Sabtu, 21 Maret 2009

"Belaian Seorang Pendosa"

Tersentuh belaian seorang pendosa
Bersama tiupan angin di tepian pantai

"Tukar arah"

Terunut setiap garis persimpangan

"Kawanan Aneh Bermuka Tiga"

Kawanan aneh bermuka tiga

"Hebat Itu Aku"

Hadirmu aku tunggu dengan denyutan nadiku

"Entah Mengapa Menjadi Kerontang?"

Kepala anjing yang melingkari hati

"Arti Malam"

Ketika serangga kecil bernyanyi dibawah sinar purnama

Frankenstein Dan Secangkir Kopi

Pementasan drama berjudul Frankenstein di ruang seminar fakultas sastra Universitas Andalas, pada hari kamis tanggal 19 Maret 2009 sangat menarik untuk dibedah. Drama ini adalah sebuah pencapaian gemilang dari komunitas cermin yang beranggotakan mayoritas mahasiswa sastra Inggris. Drama ini saya anggap cukup berkaliber karena tidak hanya membawa diskursus subordinasi sains, tetapi juga menjadi kamuflase dari sebuah distribusi metadiskursus patriarkhi.

Karakter monster dalam drama ini diperankan oleh seorang wanita dengan dua wajah. Dalam momen diskusi pasca pementasan, terungkap sebuah kritikan terhadap masalah sosial masyarakat, dimana wanita dianggap sebagai penyebab permasalahan dalam rumah tangga. Hal ini lebih jauh mengisyaratkan bahwa hadirnya kajian dan gerakan feminisme adalah ‘virus’ yang merubah wanita menjadi ‘monster’. Diskusi semakin manarik dengan munculnya sebuah diskursus ‘setelah munculnya feminisme, wanita menjadi enggan untuk membikin secangkir kopi untuk suaminya’. Implikasi logis dari diskursus ini adalah wanita tidak mau lagi mengurusi seluk beluk urusan domestik rumah tangga akibat pengaruh kajian feminisme. Inilah metadiskursus patriarkhi dibalik drama Frankenstein kemarin. Saya memahami permasalahan rumah tangga antara suami dan istri adalah suatu ranah kajian yang cukup rumit, dan adalah tidak adil jika secara langsung mendakwa perempuan sebagai ‘biang kerok’ perpecahan rumah tangga. Seharusnya permasalahan ini dilihat dari banyak sisi, tidak dari satu sudut pandang saja. Saya yakin jika suami telah memenuhi kewajiban dan fungsinya secara baik dan benar (lahir dan bathin), maka tidak akan ada lagi perempuan yang enggan memenuhi peranannya dalam rumah tangga secara baik dan benar juga.

Jadi ternyata permasalahannya tidak semata-mata terletak di bahu perempuan. Ada semacam usaha-usaha taktis dan ideologis untuk mempersempit objek terdakwa menjadi satu kelas gender saja, yaitu perempuan. Saya mencoba membongkar trace dan aporia dari permasalahan ini, saya menemukan bahwa seorang suami sebagai salah satu pelaku sosial dan bagian elemen masyarakat, akan menemui kesulitan dalam memenuhi tanggung jawabnya ketika masyarakat tersebut telah menjadi objek eksploitasi ‘gurita kapitalisme’. Dalam konteks ini, kapitalisme telah berkolaborasi dengan kekuasaan sosial patriarkhi untuk membentuk identitas masyarakat. Seorang kepala perusahaan misalnya, kapitalisme membentuk identitasnya menjadi kelas pekerja baru, semua kebutuhan material keluarganya terpenuhi, akan tetapi, sebagai konsekuensi, ia harus mencurahkan mayoritas waktunya untuk kepentingan kapitalisme, sehingga perhatiannya kepada keluarga sangat minim, upaya pemenuhan kebutuhan bathin untuk istri nyaris hilang. Akibatnya, sang istri enggan untuk menjalankan perananannya dengan baik dan benar. Demikian juga dengan objek eksploitasi kelas bawah kapitalisme, kuli bangunan misalnya, kesulitan memenuhi kebutuhan material keluarga akibat upah yang sangat minim, hal ini membuat sang istri kembali enggan untuk memenuhi fungsinya.

