Sabtu, 15 Mei 2010

Matahari

oleh Muhammad Adek


Sebelumnya dipublikasikan pada

11 April 2010 at 22:58


Kau,

yang terlahir kembali

seperti cetak biru,

pada raga yang anomali.


Kau,

yang mungkin hanya pengulangan

dari dia,

tiruan dari segala macam tiruannya,

keserasian bentuk ragaannya.


Kau,

yang kutulis lagi,

diatas kenangan yang tertumpuk mati.

Kuharap kau

sanggup menyiasati

bayang-bayang dia,

yang berdikari bagai

Matahari.



Catatan editor

oleh T. S. Frima


Sajak berjudul Matahari oleh Muhammad Adek ini cukup mudah dinikmati dan dipahami karena memakai rima yang jelas dan majas yang gamblang.

Dari segi bentuk, agaknya sajak ini dapat digolongkan sebagai free verse, sebab tidak ditemukan pola matrikal yang tetap di dalamnya baik dari segi silaba maupun rima. Satu-satunya yang menjadi pola adalah, setiap bait selalu diawali kata ‘kau’ yang berdiri sendiri di baris pertama.


Dengan menyebutkan ‘kau’ secara berulang dan memberinya posisi yang mencolok, sekilas tampak bahwa penyair ingin menjadikan ‘kau’ sebagai pusat sajaknya. Tapi benarkah demikian?

Pada bait pertama, pembaca diperkenalkan pada tokoh ‘kau/ yang terlahir kembali’. Kata ‘kembali’ menunjukkan sebuah proses pengulangan; artiya, sebelumnya ‘kau’ sudah pernah lahir, dan kita terlahir (atau dilahirkan?) lagi. Pada baris ketiga, kata ‘cetak biru’ (blue print) secara literal berarti desain yang dipedomani untuk membuat suatu benda. Sedangkan pada baris keempat, kata ‘anomali’ berarti aneh, ganjil atau tak normal.

Bait pertama ditulis sebagai satu kalimat yang dipotong-potong. Secara struktur, kalimat tersebut memiliki klausa utama yang berbunyi ‘kau seperti cetak biru pada raga yang anomali’, dan disisipi oleh frase keterangan ‘yang terlahir kembali’ yang sifatnya tambahan. Dari sini, kita dapat memahami bahwa ‘kau’ berasal dari sebuah desain yang sekali lagi terwujudkan kedalam tubuh yang nyata, namun tubuhnya kali ini terlihat ganjil dan aneh.


Bait ke-dua masih menyoroti ‘kau’, kali ini dengan keterangan yang lebih verbal. Baris ke-duanya yang berbunyi ‘yang mungkin hanya pengulangan’ adalah penegasan dari baris ke-dua pada bait sebelumnya yang menyebut ‘terlahir kembali’. Baris ketiga yang berbunyi ‘tiruan dari segala tiruannya’ mengingatkan kita pada pendapat Plato dalam buku Republic.

Pada bab kesepuluh dalam buku tersebut, Plato berargumen bahwa dunia ini terdiri dari dua bagian: dunia ide dan dunia benda. Ide bagi Plato adalah cetak biru atau desain universal dari semua benda yang ada di alam; dan karenanya ide tersebut adalah milik Tuhan. Misalnya, ada begitu banyak kuda di dunia, tapi semua kuda berbentuk sama, itu karena semua kuda berasal dari ‘cetakan ide’ yang sama; meskipun dalam detail ada ukuran yang berbeda dari kuda yang satu ke yang lain. Begitu pula tentang tempat tidur; meskipun bervariasi dalam ukuran dan ornamen, tapi semua tempat tidur memiliki bentuk dasar yang sama, dengan empat kaki dan bagian lebar untuk menopang tubuh manusia. Dengan demikian, benda-benda kongkrit adalah tiruan dari ide. Lalu, yang disebut Plato sebagai tiruan dari tiruan adalah karya seni. Misalnya, lukisan tempat tidur adalah tiruan dari ‘benda tempat tidur’ yang sebenarnya; sedangkan ‘benda tempat tidur’ itu sendiri adalah tiruan dari ‘ide tempat tidur’.

Berdasarkan keterangan ini, kata-kata ‘kau,/ yang mungkin hanya pengulangan/ dari dia,/ tiruan dari segala macam tiruannya,’ menunjukkan bahwa ‘kau’ adalah sebuah karya seni, bukan benda kongkrit.

Bait ini juga memperkenalkan kita pada tokoh ‘dia’ yang memiliki ‘keserasian bentuk ragaan’ dan merupakan benda kongkrit yang coba ditiru oleh ‘kau’.


