Rabu, 25 Februari 2009

Kreatifitas Yang Salah Tempat

Iklan adalah sebuah keistimewaan. Sebuah kata benda yang sangat berharga. Melalui iklan, apapun bisa dijual. Benda, jasa bahkan manusia. Dalam tanda kutip, menjual profil seseorang untuk tujuan dan maksud tertentu. Iklan terbagi dalam iklan cetak, iklan radio dan iklan televisi. Saat sekarang ini, iklan yang paling mudah menarik konsumen adalah iklan televisi. Tanpa mengesampingkan iklan cetak maupun iklan radio, iklan televisi lebih tepat sasaran dan efektif. Semua itu karena keunggulan audio visual yang dimiliki oleh televisi. Berbeda dengan iklan cetak yang hanya mengandalkan visual, dalam arti kata gambar dan tulisan, dan iklan radio yang hanya mengandalkan stimulus audio, iklan televisi mengedepankan keuntungan adanya stimulus visual yang diperkuat oleh stimulus audio.

Iklan-iklan televisi saat ini semakin semarak dengan munculnya ide-ide baru yang segar dan fresh. Tidak hanya berkutat dalam permainan gambar ataupun bintang iklan yang cantik dan ganteng, tetapi juga menggunakan pilihan dan susunan kata yang terkadang menggelitik dan memancing keingintahuan penonton sehingga mereka terkadang menyengajakan menunggu iklan tersebut hanya untuk menikmati kreatifitas si pembuat iklan.

Banyak sekali iklan televisi yang sekarang tidak hanya sekedar memajang wajah-wajah cantik dan ganteng. Terkadang sebuah iklan yang menarik hanyalah terdiri dari beberapa kalimat narasi dan gambar background, tetapi rasanya sayang sekali untuk dilewatkan setiap kali penayangannya karena memang tampilannya menarik. Beberapa kategori iklan yang menarik seringnya muncul di iklan rokok, minuman, kartu seluler atau iklan produk bayi. Terutama pada iklan rokok, terlihat sekali bahwa pihak produsen dan distributor rokok benar-benar habis-habisan untuk menarik minat konsumen dengan mengedepankan stimulus konsumtif melalui iklan yang menarik dengan ide-ide yang tidak hanya segar, bahkan gila. Hal tersebut sangat potensial menarik penonton untuk mengikuti jalan cerita yang ditawarkan dan bukan tidak mungkin menjadi konsumen produk rokok bersangkutan setelah menonton iklan tersebut.

Merek rokok yang diakui cemerlang dalam menampilkan ide iklan yang gila dan fresh diantaranya A Mild, Sampoerna Hijau dan LA Lights. Ada-ada saja ide baru yang ditampilkan disetiap iklan yang ditampilkan, dan tidak hanya monoton dengan satu iklan saja, melainkan hingga dibuat beberapa tema dan jenis iklan yang berbeda dengan tujuan sama. Tidak bisa dibantah bahwa iklan-iklan tadi benar-benar menarik keingintahuan penonton untuk mengikuti jalan ceritanya. Dengan paduan kata-kata unik yang dibalut unsur komedi, susah rasanya untuk mengganti channel sebelum iklan tersebut habis. Sebut saja iklan Sampoerna Hijau dalam berbagai versi. Versi bedug, versi lebaran, dll. Kekonyolan yang ditampilkan mematahkan definisi awam iklan, yaitu memindahkan channel siaran televisi ketika tayangan sudah berganti ke iklan.

Satu hal yang sangat saya sayangkan hanyalah proporsi eksplorasi ide-ide tadi. Mengapa ide-ide gila tadi lepas ke bentuk iklan produk yang seharusnya tidak terekspos sebesar itu. Rokok adalah racun. Tidak hanya membunuh konsumennya, bahkan dua kali lebih berbahaya bagi non konsumen. Sehingga teman saya pernah melontarkan joke ketika saya memprotes dia saat merokok; “kalo kamu memang nggak mau mati cepat gara-gara asap rokok saya, sekalian aja kamu ngerokok. Toh perokok pasif justru dua kali lebih besar resikonya terkena kanker.” Weleh, mau marah tapi yang dia bilang itu masuk akal sekali. Saya malah jadi ketawa nggak jelas.

sumber gambar

Kemunculan iklan-iklan rokok yang kreatif memang membawa perubahan besar dalam penjualan produk. Grafik selling meningkat dan iklan-iklan pun semakin kreatif, membawa keuntungan yang semakin besar pula bagi produsen. Saya sangat menyadari sekali besarnya perubahan yang ditimbulkan oleh kegilaan dan kekonyolan yang ditampilkan. Beberapa teman saya yang “jadi korban” pun berpindah hati dengan mencoba mengkonsumsi merek rokok yang ide iklannya kreatif. Sedemikian besarnya pengaruh iklan yang menarik terhadap masyarakat. Pertanyaannya adalah, mengapa justru ide-ide kreatif tersebut tidak ada sumbangsihnya terhadap sesuatu yang jauh lebih berguna bagi perkembangan masyarakat? Contoh : iklan layanan masyarakat.