Kolaborasi patriarkhi dan kapitalisme membangun dimensi ideologis pria sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab penuh terhadap pemenuhan kebutuhan material, akan tetapi buta terhadap pemenuhan kebutuhan bathin seperti kasih sayang dan perhatian. Strategi kapitalis dan patriarkhi disini adalah membangun identitas pria sebagai pelaku sosial dominan dalam keluarga, dan mengekploitasi mereka dengan cara membentuk dimensi ideologis yang terpusat pada pemenuhan kebutuhan material keluarga, kemudian meng-eliminasi pemenuhan kebutuhan bathin. Dengan terpusatnya identitas dan ideologi kaum pria untuk memenuhi kebutuhan material keluarga, maka kapitalisme akan semakin diuntungkan, karena hal ini akan meningkatkan efektifitas sistem produksi dan laba.

Kapitalisme dan patriarkhi adalah dua kekuasaan organik sosial, disebut juga bio-power, bekerja langsung pada tataran ideologis masyarakat, menciptakan sistem kontrol dengan membentuk identitas masyarakat sesuai dengan kepentingan-kepentingan strategis kedua kekuasaan tersebut. Kedua power ini merasuki segenap praktek-praktek sosial masyarakat baik yang dikursif maupun non-diskursif. Salah satu instrumen taktis kedua kekuasaan itu adalah diskursus, dan dalam pementasan drama Frankenstein kemaren telah terdeteksi eksistensinya. Drama ini telah menjadi ajang distribusi diskursus patriarkhi, akan tetapi hal tersebut tidak menurunkan kualitas dramanya, karena justru dengan keberadaan diskursus patriarkhi itulah maka drama Frankenstein menjadi sangat menarik untuk menjadi ‘ajang pembelajaran’ bagi kita semua.

Saya mengharapkan komunitas cermin tetap produktif, serta aktif dalam mengkritisi beragam masalah sosial secara adil dan tajam. Keberadaan komunitas cermin penting untuk membangun masyarakat yang berbudaya. Kepada segenap anggota komunitas, terus budayakanlah berpikir kritis, tidak hanya terhadap masalah sosial, tetapi juga terhadap peran yang akan dimainkan.



Oleh : Novra Hadi

Rabu, 18 Maret 2009

First Performance

Kawan-kawan,, catat hari itu! kamis 19 Maret 2009 sebagai hari bersejarah kita,, karena pementasan perdana adalah sebuah waktu yang sangat bersejarah yang patut kita catat dan abadikan. kalau perlu,, rayakan!! Cheers.......!

* Ruang Seminar Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang,, pukul 13.00 WIB

****

Adakah Frankenstein menemukan kebahagiaannya sebagai makhluk yang dianggap terkutuk karena dibangkitkan dari tidur panjangnya yang gelap dan dingin?

Jumat, 13 Maret 2009

Teater STSI di Rang Kayo Basa

Senin malam 23 februari 2009 STSI Padang Panjang menampilkan satu perjuntukan teater dalam acara yang diselenggarakan oleh mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Andalas. Pertunjukan ini mengangkat tema yang menarik. Pertunjukan yang bertempat di gedung pertemuan Rang Kayo Basa kali ini memang tidak sepeti yang biasanya. Tidak ada latar hitam pada dinding belakang panggung dan lantai kayu yang juga bercat hitam. Pertujukan ini ditampilkan langsung berhadap-hadapan dengan penonton. Keadaan ini mestinya menambah kentalkan isi dari pertunjukan ini. Pada kenyataannya, persiapan yang memakan waktu terlalu lama membuat penonton kehilangan konsentrasi awal. Perhatian penonton yang sudah terpusat pecah dan suara ribut mulai menggema diseluruh ruangan. Biarpun begitu, penantian yang lumayan lama tersebut terobati dengan pembukaan yang membuat semua penonton terdiam.

