Senin, 08 Juni 2009

Kabar Buruk dari Surga


(Syair Cinta Rabiah Al-Adawiah)


Fatris Moh. Faiz*

Ia lahir dan hidup di Basrah Irak sekitar tahun 713 M ketika dinasti Umayyah berkausa di seluruh jazirah Arab, dan penjara di Basrah belum dijaga oleh tentara Amerika—tentu saja. Ia lahir dari keluarga yang sama sekali tidak mapan. Dan ketakmapanan itulah yang kemudian membuatnya jadi budak selama bertahun-tahun. Setelah bebas, ia menekuni musik dan jadilah ia pemusik yang mendendangkan lagu-lagu. Lalu, tak berapa lama ketika itu musik dianggap subhat oleh beberapa ulama. Ia, sebagaimana musik, dikecam. Karena merasa dunia sekelilingnya penuh dengan “kecaman”, ia pun mulai mencari cinta Tuhan. Tak hanya dalam musik musik, bahkan dalam “pertapaan”.

Ia Rabi’ah al-Adawiyah, perempuan yang kemudian dianggap sebagai figur dalam sastra sufistik dan kerap dipertentangkan. Bahkan hingga saat ini. Sajaknya, atau tepatnya syair, umumnya hanya diperuntukkan untuk sang Tuhan yang bagi Rabiah adalah kekasih. Bagi mereka yang menyembah Tuhan dengan penuh rasa takut (akan nereka yang penuh api) atau penuh pengharapan (akan surga yang di dalamnya terdapat bidadari jelita, sungai susu), jelas tak akan menerima apa yang dilontarkan Rabi’ah, perempuan yang memilih ‘suci’ seumur hidup itu. Ia, tentunya, memilih alur lain untuk menemukan Tuhan. Alur yang berbeda.

Al kisah, suatu hari ia membawa air di tangan kiri dan obor di tangan kanan. Seseorang bertanya: Kemana engkau akan pergi Rabi’ah?

Ia menjawab:
Saya mau ke langit untuk membakar surga
dan memadamkan api neraka
Agar semuanya tak menjadi sebab manusia
Menyembah-Nya
Sekiranya Allah tak menjadi pahala dan siksa
Masih adakah di antara mereka yang menyembah-Nya?

Membaca Rabiah, seakan menyentakkan kita bahwa Islam lahir dan hadir di muka bumi ini bukan karena kedua hal itu: surga ataukah neraka. Tetapi atas nama cinta, setidaknya begitu kata Rabi’ah.

Namun barangkali Rabi’ah keliru, orang tak (lagi) beribadah kepada sang Tuhan karena landasan cinta seperti apa yang umumnya dianjurkan para sufi. Manusia telah berperang dan saling bunuh untuk surga dan neraka itu. Untuk dua kata yang kekal itu, mereka mengutip Quran. Setidaknya begitu yang disebut Fitna, film yang dilarang peredarannya di Indonesia saat ini. Film itu membelalakkan mata kita, dan juga menyentuh kita dengan amarah. “Tidak semua orang Islam seperti itu, itu hanya sebagian kecil,” kata teman saya setelah menontonnya.

Rabiah memang tidak ada ketika Theo Van Gogh meregang nyawa di depan Muhammad Bouyeri. Sang seniman itu dibunuh karena dianggap telah melecehkan Islam di Belanda. Rabi’ah juga tak tak mengenal (atau mungkin dikenal) oleh Farag Fouda. Menurut catatan Tempo, kelompok yang menamakan diri Jamaah Islamiah yang pada tanggal 8 Juni 1992 telah membunuh Farag Fouda di Madinath al-Nasr, Kairo. Fouda dituduh murtad atas tulisannya al-Haqiah al-Ghaybah (Kebenaran yang Telah Hilang), dan karena itu ia layak dibunuh. Dan Rabiah juga tidak ada ketika bom Bali meledak, dan tempat maksiat itu hancur bersama turis yang berpakaian seronok tengah menikmati liburan.Tentu tidak.