Iklan layanan masyarakat yang saya kenal dan lihat selama ini jauh dari kesan kreatif dan menarik. Bahkan membosankan, katro dan membikin tangan gatal untuk segera meraih remote dan memindahkan channel. Padahal iklan layanan masyarakatlah yang seharusnya diikuti. Karena iklan ini menyampaikan pesan moral yang besar sekaligus pesan-pesan pemerintah yang seharusnya diketahui oleh masyarakat. Tetapi justru pesan tersebut tidak sampai karena masyarakat tidak tertarik untuk mengikuti jalan cerita iklan tersebut. Bagaimana bisa menangkap sebuah maksud tersembunyi jika pesan terbuka saja tidak terdeteksi?

Kembali lagi ke masalah krusial dunia sejak filosofis Marksisme ada. Hal pokok yang ditentang habis-habisan oleh Karl Marx. Kapitalisme. Satu kata sederhana yang racunnya menjalar kesetiap saluran nadi kehidupan. Permasalahan penempatan kreatifitas yang tidak pada tempatnya inipun kembali lagi ke masalah klasik, kapitalisme. Apapun dihargai dengan uang, bahkan harga diri seseorang. Jika akhirnya ide-ide segar tadi mengalir ke bentuk yang tidak seharusnya dipromosikan jor-joran, tidak lain tidak bukan disebabkan oleh faktor ekonomi. Buat apa produsen atau pencetak ide menelurkan ide brillian yang bisa dihargai puluhan hingga ratusan juta rupiah untuk sebuah iklan penanggulangan masalah DBD yang sifatnya sukarela? Akan baik sekali jika pihak televisi menayangkan iklan “Bukan Basa Basi” yang kontraknya mencapai miliaran rupiah, daripada menayangkan iklan “3 M; Menguras, Membakar dan Menimbun”. Faktor produksi dan keuntungan sangat bermain disini. Produsen tidak ingin merugi bukan?

Jadi sangat masuk akal sekali jika masyarakat Indonesia masih saja “bodoh” dan gampang dibodohi. Karena sikap kritis yang dimiliki oleh generasi muda sekarang ini sudah banyak yang salah kaprah dan salah tempat. Sungguh akan sangat pintar sekali generasi masa depan jika penempatan kreatifitas, apapun bentuknya, diletakkan secara tepat dan berimbang. Tidak hanya untuk kebutuhan konsumtif, tetapi juga untuk peningkatan kecerdasan dan awareness masyarakat Indonesia terhadap berbagai isu dan pesan yang yang disampaikan oleh pemerintah.

*Mira Utami

Senin, 16 Februari 2009

Sajak Arif

*tak berjudul*

teman yang kejam
engkau slalu menemani hari-hari ku
slalu mengisi hidup ku
kau temani aku disaat senang,sedih,tertawa,menangis,kaya,miskin
bangun tidur,engkau yang ku cari,
mau tidur pun kau yang ku cari
bahkan aku mau berakpun kau temani
oh sungguh setianya kau
tapi sayangnya kau hanya bisa menghancurkan ku
perlahan namun pasti,kau hanya bisa mbuat ku sakit
teman kah kau namanya itu?
untung sekarang MUI tlah mnyalakan lampu merah pada mu
hanya waktu yang kan menghabisi mu


-Arif-

HOMESICK

Bergantian wajah-wajah yang begitu lekat dihatiku, menyapa dan memanggil..manja?? O tidak! Aku bahkan samasekali bukan seseorang yang senantiasa dipanggil dengan embel-embel “…sayang”! Tapi aku…ya begitulah adanya hidupku! Tapi lagi niihh,, mereka sayaaang banget sama aku dan aku sayaaang banget sama mereka. That’s enough..bahkan kata itupun takkan lagi mampu mewakili perasaan yang ada dan tercipta begitu erat..aku tau, dan semuanya lebih dari apapun! Aku tak pernah merindukan tempat untuk pulang dan bersandar selain rinduku kepada mereka. Selain inginku untuk selalu berkumpul bersama-sama keluargaku tercinta…selain berada disini, dirumahku…
Aku mendengar dari dalam kamar,, Bunda sedang memasak pagi itu, di dapur yang lumayan sumpek dan sederhana banget. Aku tau, sebaiknya sekarang bangun dan bantuin, tapi entah kenapa kepalaku rasanya berat sekali. Tiga kali sudah aku mencoba bangkit, tapi akhirnya tergolek lagi.
“ ya Rabbi, aku ga’ mau jadi pemalas”, rintihku . Sedikit oleng saat aku berdiri dan mencari pegangan di dinding triplek yang juga ikut bergoyang ketika kujadikan sandaran,, kepayahan yang begitu benci untuk kuakui.
“ kenapa? sakit kepala lagi?!”, Bunda melirikku yang berdiri di pintu dapur. “ entah sakit kepala apa namanya itu, ndak sembuh-sembuh!” Kuabaikan omelan Bunda. Baru saja aku mau melangkah, namun tiba-tiba.. daun pintu tempatku bersandar ambruk seketika dan semua bergoyang, terjadi dalam waktu yang begitu cepat..tanpa aku sempat berbuat apa-apa..
Aku terbangun dalam gugu tertahan, hatiku menciut, jiwaku resah..aku demam tinggi. Tak ada siapa-siapa disampingku. Kos-an lengang, teman-teman pada pulang kampung dan dikamar sepi ini,, aku sendiri. Aku menangis dalam diam…