Adegan awal yang ditampilkan oleh kelompok teater yang dimainkan oleh tiga orang pria dan satu wanita ini menempatkan ketiga aktor pria kedalam kerangkeng kayu, sedangkan aktor wanitanya berada di luar kerangkeng. Gerakan-gerakan yang dimainkan oleh para aktor didalam kerangkeng mereka masing-masing adalah gerakan tari yang menyerupai gerakan silat khas Minangkabau. Hal ini menurut saya adalah gambaran yang jelas mengenai keadaan yang kini terjadi di ranah Minangkabau. Gerakan-gerakan silat tersebut menyimbolkan budaya, adat, dan nilai-nilai yang ada di Minangkabau. Namun hal tersebut diatas kini telah terkungkung dalam kerangkeng-kerangkeng perubahan. Bagaimana tidak, nilai-nilai, adat serta budaya yang seharusnya menjadi ciri atau karakter yang kuat bagi masyarakat Minangkabau kini telah terbungkam secara langsung atau tidak. Bila kita tilik kehidupan masyarakata Minangkabau saat ini, maka akan muncul banyak ketidakseimbangan di berbagai lini-lini sosial. Bila kita bicara tentang Minangkabau, maka kita tidak akan terlepas dari kehidupan berserikat dan bermusyawarah. Sebuah pepatah berbunyi, bulek aia dek pambuluh, bulek kato dek mufakat. Pepatah ini merupakan karakter kuat masyarakat Minang tentang kehidupan sosial. Namun kini, pepatah tinggallah pepatah. Pepatah kini dianggap sesuatu yang tua. Sesuatu yang hanya dijalankan oleh orang-orang tua. Dan sesuatu yang tua itu sudah mulai ditinggalkan, dimakan waktu dan perubahan. Kita bisa ambil contoh surau. Surau dulu, merupakan simbol kuat masyarakat Minangkabau. Tidak hanya tempat shalat dan tempat mengaji. Surau mengambil peran penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Surau merupakan lembaga musyawarah mengenai hal-hal yang berkenaan dengan adat dan budaya.

Dulu, surau merupakan lembaga pembelajaran berbagai macam ilmu. Di surau semua orang sama-sama belajar mengenai agama, nilai-nilai kehidupan dan bahkan belajar beladiri. Surau merupakan tempat dimana para anggota belajar menjalankan peran sosial mereka masing-masing sebagai anggota masyarakat. Kini, surau hanyalah sebuah bangunan. Tempat dimana orang-orang tua shalat dan mengaji. Sedangkan yang muda-muda sibuk dengan hal-hal yang dibawa waktu dan perubahan. Mereka lebih senang berurusan dengan sesuatu yang berbau teknologi dan segala perihal yang katanya modern. Mereka lebih senang menghabiskan waktu berjam-jam untuk hanya sekedar bermain game atau menonton acara televisi. Hal ini jelas akan membunuh kreativitas. Diterima atau tidak itulah polemik yang tengah terjadi pada generasi muda minangkabau. Saya rasa inilah salah satu masalah yang ingin diangkat oleh kawan-kawan dari STSI Padang Panjang agar kita semua tidak menutup mata akan hal ini. Satu hal lagi yang menarik. Bila kita perhatikan tokoh wanita pada pertujukan ini, kita akan menemukan masalah lainnya. Tokoh ini berperan sebagai perempuan Minangkabau yang memakai baju adat. Baju adat perempuan minang yang seharusnya memiliki bagian runcing yang menyerupai tanduk kerbau pada bagian penutup kepalanya (tingkuluak). Tetapi tokoh ini tidak memakai hal yang demikian. Hemat saya, hal ini merefleksikan permasalan mengenai perempuan dan fungsinya di Minangkabau. Perempuan Minang memiliki peran dan fungsinya tersendiri. Perempuan menempati kedudukan tertinggi dalam tatanan sosial masyarakat. Namun pada kenyataannya kini, perempuan tidak lagi menjalankan fungsi dan peran sebagaimana mestinya. Waktu dan perubahan membawa perempuan-perempuan Minang kepada suatu lubang hitam yang kita kenal dengan feminisme. Suatu pola pemikiran yang katanya mengangkat nilai-nilai perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Suatu paham yang diartikan pengagung-agungan terhadap perempuan. Percaya atau tidak paham-paham ini telah telah berkembang di tengah-tengah masyarakat Minangkabau. Perempuan yang ditempatkan pada posisi yang istimewa justru menuntut hak-hak yang tidak pada tempatnya. Bagaimana tidak istimewa, perempuan memegang peranan yang sentral, perempuan yang memiliki harta warisan di minangkabau dan laki-laki hanya sebagai pengelola saja. Masalahnya lagi, sebenarnya pemikiran ini muncul di negara-negara yang memang menindas dan mengungkung hak perempuan sejadi-jadinya. Kenapa paham seperti ini bisa berkembang di tanah tempat harkat perempuan dijunjung tinggi? Padahal yang menjadi titik tujunya adalah kebebasan. Perempuan menuntut kebebasan-kebebasan yang sama dengan laki-laki. Perempuan ingin menempatkan diri layaknya kaum laki-laki. Padahal, kita semua telah memiliki peran dan fungsi masing-nasing di dalam kehiduoan sosial. Dalam tatanan sosial Minangkabau hal ini akan menjadi masalah. Masalah ini menjadi lebih rumit saat para perempuan itu tidak berkenan lagi menyediakan secangkir kopi atau menyetrika baju sang suami. Lebih buruknya lagi, beberapa perempuan diantaranya memilih untuk tidak menikah, atau menolak menyusui bayinya sendiri. Padahal, inilah yang membuat seorang perempuan itu begitu istimewa. Sekali lagi nilai-nilai telah berubah dan akan terus berubah. Hal ini berdampak buruk pada kehidupan bermasyarakat. Satu lagi dampak dari paham-paham dan pemikiran feminisme yang diangkat oleh kawan-kawan dari STSI adalah hilangnya jati diri seorang Minang. Sayup-sayup terdengar aktor laki-laki berkata, ‘ siapa aku, dimana ibuku, dimana rumahku?’. Ini merupakan dampak yang sangat jelas jika seorang ibu tidak lagi memainkan perannya sebagaimana mestinya. Maka yang ada hanyalah kebutaan terhadap asal usul. Satu lagi indikasi yang bisa kita tanggap dari dialog yang sayup-sayup itu adalah kenapa sang anak hanya menanyakan perihal ibu dan rumahnya? Ya kerena di ranah Minang ini, sekali lagi, perempuan begitu istimewa. Ranah bundo, ranah para ibu, tempat dimana perempuan sangat dijunjung. Rumah adalah haknya perempuan. Tempat para suaminya menumpang. Kenyataannya persoalan yang diangkat kawan-kawan dari STSI ini bukanlah sesuatu yang baru. Tema seperti ini telah diangkat kepermukaan walaupun dengan bentuk-bentuk berbeda. Sangatlah jelas bila kita tarik satu simpul bahwa polemik ini masih dan akan terus berkembang. Setidaknya ada orang-orang yang resah yang ingin menyampaikan bahwa ada sesuatu yang salah dengan kita. Sesuatu yang salah dari dalam. Dan akan merusak dari dalam.