Saat sekarang, ketika iman seakan jadi ancaman di tengah kita untuk membuat garis batas antara beriman dan kafir, kita seakan dibutuhkan untuk membaca syair Rabi’ah.

Mereka yang tidak menemukan cinta dalam beragama adalah mereka yang hanya menemukan api dalam iman. Sedemikian buta kah cinta? Sedemikian angker kah Tuhan?

Alangkah buruknya,
Orang yang menyembah Allah hanya karena mengharap surga
Dan ingin diselamatkan dari api neraka

Seandainya surga dan neraka tak pernah ada
Apakah engkau tidak akan menyembah-Nya?

Syair itu ditulis ulang Ahmad Dhani dalam lagunya. Dhani mungkin—sebagaimana banyak orang Islam di Indonesia ini—jenis manusia yang tidak menyukai perang. Setidaknya perang yang berlabel agama. Bukankah mereka yang membunuh atas nama agama, atas nama tuhan, secara tidak langsung telah membunuh karena keinginan untuk mendapatkan sorga di kehidupan kelak? Bukankah mereka yang membunuh atas nama ‘penyelamatan iman’ adalah mereka yang membunuh atas segala ketakutan terhadap gejolak api neraka?

Neraka, api yang bergejolak dan membakar, ataukah api dalam diri? Api amarah yang membakar siapa saja—beriman atau tidak. Bukankah setiap kali kita marah sebetulnya kita telah hidup dalam neraka, neraka bagi diri kita sendiri?

Aku mengabdi pada tuhan bukan karena takut neraka
Bukan pula karena mengharap surga
Tetapi aku mengabdi karena cintaku padanya

Jika aku menyembahmu ,
Karena takut pada nerakamu bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembahmu karena mengharapkan surga
Jauhkan aku darinya
....
Tuhanku, tenggelamkan aku dalam lautan cintamu


Memang, beragama atas nama cinta adalah suatu bentuk beragama yang ideal.
Seorang yang menemukan cinta Tuhan akan punya belas kasihan yang lebih (?). Sementara manusia yang tamak akan surga, seakan surga begitu sempit untuk manusia.



*sedang akan benar-benar menyelesaikan studi di Fakultas Sastra Unand.

5 komentar:

pinyu mengatakan...

memang cinta itu tak pernah jelas bagaimana menjelaskannya, tapi yang lebih menarik adalah penekanan di akhir tulisan "akan benar-benar".
toga itu baunya serupa pengangguran.
hehehehe

an99ong mengatakan...

itu yang jadi landasan ekstremis muslim,, surga adalah tujuan dan neraka adalah bagi orang2 buangan sehingga mereka mau melakukan apapun demi keyakinan itu bahkan dengan mengorbankan anak-anak mereka sendiri....
apa surga itu memang ada ditelapak kaki ibu? kalo iya ngapain coba bunuh2an demi idealisme dan kepercayaan?! cukup sujud aja di lutut ibunda tercinta dan memberikan yang terbaik buat beliau...
"ibunda...."

faizketjil mengatakan...

tanggapan dalam blog ini cukup rumit. a[alagi tanggapan an99ong. saya tidak mengerti. mungkin jalaludin rumi mengerti hal sedemikian rumit ini.

an99ong mengatakan...

pasti nggak serumit rumi lah mister! haha

Puan mengatakan...

Nice writing..;)
tp mungkinkah surga dn neraka jd titik awal unk cinta?

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Bila anda ingin menanggapi posting ini, silahkan tuliskan komentar anda di sini.

Bagi rekan-rekan mahasiswa fakultas sastra Unand yang berminat mempublikasikan tulisannya di Blog Cermin Comunity, silahkan kirimkan naskah rekan-rekan ke cermincommunity@plasa.com
atau cermin_community@yahoo.com

Salam Hangat.