***

Aku melayang entah dimana, dan semua terasa begitu ringan. Pikiranku, sakit kepalaku-pun tiba-tiba hilang. Aku melangkah pelan-pelan, tapi tetap saja tanpa teman, sendiri dan sunyi…
Aku sedang menuruni beberapa anak tangga, bewarna putih dan mengkilat, rasanya licin sekali. Antara ragu dan ingin, aku terus menuruni anak tangga itu, hingga hampir berakhir. Aku tau aku pasti bisa, hingga didua anak tangga terbawah, aku tersenyum untuk itu. Namun baru saja aku menginjakkan kaki dianak tangga terakhir, semuanya tiba-tiba bergoyang, anak tangga itu benar-benar licin, aku terpeleset..terjadi begitu saja, sangat cepat dan aku tak sempat untuk berbuat apa-apa.

***

Aku kembali terbangun dalam gugu tertahan, nafasku sesak dan semua serasa diputar ulang dihadapanku. Mimpi mengerikan itu datang dan terus datang. Aku selalu saja jatuh dan terjatuh tanpa bisa berbuat apa-apa.
Disini masih lengang,,,
Aku berkurung dikamar yang sepi, tak ingin bertemu siapa-siapa dan tak ingin bicara apa-apa. Aku benar-benar ingin menyatukan sepi ini dengan kesepian yang nyata.
Kos-ku masih lengang,,,
Aku tergolek lemah diatas tempat tidur, jauh dari nyaman. Kepalaku berdenyut, sakit yang tak tertahan dan tetap tak meringan jua. Pikirku mengembara kemana-mana…

***

Seorang gadis kecil dan kurus sedang bermain-main dengan teman-temannya, di sebuah perkampungan, dikelilingi lereng- lereng bukit, begitu asri dan indah… wajah mungil-terbungkus rambut lurus sebahu dan poni sebatas alis- itu cenderung diam dan menyendiri, dia lebih senang memperhatikan sekitarnya.
Bayangannya kini berganti dengan gadis berambut lurus tipis sepinggang. Dia sedang berkutat dengan buku-buku bacaan dan tugas sekolahnya. Duduk ditengah padang rumput luas tempat kerbau-kerbau gembalaan merumput. Suasana yang tenang dan menenangkan. 5 tahun belakangan ini , dia selalu mengantongi juara I di SD tempat ia bersekolah. Beberapa orang kakak kelas berusaha merebut hatinya..”ah, cinta monyet yang benar-benar lumrah dan naif”..
Kini, gadis itu mulai remaja dan hm,, dia berkerudung dengan seragam putih biru yang panjang. Punya kebiasaan membawa-bawa diary dan senang menulis puisi. Bahkan diberi tanggung jawab untuk mengelola mading sekolahnya. Ia masih tetap mengantongi juara I-nya, meski kini banyak yang memandang iri padanya. Sudah hukum alam!! ”kesuksesan kita tak selamanya kebanggaan orang lain”, hibur seorang guru yang penuh perhatian. Gadis itu selalu tersenyum riang, akrab dengan guru-guru dan… yach, diincar oleh gank cowok- cowok keren di sekolahnya. Namun gadis itu bersahaja dengan kesendiriannya, meski kini tak lagi pemalu, tapi soal hati dia lebih cendrung tertutup..
Gadis itu sekarang lebih sering luruh disajadah dingin dan beku, disetiap penghujung shalatnya. Sepinya, sendirinya, pemikirannya hanya Dia yang tau, hanya Dia yang mengerti, karena gadis itu tak sanggup berucap apa-apa, diam dalam derai tangis dan tawanya..
Pun dalam diam,, dia tergugu diam-diam,menggigil diam-diam…tak ada yang tau kalau senyumnya palsu, kalau tawanya sandiwara, tak ada!! karena dia tak ingin, dia tak bisa…dia tak ingin disanjung karena dia takut menjadi sombong karenanya, dia tak ingin direndahkan karena dia bertahan untuk dirinya sendiri dengan kesendiriannya…
Buatnya, getir tak musti diobral,,,dukanya tak musti disebar,,,karena dia hanya ingin dimengerti bukan dikasihani…