Bila kita berbicara isi pertunjukan ini, maka kita tidak akan luput dari properti. Ketika para aktor menyusun kerangkeng kayu yang tadinya adalah penjara menjadi bentuk-bentuk tingkatan. Ketika tingkatan tersebut terbentuk dan para aktor telah berada diluar kerangkeng, lalu tokoh perempuan berbalik terperangkap dalam kerangkeng tersebut. Dalam hal ini saya tidak menangkap jelas pesan yang ingin disampaikan. Terlepas dari hal itu, penggunaan properti yang tepat sangat menunjang suatu pertunjukan, ditambah lagi penampilan para aktornya yang total. Gerakan-gerakan yang total dan suara yang lantang membuat pertunjukan ini menjadi begitu menarik. Menarik memang bagi orang yang menganggap bahwa pertunjukan ini memiliki sesuatu yang menarik. Menarik bagi orang-orang yang asyik menikmati sendiri pertunjukan yang berlangsung walaupun mereka tidak mengerti. Memang tidak perlu pengertian dalam menikmati. Orang-orang yang mencari tempat terdepan dalam begitu banyak kerumunan. Tidak menarik bagi orang-orang yang berada dalam gedung yang sama tapi entah dengan tujuan apa. Orang-orang yang gaduh yang membuat resah orang lainnya. Orang-orang yang tidak peduli pada nilai-nilai juga oreang yang tidak peduli pada pesan-pesan. Entah tidak mau tahu atau memang tidak tau apa-apa. Mungkin hal ini juga menjadi sebab mengapa tema yang sama ini masih terus diangkat. Karena masih saja ada orang-orang yang tidak peduli. Sekalipun pesan-pesan itu dibungkus dalam wujud pertunjukan, bukan dalam bahasa yang verbal. Kkita ini kan bukan orang-orang bodoh yang hanya mengerti jika sudah dibahasakan langsung. Katanya kita orang-orang yang berpendidikan. Atau memang kita seperti itu? Untuk mengerti kita perlu bahasa yang verbal, lalu spanduk-spanduk dan poster-poster jadi alat komunikasi kita. Seni, khususnya teater di sini telah menagmbil perannya dalam tatanan sosial masyarakat. Teater tampil sebagai lembaga atau wadah penyampaian uneg-uneg. Hanya saja masih banyak yang tidak begitu peduli.




-Pinyu-