Bait ke-tiga memainkan fungsinya sebagai penutup dengan menjelaskan arti ‘kau’ dan ‘dia’ bagi ‘aku’ lirik. ‘Kau,/ yang kutulis lagi,/ di atas kenangan yang tertumpuk mati,/’ pada baris satu sampai tiganya mengindikasi bahwa ‘kau’ adalah sesuatu yang dicipta ‘aku’ secara sengaja. Sedangkan kata-kata ‘Kuharap kau/ sanggup menyiasati/ bayang-bayang dia,/ yang berdikari bagai/ Matahari./’ menjelaskan motif ‘aku’ membuat ‘kau’, yaitu untuk menanggulangi ‘bayang-bayang dia’ yang selalu hadir begitu kuat dan tak bisa disangkal, selayaknya ‘matahari’.


Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa ‘dia’ adalah sosok yang penting bagi ‘aku’. Namun ‘dia’ sudah bukan lagi sesuatu yang ada bagi ‘aku’; ‘dia’ tinggal bayang-bayang dan lekatan pada ingatan. Sebagai pelarian, ‘aku’ menciptakan ‘kau’ berdasarkan citra ‘dia’ selaku cetakan. Meskipun ‘kau’ hanya tiruan yang tidak sesempurna sosok aslinya, dengan naif ‘aku’ tetap berharap ‘kau’ dapat mengalihkannya dari ‘dia’.

Jelaslah bahwa sebenarnya yang menjadi pusat dari sajak ini adalah ‘dia’, yang sudah bagaikan matahari bagi ‘aku’. Itulah sebab Matahari diletakkan sebagai judul, sebagai penunjuk dari sentra cerita.


Tulisan ini telah mengalami proses editing oleh admin Cermin Community. Untuk melihat versi awal dari tulisan ini, silahkan kunjungi laman ini.


Rabu, 05 Mei 2010

Negosiasi Jiwa


Oleh Muhammad Adek


Sebelumnya dipublikasikan pada

11 April 2010, 22:49


Aku kepingin membeli sejumput keberanian di kedai hatiku.

Tapi mereka menjualnya dengan harga yang sangat menguras logika. Pundi-pundiku seakan cuma bahan ejekan buat mereka yang duduk di balik meja kasir.

Tapi, ragaku benar-benar sakau memujanya.

Tunggu, buat apa membeli? Sempat terfikir olehku 'tuk meminjamnya saja. Mungkin beberapa minggu sudah lebih dari cukup; cukup 'tuk menakhlukkan kebimbangan jika nanti saatnya tiba.

Ya, saat di mana aku dan jiwaku tak saling menyapa atau bertegur-ria. Saat mereka saling menghadapkan punggung mereka.

Ya, aku akan sangat membutuhkannya.


Sekali lagi kudatangi pertokoan keberanian yang berjejer rapi di sekitar relung hatiku. Kutatap penuh mereka dengan pandangan curiga. Kulihat, stock keberanian mana yang paling sesuai permintaan ragaku.

Ya, itu dia, prasangkaku mendera. Aku menemukannya tergantung megah menunjuk langit-langit merah.


"Permisi, saya membutuhkan sejumput keberanian yang bertepikan ketangguhan dan berujungan kekuatan. Apakah anda bisa memberikan contoh yang terbaik untuk saya?", tanyaku pelan.


"Ya. Kami disini memang menyediakan beberapa jumput keberanian. Dari buatan pengalaman bahagia ataupun kejadian paling memilukan. Dari yang paling alamiah hingga yang sangat dibuat-buat. Tapi maaf, kami tak menjualnya dengan uang. Kami butuh yang lebih dari sekedar uang. Anda mengerti?", jawab Sang Penjaga Toko.


"Saya mohon, saya sangat membutuhkan keberanian itu, tuan. Hanya itu bahan pokok saya 'tuk bertahan dalam persaingan hidup yang teramat kejam ini, tuan. Sekali lagi saya memohonkan kehibaan tuan terhadap keluguan saya. Saya benar-benar membutuhkannya, sungguh!", jawabku dengan sangat menyedihkan.


"Sekali lagi maaf, harga keberanian ini tak dapat lagi dinegosiasi. Ini harga mati, tuan. Silakan cari penjual lainnya di seberang sana, karena kami tak menerima pelanggan berhati kerdil seperti anda. Anda mengerti?", balasnya dengan berapi-api.


….


Kuseret langkahku bersama ceceran harga diri yang terberai lusuh di sekujur perjalanan pulangku.

Dan aku pulang dengan membawa sepotong sendu serta sekotak kekecewaan mendalam.



Catatan:

Tulisan ini telah mengalami proses editing oleh admin Cermin Community. Untuk melihat versi awal dari tulisan ini, silahkan kunjungi laman berikut.