"Chatrine"

Puisi Chatrine

MENCINTAIMU…


Mencintaimu membutakanku, hingga aku tak bisa
melihat cinta yang lain selain cintamu…
Mencintaimu melumpuhkanku, hingga aku tak mampu
berpindah kelain cinta selain cintamu…
Mencintaimu melelapkanku, hingga aku tak berniat
untuk mencari pelukan dari cinta yang lain…
Mencintaimu membekukanku, hingga aku tak lagi
merasakan kehangatan dari cinta yang lain…
Mencintaimu membunuhku, membawaku kesudut- sudut
bisu , hingga aku tak mampu mengungkapkannya…
Mencintaimu melukaiku, dan aku hidup dengan
itu…
Mencintaimu…mencintaimu…
Mencintaimu kulakukan untuk hatiku sendiri…
Mencintaimu kujalani dan akan kujalani sekalipun
melelahkanku…
Mencintaimu… mencintaimu…
Mencintaimu kulakukan atas cintaku sendiri…
Mencintaimu kucintai dan akan kucintai meski
membuatku buta, membuatku lumpuh, membuatku luka, membekukanku…membunuhku…
Dan aku takkan berhenti mencintaimu…
Dan aku takkan mengungkapkan lelahku pada
cintaku…
Oh cukup untukku, tapi tidak untuk cintaku…
Karena aku ingin cintaku selalu untuk
mencintaimu…




Hatiku,
tercecer entah dimana…



Kuraba sejenak hati yang basah oleh perih hari, dan sungguh…aku tak merasa apa-apa, atau aku yang tak mampu untuk
merasa lagi, dan mungkin rasa itu tak mampu untuk kuucap lagi, entahlah…
Ada yang menetes tiba-tiba, dari langit, dari
awan, dari mendung asa, memelukku…
Ada yang datang, menemaniku, membawaku terbang
tanpa takut dan ragu, tapi untuk pergi…
Aku tak menyesali apa-apa, kenangan… ya ada kenanganmu…
Pernahkah kau berpikir : bisakah aku
hidup hanya dengan kenanganmu, atau kau yakinkah, kalaupun aku hidup aku mampu hidup dengan separoh jiwa, karena separohnya engkau bawa bersamamu, adakah kau pikirkan itu…
Aku tak ingin menganggapmu tak menimbang rasaku, ataupun tak lagi mengertiku, seperti dulu… saat kau datang dengan canda, kau tertawa untuk senyumku, kau menangis untuk sedihku, kau mengangguk saat aku tak bisa berucap apa- apa…
Oh Adakah aku akan mengutukimu yang dulu pernah
mengertiku sekalipun aku tak bisa mengucapkan apa- apa…
Tanpa kuucap apa-apa...
Dan kau pergi dengan canda,, tapi tidak untuk tawaku lagi,, kali ini untuk air mataku, tidakkah kau lihat?…
sekarang aku menangis, dan tak ada yang mampu menghentikannya…
kau tahu?!! Kenanganmu tak cukup…tak cukup!!. kenapa kau datang dan kenapa engkau pergi?…
Hi, engkau yang jauh disana, didunia yang tak mampu kuraba lagi, adakah kau dengar aku?… aku ingin candamu, aku ingin… sungguh ada ruang yang bernama rindu…dihatiku-dijiwaku-diragaku..untukmu…
Atau…tak apa jika kau tak lagi relai hatimu untukku… dan biarkan aku sekedar bertanya…
Hi, engkau yang hanya mampu kuraba lewat kenangan… dimanakah kau simpan separoh jiwaku, kemanakah kau bawa hatiku?… tolong jawablah, aku menunggu…
Aku tak mampu hidup dengan tanpa hatiku…kalau dulu kau berniat meminjamnya…tolong, kembalikan padaku sekarang,
kalau kau ingin mengambilnya…aku hancur…tak mungkin memintanya lagi,
setelah dulu kupersembahkan dengan tulus…
Hi, engkau yang meracuniku hanya dengan sebuah
senyum didalam lembar kenanganmu…adakah kau dengar aku?…aku menunggu jawabanmu…

(for u…be smile in heaven…)


By: Chatrine

Selasa, 10 Februari 2009

Sajak Handoko

Pelajaran Gila


Pecahkan saja kacanya
Lalu benturkan kepalamu ke dinding
Setidaknya kau tahu
Kepalamu lebih keras dari kaca dan tak lebih keras dari batu






Belajar Membaca


Cobalah untuk membaca
Karna tak pernah kulihat kau benar-benar membaca
Kau hanya mengeja kata demi kata
Lalu diam dan berfikir

Ya…….
Aku tahu buku itu mahal harganya
Tapi…..
Kau tak perlu buku untuk membaca

Daun ini…..
Meja ini…..
Dan Angin ini….
Bahkan mataku ini bisa kau jadikan buku

Kau tak perlu mengejanya
Bacalah……
Dan kau akan mendengar mereka bicara






Kosong

Kosong.












