*oleh TS. Frima
Ini sebuah buku yang melenakan.Secara umum, antologi Pengantin Subuh bercerita tentang tradisi merantau. Tradisi yang menjadi ciri masyarakat Minangkabau ini ternyata kerap membawa kegalauan bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya; baik itu bagi orang yang ingin merantau, bagi orang yang sedang berada di perantauan, maupun bagi orang yang ditinggalkan di kampung.
Dalam pikiran beberapa tokohnya, rantau dibayangkan sebagai negeri impian, negeri harapan, negeri yang menjanjikan kesuksesaan dan kebahagiaan; sedangkan kampung dirasa sebagai negeri yang sepi, membosankan, negeri dengan segala batasan yang mengekang dan mengandaskan cita-cita (lihat Menjelang Subuh dan Jalan Mati). Apa yang tidak bisa didapatkan di kampung, bisa dinikmati sepuasnya di rantau (lihat Pengantin Subuh). Itulah sebab, orang muda menjadi begitu risau diam di kampung dan menjadi begitu ngotot ingin merantau (lihat Menjelang Subuh, Ibu Hujan).
Bagi perantau, negeri orang yang mereka datangi kerap membawa dilema. Tidak jarang pengarang menyatakan, baik secara tersurat maupun tersirat, bahwa rantau mampu menelan dan menghanyutkan orang-orang. Contohnya dalam Perempuan Bau Asap pada paragraph penutupnya, dalam Induak Tubo (halaman 42), atau dalam Ketan Durian. Dalam Pengantin Subuh, dikisahkan dilema seorang perempuan yang memilih hidup di rantau dengan lelaki yang meminangnya. Di hari tua, pilihan ini menerbitkan sesal yang tak bisa ditanggungnya, sehingga ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri dengan sebilah pisau. Lain lagi kisah Siti, seorang gadis yang dibesarkan di rantau, dalam cerpen Saudara Sesusuan. Ia harus menerima kenyataan bahwa pemuda yang ingin dinikahinya ternyata adalah saudara sesusuannya.
Akan halnya kerisauan orang yang ditinggalkan di kampung, bisa kita telusuri dalam beberapa cerpen. Misalnya dalam Ibu Bau Asap, cerita tentang ibu yang mesti berpisah dari anak bungsunya yang pergi ke kota untuk menjadi bintang televisi, serupa dengan cerita seorang ibu buta yang mesti melepas anak semata wayangnya pergi ke luar negri untuk bekerja dan berkuliah dalam cerpen Ibu Hujan. Ada juga kisah Odang Niro dalam cerpen Induak Tubo, yang tidak mempunyai anak perempuan sehingga ia mati kesepian ditinggal semua anak lelakinya yang merantau, dan kisah seorang perempuan yang resah menunggu kepulangan anak-anaknya dari rantau menjelang lebaran dalam cerpen Baju Berkancing Peniti. Kemudian ada cerpen Yang Terbungkuk-Bungkuk Di Halaman mengisahkan seorang tua yang mendapat firasat tak enak tentang anak-anaknya di rantau. Keadaan kampung yang ditinggalkan dapat pula kita telusuri dalam Jalan Mati yang mengisahkan keadaan alam yang menyulitkan, dan Imam Sunyi yang mengisahkan mushala yang sepi ditinggal jamaah seperti juga sawah yang sepi ditinggal petani sebagai akibat arus urbanisasi dan modernisasi.
Bagi saya, kekuatan utama antologi cerpen Zelfeni Wimra ini terletak pada kekentalan budaya Minangnya. Pengarang mampu merekam berbagai hal—mulai dari sejarah, persoalan sosial, sampai pada kebiasaan masyarakat agraris Minang termasuk unsur klenik yang mewarnainya—dan kemudian menampilkannya kembali dengan apik dalam cerpen-cerpennya. Kekuatan ini pulalah yang memberi daya pada tiap cerpen untuk membuat pembacanya terlena.
Lihatlah cerpen Bunga Dari Peking yang menggambarkan sejarah komunisme di daerah atau kisah mistis Orang Kampung Hilang yang dikaitkan dengan penjajahan Belanda. Persoalan sistem matrilineal yang dipakai masyrakat Minang pun dimunculkan dalam Rumah Batu Bersendi Kayu. Masalah bias gender dalam tradisi merantau di mana anak perempuan tidak dibebaskan meninggalkan kampung seperti anak lelaki juga disinggung dalam Menjelang Subuh, Madah Anak Laut, dan Ibu Hujan. Persoalan sensitif semacam streotip negatif terhadap institusi pendidikan islam diangkat dalam Madrasah Lumut, dan persoalan chauvinisme (membanggakan dan mengagungkan negri/bangsa sendiri secara berlebihan) dimunculkan dalam Negeri Air. Sementara itu cerpen Wan Tulin tentang lelaki gila yang dipasung hingga lumpuh, dan cerpen Sepeda Malik Tumbang tentang perampok yang menyumbangkan banyak uang untuk mesjid mengajak kita bertanya pada diri sendiri, sudah benarkah virtue dan norma yang kita anut selama ini.
Dalam aspek penggunaan bahasa, nampak pengarang berusaha untuk memadukan kejelasan menyampaikan isi dan kelembutan bernarasi, sekaligus berusaha memberikan citarasa Minangkabau yang kental, melalui pemilihan kata yang lugas dan puitis. Ditengah serbuan karya sastra populer (pop literature) yang bertabur kosa kata Betawi dan Inggris, juga novel islami yang penuh kosa kata Arab, cerita-cerita Zalfeni yang semarak oleh kosa kata Minang seperti memberi kesegaran tersendiri. Meski penggunaan diksi tertentu yang berulang dari satu cerpen ke cerpen berikutnya beresiko memberi kesan monoton pada isi keseluruhan buku, namun hal itu tidaklah terlalu kentara karena tiap cerpen memiliki latar yang khas dan karakter yang kuat.
Terlepas dari segala tinjauan di atas, buku ini sungguh menarik untuk dijadikan alternatif bacaan. Cerita-ceritanya tak hanya sebatas melenakan, tetapi juga mengajak pembaca untuk lebih mengenal adat dan masyarakat Minagkabau, sekaligus menyediakan hikmah untuk digali. Semoga kita bisa menemukan pencerahan daripadanya.
Identitas Buku
Judul: Pengantin Subuh
Penulis: Zelfemi Wimra
Penerbit: Lingkar Pena Publishing House
2009