Mass narcism yang dimaksud disini secara harfiah dapat diartikan sebagai narsisme massal. Bentuk pelacuran terselubung, yang parahnya menjangkiti orang-orang yang seharusnya menjadi panutan, atau lebih tepatnya akan menjadi panutan. Tanggal 9 April kemarin adalah hari besarnya masyarakat indonesia yang terjadi hanya 5 tahun sekali. Dengan adanya kebijakan baru dalam sistem pemilihan umum di indonesia, akhirnya setiap orang yang merasa mempunyai bakat, ide, kemampuan dan keinginan untuk menjadi wakil rakyat pun berlomba-lomba mencalonkan diri menjadi caleg a.k.a calon legislatif a.k.a calon wakil rakyat.
Pencalonan bebas dengan syarat tertentu pastinya menarik minat banyak orang dari segala golongan untuk ikut mencalonkan diri. Mulai dari kader partai tertentu hingga masyarakat umum seperti pengusaha, pegawai negeri, guru, abdi masyarakat hingga orang yang tergolong kepada masyarakat biasa. Dengan keberadaan orang-orang tersebut, maka mereka pun tentunya memerlukan wadah untuk mengapresiasikan diri sebagai jalan untuk memperkenalkan diri mereka kepada masyarakat. Karena jika tidak, siapa yang akan memilih mereka nantinya? Kalau tidak dikenal, sama saja bunuh diri namanya.
Dengan keadaan seperti itulah poster-poster, baliho, stiker dan kartu nama dilempar ke masyarakat. Foto para caleg dibuat sebagus mungkin, jika perlu diberi finishing touch editan teknologi mutakhir. Senyum manis dipasang, dan kalau perlu diberi embel-embel anak si anu dengan suami si anu yang merupakan keturunan langsung si anu. Ah,, capek bacanya.. bingung juga, sekolahan mana ya yang bisa memberikan gelar segitu panjang?! Sedangkan laki-laki Minang saja harus melalui proses yang panjang untuk dapat menikmati gelar Sutan Rajo Sati.
Memang keberadaan gambar-gambar para caleg ini terkadang memberi sedikit hiburan saat dilihat karena saking kreatifnya, walaupun senyuman yang keluar kadangkala posisinya jadi sedikit miring. Terlihat jelas siapa yang memang fotogenik, yang berfoto hanya untuk keperluan membuat KTP saja, dan siapa yang menyengajakan berfoto hanya untuk tujuan kampanye. Sisi narsis yang terlihat adalah pose, posisi incaran di pemerintahan, embel-embel nggak penting (anak si anu, istri pejabat anu, cucu tokoh masyarakat anu –red). Sementara visi dan misi mereka menjadi tidak penting karena hanya sekedar menjadi penghias pojokan poster,, yang baru akan jelas terlihat jika sudah dalam bentuk baliho berukuran sekian puluh meter.
Sudah jelas sekali para caleg ini merasa perlu menambahkan embel-embel keluarga kaena mereka merasa jika tidak dijelaskan seperti itu maka masyarakat tidak akan mengenal siapa mereka. Palingan tukang sayur langganan atau teman dan kolega saja. Lucunya, jika para caleg ini sudah menyaadri dari awal bahwa tidak semua masyarakat mengenal mereka, dari manakah datangnya keberanian sebegitu besar untuk maju dan mencalonkan diri. Atau sebegitu besarnya kah kepercayaan diri mereka hingga tidak ambil pusing masyarakat mengenal mereka atau tidak? Yang pasti promosi habis-habisan, pamer senyum manis dan berdoa semoga banyak yang memilih karena wajah dan nama mereka kadung lekat dalam ingatan masyarakat.
Belum lagi seorang caleg yang menurut saia sangat berani mati dalam pencalonan kali ini. Setelah sempat didakwa atas kasus korupsi beberapa tahun silam, tokoh ini kembali muncul kepermukaan dengan niatan pencalonan diri sebagai anggota perwakilan rakyat di Jakarta. Saia pikir, apakah calon ini menyangka masyarakat akan sebegitu bodohnya dengan kembali memilih orang yang pernah tersandung perkara korupsi? Memang pada akhir kasusnya, pencatutan dana daerah menjadi bentuk kompensasi pribadi yang besarnya mencapai puluhan juta rupiah perbulannya dianggap masuk akal! Mau belanja Prada dua hari sekali bu’? Walaupun ahirnya dibebaskan dari tuduhan karena alasan yang sangatlah masuk akal ini, saia yakin masyarakat akan mempertimbangkan lebih jauh untu memilih.
Lalu bagaimanakah dengan pentingnya visi dan misi para caleg? Toh, seberapapun besarnya ketulusan niat para caleg dalam berjanji, masyarakat tetap butuh iming-iming. Itu adalah persoalan yang sudah tidak bisa dipungkiri. Apakah masyarakat sudah terlanjur puas hanya dengan menatap senyum para caleg?
Persoalan lain yang tingkatnya lebih besar adalah pemilihan Presiden mendatang. Mulai dari saat ini entah sampai kapan, para tokoh penting negeri ini sudah merancang-rancang pencalonan diri sebagai presiden di pemilu mendatang. Bahkan dengan gagah berani menjatuhkan pihak yang dianggap lawan sekeras mungkin. Tanpa malu menjelek-jelekkan pihak lain dan mendewakan diri sendiri. Sementara pihak yang merasa sebagai korban pelecehan publik itu sendiri sebisa mungkin menangkis cercaan dan mempertahankan profil dengan memberikan pernyataan balasan sebisa mungkin.
Sebegitu menggiurkannya kah kursi presiden itu? Sampai-sampai sebuah tokoh partai berbendera merah hitam yang pada awalnya menentang keras sebuah kebijakan pemerintah yang kontak langsung dengan masyarakat kemudian berbalik arah mendukung kebijakan tersebut dan menjadikannya sebagai slogan dalam promosi partai setelah para kadernya turun sendiri ke lapangan dan melihat betapa masyarakat ternyata sangat menghargai dan menantikan hasil kebijakan tersebut karena bagi mereka terlihat lebih nyata dan terasa manfaatnya. Benar-benar suatu aksi bunuh diri politik dan sosial secara sadar yang mungkin bukannya menaikkan pamor mereka malah membuat masyarakat semakin jijik dan anti kepada mereka.
Seorang “tokoh” yang tidak mau disebut begitu pernah menyatakan bahwa “daripada berjanji, lebih baik berniat”. Diluar ketulusan niat itu sendiri, masyarakat memang membutuhkan sesuatu yang sifatnya tidak bertele-tele. Tapi kehidupan masyarakat yang masih morat marit menjadikan masyarakat seperti berlagak buta-tuli-bisu dan akhirnya menjatuhkan pilihan kepada calon yang dengan janji-janjinya dianggap dapat mencerahkan kehidupan kelak. Apakah sebentuk foto dan nama bertuan yang bergelimpangan dipinggir jalan dan diseantero wilayah kota benar-benar dapat memikat hati masyarakat?
_Mira_
Good Bye Mila
4 bulan yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Bila anda ingin menanggapi posting ini, silahkan tuliskan komentar anda di sini.
Bagi rekan-rekan mahasiswa fakultas sastra Unand yang berminat mempublikasikan tulisannya di Blog Cermin Comunity, silahkan kirimkan naskah rekan-rekan ke cermincommunity@plasa.com
atau cermin_community@yahoo.com
Salam Hangat.