Oleh: HANDOKO

Kamis, 05 Februari 2009

Richard Cory

Richard Cory

Whenever Richard Cory went down town,
We people on the pavement looked at him:
He was a gentleman from sole to crown,
Clean-favoured and imperially slim.

And he was always quietly arrayed,
And he was always human when he talked;
But still he fluttered pulses when he said,
"Good Morning!" and he glittered when he walked.

And he was rich, yes, richer than a king,
And admirably schooled in every grace:
In fine -- we thought that he was everything
To make us wish that we were in his place.

So on we worked and waited for the light,
And went without the meat and cursed the bread,
And Richard Cory, one calm summer night,
Went home and put a bullet in his head.

(Edwin Arlington Robinson)







Analysis of Richard Cory

Before we discuss about this poem from certain aspect, let we see several common elements that arrange it. First is about the rhyme. We know rhyme is the repetition that occurs in poem in order to create sound musical that affect to the aesthetical aspect of the poem it self, and in The Elements of Writing about Literature and Film book, it is define as ‘repeating similar sounds in an effective scheme.’ If we relate about this definition and the poem above we find this poem consists of true rhyme or it also called perfect rhyme. True or perfect rhyme occurs when the first consonants change, but the following consonants or vowels stay the same (How to Interpret Poetry by Laurie E. Rozakis). Let we see the poem above, its rhyme is abab. Next is about the figurative language. Figurative language is used by the poem to deliver his idea because one word can interpret to more than one meaning. Most of the figurative language that used in the poem above use metaphors, such as ‘He was a gentleman from sole to crown (line 3), And he was always human when he talked (line 5), And he was rich, yes, richer than a king (line 9)’. However, we can find other figurative language in that, such as personification ‘And Richard Cory, one calm summer night (line 14) and many more. Then we move to another discussion.

When we relate this poetry to the analysis of social classes in our society; we will find clear distinction between Richard Cory and the community around him. In this poem, the poet takes position as the lower class. He explains about a rich man named Richard Cory who always admired by every people in the town. In here, Robinson describes how Richard adored. Let us see in the first line of this poem, ‘Whenever Richard Cory went down town, We people on the pavement looked at him’.

The poet still gives detail about him in next stanza; even he said that ‘…he was rich, yes, richer than a king.’ Nevertheless, Robinson gives different tone in the last one. The poet in the last stanza, serve about the end life of the character in this poem. It is not only a comparison to the previous lines but also the continuation of the story that poet tries to build. Cory who admire by other people cannot find a reason to admire him self. ‘And Richard Cory, one calm summer night, Went home and put a bullet in his head.’
As we know, a person in this poem is a ‘true gentleman’, who was “quietly arrayed” and “always human when he talked.” He never publicly displayed his wealth and believed even the poorest man deserved his politeness and respect. He comes from the upper class, the class that dreamed by other people. ‘To make us wish that we were in his place.’ He also can attack people’s interest because ‘…we thought that he was everything’. The poet not only state directly about it but he also uses connotation. In line three ‘crown’ does not mean authority or power but it means head and ‘imperially slim’ has meaning Richard Cory has a masculine shape of king.

As I explain before, in this poem we can see the distinction of social classes in society. Robinson presents two classes in his work, common people as the lower class and Richard Cory as the representative of the upper class. Robinson state that the lower class people forever dream to be the upper class. In the other hand, he clarify that people from the upper class not always get everything in this life. Even I invent another meaning from Robinson’s work that people from the lower class luckier than the upper one. The classes in our society may have influence for our life but it depends on how we adopt a position to face it. Back to the poem above, the poet serve three stanza to present ‘people in down town’ opinion about Richard Cory. They admire him in every single thing that Cory has. His performing, attitude, riches, position is dreamed by everyone there. But, Robinson quite competent to build Cory’s character. The character that amazed by everyone not the one who arrogant because he have everything. If we look out over this poem, we may find that Robinson tries to serve about social injustice in modern life. I interpret this more as the moral value. The poet builds perfect condition that similar to our life. My first interpretation comes from people from lower class in that poem. Nowadays, people in our society think that being rich is a very lucky destiny. We may see it not only from the poem above but also in the reality. Then my second understanding comes from Richard Cory it self. He is regarded as a king even more than a king. It is another reflection of ‘unlucky society’s opinions face this life. People still consider wealth, power, and high-position as a fortune. We never notice that we still can be happy even when we have no everything like Richard Cory has and Robinson proof it in his work.

