup menyiasati/ bayang-bayang dia,/ yang berdikari bagai/ Matahari./’ menjelaskan motif ‘aku’ membuat ‘kau’, yaitu untuk menanggulangi ‘bayang-bayang dia’ yang selalu hadir begitu kuat dan tak bisa disangkal, selayaknya ‘matahari’.
Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa ‘dia’ adalah sosok yang penting bagi ‘aku’. Namun ‘dia’ sudah bukan lagi sesuatu yang ada bagi ‘aku’; ‘dia’ tinggal bayang-bayang dan lekatan pada ingatan. Sebagai pelarian, ‘aku’ menciptakan ‘kau’ berdasarkan citra ‘dia’ selaku cetakan. Meskipun ‘kau’ hanya tiruan yang tidak sesempurna sosok aslinya, dengan naif ‘aku’ tetap berharap ‘kau’ dapat mengalihkannya dari ‘dia’.
Jelaslah bahwa sebenarnya yang menjadi pusat dari sajak ini adalah ‘dia’, yang sudah bagaikan matahari bagi ‘aku’. Itulah sebab Matahari diletakkan sebagai judul, sebagai penunjuk dari sentra cerita.
Tulisan ini telah mengalami proses editing oleh admin Cermin Community. Untuk melihat versi awal dari tulisan ini, silahkan kunjungi laman ini.
11 komentar:
aih, matahari tapi gambarnya cewe :)
wah kasihan hidup dalam kenangan
hidup dalam kenangan itu memang terkadang indah terkadang memilukan ya...he..he..he...
apakah ini artinya ada yg mirip dg si dia?
mwemang harus disiasati, karena semua tak pernah sama meski serupa :)
menikmati puisi,sekaligus dapat pelajaran bagus ni,
terima kasih sudah berbagi.
salam kenal kembali...:)
met beraktifitas juga kawan :)
makasih master udah di bahas, ternyata asik jg..
puisinya bagus. dan sekedar puisi, tapi dibahas lagi. bravo!! :)
anomali...
heheheh
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Bila anda ingin menanggapi posting ini, silahkan tuliskan komentar anda di sini.
Bagi rekan-rekan mahasiswa fakultas sastra Unand yang berminat mempublikasikan tulisannya di Blog Cermin Comunity, silahkan kirimkan naskah rekan-rekan ke cermincommunity@plasa.com
atau cermin_community@yahoo.com
Salam Hangat.