Then, when I state that a rich is not a guarantee for happy life, we may find that it is true. Imagine this, a wealthy man who is idolized by those who consider themselves less fortunate, commits suicide. A person from a certain social class like Richard Cory must have perfect reason to do this such as act. I interpret it that he depress to the situation of his life, because sometimes we do not realize that such as person have big problem than his wealth. We keep admire riches is a key in this life. Everything can buy with money because riches are the greatest power in this world that able to control everything. We are nothing without wealth; we are nothing without high-position.
Thus, I can conclude that in his work, Robinson tries to comment on the fundamental aspect in our life. He reflects it to the poem, which has moral value and teaches us that rich is not guarantee for joyful. He develops Richard Cory’s life in order to change reader’s mind about standard of happiness.



-Audrey-

Puisi Audrey






Ia Bernama


Kata bapakku jangan pernah melangkah untuk yang sudah
Ibuku bilang sesuatu takkan berulang
Tak banyak yang bisa aku pelajari dari ini
Sampai aku bertemu sesuatu yang menghepas dengan keras
Sehingga aku melihat hari dengan satu mata tanpa kelopak
Sisi yang aku ingin, tertutup pita cantik berwarna biru
Jika usaha yang dimaknai, sudah aku kerahkan
Hanya untuk menaklukkan dan senang hati
Ia juga tak memberontak saat aku bijak
namun saat tiba lalaiku, ia membangkang dan menggila
Ia menghujam benda tajam yang tak berupa
Apa dayaku untuk menghindar, wujudnya tak nyata
Ia tak lagi ramah karena terus membawaku meleleh dari kerasku
Banyak yang bisa aku pelajari dari itu
Terutama tentang namanya
Aku tahu ia bernama waktu
***




Aku Ingin Tidur Satu Jam Saja

Agar hilang benakku dan tumbuh baru
Bagai kecambah diatas kapas yang menanti tunas
Tidurkan aku dengan 60 menit yang berlalu
Agar rangkaku hilang tersapu sendi yang mengeras
Matikan aku untuk 3600 kali hitungan sekon
Tunggu untuk hilangkan rasa segan dan bernoda
Hidupkan aku 3600 detik yang lain
Karena embun siang yang aku ingin sapa
Hentikan menggoyang tubuhku untuk 1/24 waktu hari
Lalu lanjutkan untuk waktu yang baru sesudah ini
Karna aku hanya ingin melihat sedih dari mahasedih
Serta mahagembira dari sang tertawa yang ria
***

-Audrey-

Rabu, 04 Februari 2009

Memangnya Kenapa Kalau Aku Pakai Jilbab?



cover-novel1
"Does My Head Look Big In This?" Oleh Randa Abdel-Fattah


Well,, mungkin saya terkadang emang suka berlebihan. Tapi diluar konteks novel Teenlit yang ribuan orang bilang adalah novel picisan gak layak baca, novel ini sangat layak baca. Bahkan saya bikin rating A Must Read. Sebelum saya me-review novel ini, ada sedikit masalah mengenai novel Teenlit yang sering sekali jadi perdebatan,, bahwa Teenlit adalah novel kacangan gak layak baca,, tetapi tetap saja dibaca ribuan orang. Nah bagi saya pribadi, konteksnya adalah memilah bacaan sesuai dengan pribadi masing-masing pembaca. Karena pembaca itu ada tingkatannya. Ada yang membaca berlandaskan pengetahuannya di bidang kesusastraan. Ada yang membaca berdasarkan kebutuhan,, apakah sebagai pemuas hobi, menghilangkan suntuk, mencari info terbaru, memperluas jenis bacaan, mencoba untuk membaca jenis buku yang tidak masuk kategori favorit, bahkan membaca untuk mengikuti perkembangan penulis favorit. Jadi sebenarnya tidak ada gunanya bagi orang yang memahami dunia kesusasteraan untuk menekan orang2 yang membaca bacaan picisan hanya karena dianggap telah melecehkan sastra. Namanya orang gak ngerti sastra mau diejek2 se-apapun juga bakalan tetap menikmati bacaan mereka karena toh pemahaman mereka mengenai karya sastra cuma sebatas untuk memenuhi imajinasi mereka atau sekedar mendapatkan hiburan dari doktrin-doktrin kapitalis. Intinya,, bullshit lah orang yang suka mengkotak-kotakkan segala sesuatunya… let’s say,, Bukannya terjebak menjadi orang yang gak punya idealisme,, tetapi menjadikan idealisme sebagai satu hal khusus yang dijadikan kepribadian untuk dinikmati dan dijalani sendiri atau bersama orang-orang yang bervisi sama.

Kembali ke novel. Buku ini merupakan novel menarik yang gak saya lepas setelah lewat Bab 1. Saya gak bakalan menceritakan ulang isi novel ini kecuali beberapa poin penting yang saia pikir penting untuk dicatat.

Novel ini dikemas dengan bahasa khas novel Teenlit saduran yang memang berbeda dari novel teenlit Indonesia. Tapi hasil akhirnya agak aneh, mungkin karena saduran dari bahasa Inggris Australia yang memang sedikit aneh. Diluar kekurangan tersebut, bahasanya masih bisa dimengerti dengan baik tanpa membelokkan maksudnya. Randa Abdel-Fattah sukses menempatkan poin-pon ceritanya sehingga disatu waktu, saya bisa ketawa pada sebuah halaman setelah merasa sangat terharu bahkan sampai nangis di halaman sebelumnya. Istilahnya, sesak nafas terharu pun belum habis ketika gelombang sesak nafas berikutnya yang berbeda konteks menghantam saya. Saya bisa tertawa terkekeh ketika mata masih berkaca-kaca..

Novel ini juga sukses membawa saya menempatkan diri menjadi tokoh utamanya; Amal. Terasa sekali bagaimana kehidupan muslim di Australia yang ternyata tidak semudah kelihatannya. Entah mungkin karena tokohnya yang mewakili ras Arab yang memang dipandang sebelah mata dan dianggap teroris oleh masyarakat dunia. Saya juga menyadari bahwa ternyata Indonesia sudah menjadi sebuah negara full sekuler, diakui atau tidak, setelah saya membaca bagaimana Amal menghadapi polemik hidupnya sebagai seorang remaja yang juga mengalami yang namanya jatuh cinta. Saya sangat terharu membaca bagian dimana dia mempertahankan identitas ke-islamannya yang tidak mempercayai masalah pacaran dan larangan kontak fisik dengan lawan jenis yang bukan muhrim hingga akhirnya dia hampir saja kehilangan sahabat (sekaligus taksiran)-nya. Diceritakan bahwa Amal menghindar ketika Adam berusaha untuk menciumnya. Wuah,, kalo kita lihat anak muda Indonesia sekarang ini, terkadang legalitas pacaran juga sudah menjadi legalitas kehalalan untuk melakukan hal-hal yang terlarang. Jangankan ciuman, kalo sama-sama suka apa aja boleh… miris aja jadinya,, bahkan di negara seperti Australia yang budayanya bebas -dimana ciuman itu bahkan udah dianggap sebagai sapaan sehari-hari seperti halnya jabat tangan atau ucapan Assalamu’alaikum- masih ada Amal yang dianggap "menekan diri sendiri" karena mempercayai bahwa dia hanya menginginkan hubungan yang sifatnya intim hanya dengan satu orang saja selama hidupnya, bukan dengan "beberapa orang". Bangsa Arab (dalam kasus Amal dia adalah bangsa Palestina) yang hidup dalam kebudayaan bebas di Australia bahkan masih bisa memilah dan mempercayai apa yang harus dia percaya, bukan orang percayai. Dan kita yang mengaku sebagai negara islam sudah sangat jauh melenceng dari apa yang kita anggap kita percayai…

Randa Abdel-Fattah juga menampilkan sosok muslim yang seharusnya. Bahwa umat islam itu bukanlah orang2 naif yang tidak melihat perbedaan. Amal berteman baik dengan orang Yahudi (bukan Zionis) dan tetap menghormati pamannya yang seperti kacang lupa kulit (mengganti namanya menjadi Joe dan bersikap seperti layaknya orang Australia sepenuhnya). Dia tidak memperpanjang permusuhannya dengan tetangganya orang Yunani Kristen pemarah karena dia melihat bahwa sebenarnya Mrs. Vaselli hanyalah seorang ibu kesepian yang membutuhkan orang untuk diajak bicara dan anaknya yang sudah tidak dia anggap padahal dia sendiri masih suka merindukan putranya itu.

Amal juga tidak mendebat lebih jauh kekolotan ibu Leila -temannya- yang menganggap Leila yang berumur 16 tahun dan sangat cerdas harus mengikuti budayanya sebagai seorang perempuan berdarah Turki yang menjadi korban sistim patriakal, sehingga harus segera menikah dan melupakan mimpinya untuk bersekolah lebih tinggi. Leila dikekang dan ditawan hak-haknya sementara kakak laki-lakinya bebas untuk melakukan apapun yang dia suka. Disitu Amal berperan sebagai penentang, tetapi tetap dalam porsinya sebagai seorang anak muda yang menghormati peran orang tua, sadar atau tidak.

Banyak sekali yang saya pelajari disini. Tentang indahnya kehidupan multiagama dan multikultural tanpa adanya pemaksaan idealisme, budaya dan kepentingan. Tidak hanya mengenai kewajiban seorang perempuan dalam mengenakan hijab, tetapi kebanggaan dan penghargaan dibaliknya. Sesuatu yang tidak setiap perempuan berhijab miliki. Saya mungkin, atau anda. Tidak juga merupakan doktrin apapun....



Best quotation :

"Tak seorang pun bisa bersikap seperti Tuhan atas takdir orang lain" (hal. 262)

"Kenapa saat aku percaya pada sesuatu yang berbeda akulah yang ternyata meghakimimu? Bagaimana dengan kau menghakimiku? Kenapa kenyataan bahwa ada orang-orang diluar sana yang tidak melakukan seks sebelum menikah itu begitu menghina?" (hal 241)

"Tapi apa gunanya mematuhi agamamu diluar kalau kau tidak mengubah apa yang ada didalam, yaitu hal yang sesungguhnya benar-benar berarti? Aku sudah menipu diriku sendiri. Memakai jilbab bukanlah akhir perjalanan. Itu hanya awalnya" (hal. 323)









_Mira_

Selasa, 03 Februari 2009

Puisi dan Rumah yang Kau Bikin, Ngku!

Kepada Taufik Ismail


taufik-2dismail

foto:Abdullahkhusairi

Di hari-hari ketika orang banyak berteriak tentang kebenaran di jalan-jalan kota, di lorong-lorong sempit perumahan, hingga gubuk-gubuk tak terurus yang ditempeli gambar-gambar politikus, kita merasa hari-hari kita membutuhkan puisi, juga sastra.

Di Padangekspres Minggu, Fadlillah mengusulkan akan adanya sebuah pertemuan sastrawan di minangkabau karena sastra dan budaya telah kian dimarjinalkan. Ia telah dikesampingkan. Ia telah di nomor 16-kan setelah ilmu sains.

Tapi Taufik Ismail telah memulai beberapa waktu lalu. Memulai dengan sebuah gebrakan baru: rumah puisi. Di Aia Angek sana. Sebuah tempat dimana puisi didokumentasikan. Di rumah itu kelak, atau mungkin telah, disimpan dokumentasi puisi yang tiap hari berhamburan datang. Setidaknya, menilik usulan Fadhlillah tadi, satra dan budaya tidak akan termarjinalkan. Tidak akan dinomor 16 kan.

Tapi saya mulai ragu. Rumah puisi yang terletak di…yang diapit gunung dan lembah itu seperti penjara puisi. Puisi dirumahkan, ia tak lagi hidup ditengah masyarakatnya. Puisi akan marjinal dari masyarakatnya. Puisi menyublim di carut marut kota.

Taufik yang datang sebagai angkatan 66, tentu tahu, bahwa puisi tak memiliki rumah. Melainkan sebaliknya, puisilah yang membangun rumah-rumah. Ada sepotong sajak Cairil yang berkupasan masalah saja:

Rumahku dari unggun timbun sajak// kaca jernih dari luar segala nampak//kulari dari gedung lebar halaman/aku tersesat tak dapat jalan…

Kembali ke Taufik (baca:Engku Taupik)...
Mungkin karena yang berbicara adalah Taufik, maka sejenak ia didengarkan. Karena pada saat yang sejenak itu juga adalah saat ketika sastra menjadi santapan politik. Orang-orang angkat bicara tentang sastra di waktu yang sejenak itu demi untuk menunjukkan bahwa mereka, sebagai pajabat Negara peduli terhadap sastra. Saya juga baca sastra lho! Sastra sejenak menjadi kuda dengan mata tertutup. Silahkan tuan-tuan pejabat naik, menungganginya hanya untuk disebut sebagai pejabat yang peduli pada kesusastraan. Jika taufik angkat bicara, pejabat-pejabat teras daerah silahkan turut angkat bicara. Katakan, puisi taufik sejajar dengan alquran, katakan setelah membaca puisi taufik saya menjadi merinding. Wahaha… pejabat institut atau universitas yang sekalipun tak membaca sastra, silahkan angkat bicara. Wali-wali kota-kota, ca-leg-ca-leg silahkan baca puisi. Ini saat Anda memampang wajah bahwa anda peduli. Lalu setelah itu, lupakan sastra kembali.

Rumah Puisi, kelak tentu akan memberi kehangatan baru buat kesusasteraan di Minangkabau ini. Tapi adakah sebuah rumah kelak akan memingit sosok yang berada di dalamnya (puisi)? Apakah ketika puisi dirumahkan, ia tak lagi bebas menyublim bersama orang-orang yang tinggal di risau cuaca kota, juga dinginnya perkampungan? Engku Taufik harus menjawab hal ini, Ngku! Engku yang "datang-kembali" ke ranah Minang di usia senja tentu bukan hanya sekedar pulang kampung sebagaimana yang terjadi tiap hari raya. Tentu bukan sekedar melakukan ceramah-ceramah di sana sini, dengan walikota itu dan ini. Berkoar-koar berkata sampai berbusah,"masy...arrakat kita rabun membaca, pincang menulisss!!". lalu duduk dengan orang tetua-tetua dan berbincang tentang generasi sekrang yang manja:"wah..kalau saat kami dulu..wuihh...jangan dikata, ah..tak bisa disebutkan lagi. ah..uh..ih.." mengenang...

ada sepotong sajak Chairil, Ngku:
kau datang terlampau senja/ kisahmu bagiku hanya kenangan

Demikian, Ngku!!

Salam
F.M.Faiz